KabariNews – Hampir sebagian besar sineas Indonesia kini bekerja dalam lingkaran rekayasa teknologi digital sebagai bentuk kebebasan dan identitas serta rasa percaya diri. Sebuah pertanda terjadinya perubahan besar atas industri perfilman di Indonesia dengan misi membangun sinema Indonesia masa kini. Dengan teknologi (digital) itu karya seni modern dan paling kompleks ini lahir dari rahim yang dirancang penuh rekayasa dan keniscayaan menjadi karya seni paling modern yang mewakili zamannya.

Era baru perfilman nasional telah bangkit. Pernyataan ini justru datang dari Produser dan tokoh perfilman yang paling produktif saat ini, Chand Parwez, yang selama ini menguasai mainstream industri film komersil negeri ini. Ucapan ini perlu diruntut kemana sejatinya ungkapan ini hendak dituju kalau dihitung dalam nilai secara ekonomi dan nilai karya sebagai produk budaya. Yang perlu disimak malah para pemerhati dan penggiat yang menyuarakan nada pesimistis oleh perubahan visi dalam tema-tema sineas melihat sosial yang akrab dengan perubahan. Pertanyaan, himbauan hingga tuntutan disuarakan dengan tujuan sebagaimana harapan di masa lalu, film Indonesia menjadi tuan di Negeri sendiri. Seperti penonton telah meninggalkan film Indonesia, atau bioskop menganak tirikan film Nasional, muncul pula tuntutan perlunya penambahan dan menghidupkan kembali jumlah bioskop, dan banyak ungkapan dan desah bernada ketidakberdayaan. Biarpun ada juga optimisme oleh raihan keuntungan (dari film dengan biaya murah), dan sukses dalam menjelajah festival-festival mancanegara industri film di Indonesia masih belum menjamin akan menemukan eksistensinya saat berada pada titik edar yang penuh persaingan dan intrik.

Baca artikel selengkapnya di Kabari Digital