Elizabeth Gilbert, seorang penulis berusia 31 tahun dengan sang
suami pindah ke sebuah lokasi di daerah pinggiran kota New York dan
memulai hidupnya sebagai istri yang berusaha memiliki keturunan. Akan
tetapi ia sadar bahwa kehidupan ibu rumah tangga bukanlah hidup yang ia
ingin jalankan. Setelah terus bertengkar dengan suami, menangis
tersedu-sedu di atas toilet dan depresi, Elizabeth akhirnya bercerai.
Ia lantas memutuskan melakukan perjalanan keliling untuk mencari jati
diri dan penyembuhan batin. Tiga tahun kemudian dalam usia yang masih
relatif muda untuk menjadi janda, 34 tahun, Elizabeth yang berasal dari
keluarga berada, memilih tiga negara di tiga benua, yaitu Italia,
India, dan Indonesia sebagai tujuan perjalanannya. Dengan modal
uang-muka yang ia dapat dari bos dan sang penerbit buku-bukunya,
Elizabeth nekat menggunakan uang tersebut untuk membiayai seluruh
perjalanannya selama setahun. Ia berjanji kepada mereka akan menulis
sebuah memori tentang perjalanannya dan akan menyelesaikannya setelah
pulang dari ketiga Negara tersebut.

Pertama, Elizabeth
pergi ke Roma untuk mendapatkan kesenangan hati melalui pesta dan
hiburan dengan kawan-kawan Italianya, sambil menikmati makanan-makanan
Italia yang terkenal sedap sampai puas. Di Roma ia berusaha melupakan
pengalaman buruk perkawinannya dan hal-hal sentimental lainnya. Yang ia
kerjakan hanya bersenang-senang. Pergi ke restoran-restoran yang
berbeda-beda setiap hari, museum, dan bepesta. Empat bulan kemudian
Elizabeth sampai di India, wanita berambut pirang ini mengunjungi
sebuah Ashram (sebuah kuil Hindu lengkap dengan asrama) yang terletak
di luar kota Mumbai untuk belajar spiritual dengan seorang Guru
kenamaan. Disini ia bertemu dengan murid-murid yang lain dari bermacam
latar belakang. Tetapi mereka semua memiliki tujuan yang sama, ingin
mendapatkan bimbingan spiritual dari sang Guru. Bertolak belakang
dengan perjalanan dan pengalamannya di Italia, di India Elizabeth sama
sekali tidak ingin memikirkan dan melakukan hal-hal duniawi. Tujuannya
di Ashram hanya untuk mencari ketenangan spiritual dan mendekatkan diri
dengan Tuhan. Setiap hari dia beryoga, sembahyang, meditasi berjam-jam
dari pagi sampai malam, dan membantu membersihkan Ashram bersama
murid-murid lain.

Setelah Elizabeth “lulus” ujian
spiritual yang boleh dibilang cukup “brutal”, ia kemudian ke Bali
sebagai destinasi selanjutnya. Di Bali ia berniat menemukan sebuah
keseimbangan hidup antara duniawi dan spiritual. Walaupun sebelumnya
Elizabeth pernah mengunjungi Bali, wanita ceriwis dan humoris ini masih
belum mengenal budaya Bali dan sama sekali tidak bisa berbahasa
Indonesia. Kemudian ia bertemu dengan seorang guru spiritual Hindu
bernama Pak Ketut Liyer. Elizabeth bercerita tentang perkawinannya
serta perjalanannya keliling dunia. Ketika ia cerita tentang
pengalamannya itu, Pak Ketut tersenyum seraya menjelaskan bahwa jika
ingin meditasi, sembahyang, dan mendekatkan diri dengan Tuhan tidak
harus melelahkan dan bertele-tele seperti itu. Pak Ketut menerangkan
bahwa cara meditasi serta mendekatkan diri dengan Tuhan yang baik dan
mudah, hanyalah kurang lebih 15 menit sampai 30 menit dalam sehari.
Yakni saat bangun tidur di pagi hari dan malam sebelum tidur. Pak Ketut
juga mengatakan meditasi yang baik adalah dengan tersenyum dari hati,
pikiran, sampai mulut.
Selain berteman dengan Pak Ketut, Elizabeth
menjalin persahabatan dengan Wayan, seorang janda yang bekerja sebagai
“orang pintar” dan dukun kesehatan, serta anak perempuannya bernama
Tutti. Hampir setiap hari Elizabeth mengunjungi Wayan dan Tutti untuk
bertukar pikiran dan bermain. Dan setiap berkunjung ia diberi berbagai
macam ramuan jamu untuk kesehatan oleh Wayan.
Di Bali pula
Elizabeth menemukan cinta sejatinya, Felipe seorang pria asal Brasil
yang sudah lama tinggal di Bali. Dengan Felipe, Elizabeth belajar
tentang seluk-beluk Bali dan budaya Indonesia lebih dalam, berpesta dan
bersosialisasi dengan teman-teman pekerja dan pengusaha asing di Bali.
Ia juga belajar dari Felipe tentang cinta dan hidup damai di Bali.
Sampai sekarang pun ia tak pernah menyangka perjalanan panjangnya
mencari cinta dan kedamaian hakiki itu, ia gapai di Indonesia.

Eat, Pray, Love
cukup menarik dan menghibur. Kadang kepolosan Elizabeth akan
persepsinya tentang budaya luar menjadi daya tarik novel ini.
Sayangnya, Elizabeth kurang akurat dalam menuturkan sejarah yang ia
ceritakan. contohnya ketika ia menjelaskan Borobudur merupakan candi
terbesar peninggalan dinasti Hindu. Dan juga, di beberapa bagian, ia
menceritakan pengalaman menyogok petugas imigrasi di Bandara Ngurah Rai
agar bisa memperpanjang visanya, termasuk menerangkan bahwa di
Indonesia masih banyak penipuan dan pejabat yang korupsi. Selain itu,
Elizabeth menceritakan pengalaman hidupnya menjadi seolah-olah dialah
orang yang paling beruntung. Hal ini membuatnya menjadi individu yang
manja, tidak peduli orang lain, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Untungnya
Elizabeth mengunjungi Bali, yang secara langsung atau tidak, ia turut
mempromosikan Bali sebagai tempat dimana kita bisa menemukan ketenangan
hati, mendekatkan diri dengan Tuhan, sembari tetap dapat menikmati
hal-hal duniawi.
Di situs pribadinya, ia menghimbau kepada
masyarakat untuk membantu salah satu organisasi dan klinik melahirkan
di Bali dan Aceh, bernama “Bumi Sehat” yang didirikan oleh wanita
Amerika bernama Robin Lim. Sampai sekarang buku ini masih terdaftar
sebagai salah satu “best-sellers” dan kabarnya, dalam waktu dekat akan diangkat ke layar lebar dengan pemeran utama Julia Roberts. (inna)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?32263

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Photobucket