Tradisi merantau sampai sekarang masih dilakukan oleh
sebagian besar orang Minang.   Merantau berarti
sebuah perjalanan meninggalkan kampung halaman untuk menjadi lelaki sejati dan
memiliki kehidupan yang lebih baik.

Action Berbalut Drama Tradisi

Dalam tradisi awal, kaum pria Minang yang merantau biasanya
memiliki bermacam bekal, salah satunya mahir berpencak silat. Bekal ini bukan
semata-mata untuk menjaga diri, tapi juga menjadi semacam tuntunan dari alam
untuk menunjukkan jalan yang terang dan jalan yang gelap.

Seperti dalam filosofi pencak silat itu sendiri, silat memang
bukan cuma bicara soal bagaimana menendang, memukul dan menjatuhkan lawan, tapi
mengandung filosofi yang luhur. Menolong sesama.

Film Merantau

Dalam tradisi itulah Yudha (Iko Uwais) lahir dan dibesarkan.
Sehingga ketika dia menginjak dewasa  dan
sudah mampu menguasai jurus Silat Harimau,  merantau menjadi (satu-satunya) pilihan untuk
membuktikan kepada dunia kesejatian dirinya sebagai lelaki.  

Wulan (Christine Hakim) Ibunya Yudha sempat berkata
kepada  Yudha, “Kau tak perlu merantau  untuk membuktikan dirimu, nak. Pulanglah kapan
pun kau siap.” kata Wulan kepada Yudha di awal cerita sebelum Yudha merantau ke Jakarta.

Apa yang ditemui Yudha ternyata tak seperti yang dia
harapkan. Sebagai pemuda polos yang ingin bekerja sebagai guru sile (silat-red) di kota
besa macam Jakarta,
tentu saja tak ada tempat untuk Yudha. Yudha sempat bekenalan dengan Eric di
bus. Eric juga orang Minang yang sama-sama merantau  ke Jakarta,
tapi dia lebih berpengalaman dan sering bolak-balik ke Jakarta.

Di kota Jakarta, bukannya pekerjaan yang Yudha
dapatkan,  dia malah bentrok dengan geng
pelaku human trafficking yang dipimpin dua orang bule, Ratger (Mads Koudal) dan
Lars (Laurent Buson) .

Dia sebetulnya tak ingin ikut campur tapi nalurinya sebagai
seorang pesilat untuk melindungi si lemah, memaksa Yudha turut terlibat. Secara
tak sengaja di tempat yang tak disengaja pula, Yudha melihat  Astri (Sisca Jessica) dibawa Jhoni (Alex
Abbad), seorang calo penyalur wanita untuk dijual ke dua orang bule itu. Yudha
tak tinggal diam, dia segera mengobrak-abrik geng dan menyelematkan Astri.

Namun kejadian itu berbuntut panjang, duo Ratger (Mads
Koudal) dan Lars (Laurent Buson) tak terima, mereka lalu mengerahkan anak buah
mereka untuk mencari Yudha dan Sisca dengan cara menculik adik Sisca, Yusuf
Auilia (Adit).

Film Merantau

Dengan modal silat harimau, seorang diri Yudha berhadapan
dengan gerombolan gangster. Baku
pukul  dan adegan berdarah-darah menjadi
menu utama film ini.

**

Bangkitnya Film Silat
Indonesia?

Kehadiran “Merantau”  sebagai film silat dipercaya bakal membetot
perhatian penimat film Indonesia.
Maklum, sejak era aktor Barry Prima, Advent Bangun atau George Rudi di tahun
80-an, film Indonesia
bergenre silat memang relatif mati suri. Dulu film-film silat berbalut tradisi lokal
seperti “Si Jampang”, “Jaka Sembung”, “Si Buta dari Goa Hantu” atau “Tutur Tinular”,
betul-betul merajai khazanah perfilman Indonesia.

Dari segi mutu memang kurang bisa berbicara banyak, tapi
dari segi jumlah penonton mereka jauh melampui film-film sekelas piala citra seperti
film “Arini, masih ada kereta yang lewat”-nya Widyawati atau “Taksi”-nya Dedy
Mizwar.

Film Merantau

Mengapa? Karena film silat (baca: action superhero) tetap
memiliki penggemar yang tak sedikit. Film berjenis superhero dimanapun memang akan
laku dijual jika dikemas dengan baik. Silakan tengok jumlah penonton “Spiderman”,
“Superman”, “Hulk” atau yang paling mutakhir, “Transformers Revenge Of The Fallen”.

Film-film besutan industri Hollywood
itu benar-benar menjadi contoh yang baik bahwa film action superhero tetap bisa
menjadi dagangan yang laris.  Meskipun agak jauh membandingkan jenis film seperti itu dengan “Merantau”. Tapi setidaknya semangat ketokohan superhero film ini bisa jadi ‘darah baru’ perfilman Indonesia.

Maka dari itulah barangkali sutradara Gareth Huw Evans berani
berjudi dengan memproduksi film action superhero  dalam balutan tradisi lokal pencak silat ini.
Dia memang mengakui tengah berjudi, apakah film buatannya yang dibikin dengan teknologi
kamera Hard Definition (HD) ini laku atau jeblok dipasaran, Gareth tidak tahu.

Namun sutradara muda asal Inggris ini mengaku yakin akan
karyanya. Dia yakin film ini bakal menjadi sebuah perjalanan baru bagi dunia
perfilman Indonesia
terutama dari genre silat. Bisa jadi memang, karya Gareth ini bakal menjadi
cikal bakal bangkitnya film-film silat tanah air.

Gareth mengaku sangat total ketika memproduksi film ini, dia
tak mau setengah-setengah. Hasilnya memang cukup lumayan. Gambar-gambar dalam
film ini cukup tajam dan menarik.  Gareth
banyak mengambil gambar dengan cara tidak statis, sehingga ketika adegan
perkelahian, seolah penonton bisa melihat dari segala sudut.

Tapi Gareth menyadari betul, sebagai film silat pertama
sejak era 80-an dia punya beban berat bagaimana membuat film ‘gedebak-gedebuk’
semacam ini dan mensinkronkannya dengan situasi kekinian, yakni kejamnya ibukota  bagi para perantau-perantau seperti Yudha  yang polos sekaligus naïf.

TRAILER

<object width=”425″ height=”344″><param name=”movie” value=”http://www.youtube.com/v/239ch2EDGgE&hl=en&fs=1&”></param><param name=”allowFullScreen” value=”true”></param><param name=”allowscriptaccess” value=”always”></param><embed src=”http://www.youtube.com/v/239ch2EDGgE&hl=en&fs=1&” type=”application/x-shockwave-flash” allowscriptaccess=”always” allowfullscreen=”true” width=”425″ height=”344″></embed></object>

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33506

Untuk melihat Berita Indonesia / Filem lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :