Judul ; Pondok Baca Kembali ke Semarang
Penulis ; Nh Dini
Penerbit; Gramedia 2011
Tebal ; 256 halaman

Bagi sebagian orang, Nurhayati Sri Hardini atau Nh Dini adalah
pengarang egois, tak ramah dan agak materialistis. Bukan hanya pada
setiap karyanya dia bersikap membela pendiriannya, tapi sering pada
kesehariannya, orang menganggap pengarang wanita ini amat angkuh.

Dia mematok tarif ketika diwawancara. Bahkan tak segan-segan dia menolak wawancara bila tarifnya kecil.
Kata Dini,” Kukira di Indonesia, hanya aku saja pengarang penuh. Di
forum internasional disebut fulltime woman writer,” (hal 35). Di masa
senjanya dia mengelola rumah bacaan yang dinamakan Pondok Baca di kota
kelahirannya Semarang.

Awal tahun ini dia menghasilkan satu karya. Bukunya kali ini diberi
judul ‘Pondok Baca kembali ke Semarang’. Kisah dalam buku Pondok Baca
merupakan rentetan kisah diri dan pembelaan NH Dini terhadap pandangan
orang lain terhadap dia. Bahwa dalam keegoisan pengarang ada
tanggungjawab untuk berbagi. Pondok Baca bisa kita lihat sebagai
kompensasi sosial pelepasan ego pribadi Dini itu.

Dalam buku itu, Dini mengungkapkan bahwa dunianya saat ini adalah di
Pondok Baca-Semarang. Ruang itu dibangun dari tabungannya pada 11 Maret
1986, pasca perceraiannya dengan seorang diplomat Perancis. Keseriusan
Dini dalam membangun taman bacaan tampak dari caranya mengurus
legalitas. Selain meminta rekomendasi Menteri Lingkungan Hidup (waktu
itu) Emil Salim dan istri Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Suprapto,
Dini juga menghubungi polisi setempat untuk izin operasional taman
bacaannya itu.

Ini merupakan antisipasi Dini terhadap praduga buruk masyarakat
sekitar terhadap orang yang pernah lama tinggal di luar negeri.
Lebih-lebih yang pernah menjadi istri orang asing dan tiba-tiba kembali
untuk menetap lalu mendirikan usaha (hal 22).

Pondok baca dibangun Dini oleh tenaganya sendiri sebagai pengarang.
Karena itu kita jadi paham bahwa Dini sendirilah yang bertahun-tahun
menjaga perpustakaan di wilayah Sekayu-Semarang tersebut. Sebagai
penjaga perpustakaan, Dini tidak ramah. Dia tidak sungkan-sungkan untuk
menegur anak-anak yang ribut dengan saling memukul di ruang baca, hilir
mudik dan menggeser-geser bangku secara terus menerus (hal 162-163).

Bagi Dini, anak-anak itu tak tahu bagaimana perpustakaan atau taman
bacaan itu berfungsi . Mereka belum bisa membaca buku bermenit-menit,
setengah atau satu jam. Atau hingga buku usai mereka baca. Di rumah,
mereka hanya mengenal buku pelajaran atau televisi. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37122

Untuk

melihat artikel Buku lainnya, Klik

di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :