Kraton Yogyakarta menggelar pameran akhir tahun dengan tajuk Parama Iswari, Mahasakti Keraton Yogyakarta, 6 Oktober 2024 – 26 Januari 2025. Pameran tersebut menjadi tawaran atas renaisans perempuan untuk mendefinisikan kembali keperempuanannya berdasarkan peran dan kapasitas.
Berlokasi di Kagungan Dalem Komplek Kedhaton Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, pameran itu dibuka pada Sabtu (5/01/2024) sore oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X didampingi Penghageng Nityabudaya Kraton Yogyakarta GKR Bendara.
GKR Bendara menjelaskan, lewat pameran ini pihaknya ingin memberitahukan pesan kepada khalayak bahwa peranan wanita terutama permaisuri di lingkungan Kraton Yogyakarta. Mereka punya peran penting yakni negosiator, politik dan ahli strategi militer. Pameran ini juga membuka narasi perempuan yang sebenarnya sangat mampu untuk berdiri dengan dua kaki sendiri.
“Kalau sekarang banyak yang beredar bahwa perempuan itu adalah konco wingking, tugasnya hanya di rumah dan sebagainya, saya harapkan dengan pameran ini bisa membuka mata semua, baik laki-laki dan wanita, bahwa peran perempuan yaitu permaisuri, tidak hanya luluran dan bikin jamu, tapi begitu banyak peran lainnya. Jadi harapannya dengan pameran ini, perempuan itu bisa menulis narasinya kita sendiri,” jelasnya. “Perempuan punya kesempatan yang dibuka luas untuk berpendidikan, mengelola keuangan sendiri, bebas berpendapat dan sebagainya walaupun banyak perempuan yang belum bisa lepas dari jeratan masa lalu,” lanjutnya.
GKR Bendara menambahkan, ada tujuh permaisuri yang ditonjolkan dalam pameran ini yakni sejak Hamengku Buwono 1-10. Kisah mereka tidak banyak tertuang dalam manuskrip, tapi pihaknya berupaya menggali dari arsip dan terbukti peran mereka sangat luar biasa. Dengan begitu pengunjung pameran bisa melihat bagaimana merefleksikan diri, saling dorong sesama wanita dan menguatkan satu sama lain.
“Kami ingin menceritakan ulang sejarah yang ada supaya masyarakat tahu kotak itu sebenarnya tidak ada, kotak itu terbentuk dari pemikiran pendapat masyarakat pada masa kolonial sehingga harapannya menyadarkan masyarakat,” ujarnya.
Lalu apa pandangan GKR Bendara terkait wanita yang menganggap dirinya subordinat? “Saya melihat bahwa setiap perempuan harus didukung oleh perempuan lain. Contohnya adalah ibu saya yang mendidik saya, sama rata, berimbang dengan siapa pun. Sejak kecil kami sudah diposisikan dengan posisi seperti itu. Kita diberi tanggungjawab oleh Ngarso Dalem, memimpin departemen-departemen yang sebelumnya dipimpin oleh laki-laki,” terangnya bangga.
GKR Bendara pun mengingatkan agar sesama wanita saling mendukung, women support women, tagline yang ramai ditulis di media sosial. “Kalau di media sosial itu hanya satu sisi, tidak ada cerita dari kedua belah pihak. Karena itu, kita jangan terlalu terbawa perasaan dalam media sosial, karena kehidupan seseorang tidak lah seperti itu. Perempuan yang terkena kekerasan atau perempuan yang melakukan kekerasan, itu tidak hanya semudah persoalan hari itu saja, tapi ada masalah masa lalu, yang mungkin kita tidak tahu. Sehingga harapan saya, paling tidak kita netral berpikir, terutama dalam melihat media sosial. Paling tidak kita menelaah, kita bukan ahli psikologi, kita tidak mengetahui psikologi orang pada saat itu, jadi ada masa lalu yang kita tidak pernah tahu, sehingga utamakan mendukung wanita tanpa merendahkan orang lain. Kita tidak boleh menjadi perempuan yang merasa unggul dengan menginjak laki-laki. Karena kita juga tidak berharap bahwa laki-laki meninggikan dirinya dengan menginjak perempuan,” tegasnya.
Apa harapan GKR Bendara melalui pameran ini? “Di akhir pameran kita menanyakan satu pertanyaan, bagaimana wanita dibenakmu?. Jadi bagaimana perempuan yang ada di pikiran kalian. Jadi harapannya dari pameran ini, kita bisa merefleksikan diri dan juga membantu perempuan satu sama lain. Jadi bukan saling julid, bukan saling gibah sesama perempuan tapi bagaimana kita sesama perempuan saling menguatkan satu sama lain,” ungkapnya.
Pimpinan Produksi Pameran Parama Iswari Nyi R. Ry. Noorsundari mengatakan, pameran ini bercerita tentang peran perempuan di Kraton Yogyakarta dari masa Hamengku Buwono 1 sampai dengan saat ini. Adapun koleksi yang ditampilkan adalah yang berhubungan dengan perempuan, baik busana, perhiasan, manuskrip juga arsip catatan keuangan.
“Parama Iswari utamanya perempuan utama, bahwa sebenarnya perempuan juga berperan dalam kelangsungan hidup bangsa,” ujarnya. Mahasakti Kraton Yogyakarta, melihat peran perempuan sebagai pendamping dan pendukung utama pria demi keseimbangan kehidupan, dan persepsi yang jujur tentang kekuatan perempuan.
Kurator Pameran Parama Iswari Fajar Wijanarko menyebut, Parameswari [parama-iswari]: dalam kamus bahasa Jawa berarti langkung luhuring pawestri atau lebih dari perempuan utama. “Parameswari sebuah term yang disematkan pada perempuan utama dalam tatanan kerajaan Jawa. Istilah tersebut telah digunakan sejak abad ke-9 dan dipelihara dalam memori kolektif budaya Nusantara sampai abad ke-21,” jelasnya.
Jenama yang mengikat pada raja sekaligus kuasa yang melampaui kadarnya. Berangkat dari pendekatan kronologi, narasi parameswari sebagai perempuan yang melintasi sejarah dirangkap dalam satu situasi budaya. Impresi dari kiprah prameswari yang dikumpulkan dan dipadu dalam satu ruang pamer membawa intensi agar perempuan mampu membangun definisi ulang tentang keberadaannya secara adaptif.
“Konteks perempuan sebagai bagian dari militer, pemrakarsa budaya, hingga aktivis sosial terus berubah dan menjelma sesuai relevansi hari ini,” katanya.
Kraton Yogyakarta mencatat gender parameswari sebagai perempuan utama bukan hanya pada dikotomi perempuan di ruang privat. Raden Ayu Kadipaten adalah parameswari dari Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga panglima perang prajurit Langenkusumo. Kiprahnya dalam dunia militer patut diperhitungkan. Dia dicatat sebagai guru sekaligus nenek dari Pangeran Diponegoro yang kemudian hari mengibarkan Perang Jawa (1825-1830).
Raden Ayu Andayaningrat, seorang diplomat ulung yang menjadi negosiator dari kembalinya Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan di Saparua. Periode yang paling kentara adalah kehadiran GKR Kencana, permaisuri dari Sultan Hamengku Buwono VII yang memiliki daya matematis yang ulung, Ia adalah perempuan yang mengatur keuangan di Keraton Yogyakarta.
“Dari data kronologis yang dikumpulkan, akhirnya, Keraton Yogyakarta tidak secara khusus mengonstruksi dialog perlawanan terhadap dogma feminis yang sebenarnya belum selesai dipahami. Ihwal yang ditangkap cenderung berpusat pada data sejarah sebagai jalan untuk menyelami aksi-reaksi seorang parameswari sebagai perempuan,” pungkasnya.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 206