Apakah Anda pernah tahu siapa pengibar bendera merah putih untuk pertama kali di republik ini? Sebuah foto lama menunjukkan bahwa ada dua orang pengibar bendera pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 di Jalan PegangsaanTimur 56 Jakarta (kini Tugu Proklamasi). Dua orang yang masih sangat belia ketika itu. Satu orang bernama Singgih dan satu lainnya bernama Ilyas Karim. Kini hanya Ilyas yang waktu itu bercelena pendek dan berdiri membelakangi ibu Fatmawati yang masih hidup.

Kini Ilyas berumur 84 tahun. Wajahnya masih memancarkan semangat juang meski sudah senja. Jalannya juga masih gagah menunjukkan ia adalah prajurit sejati. Di pelupuk matanya ada selotape yang menempel sampai ke alis matanya yang putih untuk menahan agar matanya tetap terbuka. Saat berbicara, suaranya masih lantang walau agak gemetar.

Pada sebuah acara di televisi, secara gamblang Ilyas mengisahkan bagaimana ia bisa menjadi pengibar pertama bendera pusaka yang dijahit tangan oleh ibu Fatmawati. Pada malam 16 Agustus 1945 para pemuda yang bermarkas Asrama Pemuda Islam (API) di Menteng Raya, diberi tahu oleh pimpinan mereka, Chaerul Saleh Rasyid agar pagi hari siap-siap berangkat ke rumah Ir Soekarno di Pegangsaan Timur 56.

Jalan dari Menteng ke Pegangsaan Timur tidaklah terlalu jauh, sekitar 3 km. Sesampai mereka di rumah itu, alangkah kagetnya Ilyas karena mendapatkan tugas untuk menaikkan bendera pusaka diiringi lagu Indonesia Raya. Kala itu, menurut Ilyas, tangannya ditarik seseorang dan bilang padanya, “Dik, kamu nanti jadi pengibar bendera ya. Hati-hati kalau memegang, soalnya cuma dijahit tangan,” kata Sudanco Latief Hendraningrat, petugas protokoler istana saat itu. Tugas menaikkan bendera pusaka itu ia lakukan tanpa latihan. Berbeda dengan para pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka sekarang yang harus dilatih berminggu minggu.

Ada suatu yang lucu saat penaikan bendera itu.“ Saat itu,” kata Ilyas,” Lagu Indonesia Raya belum selesai, sementara bendera sudah mencapai ujung tiang bendera”. Akhirnya Ilyas dan Singgih langsung saja mengikat tali bendera sampai lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan.

Pria kelahiran 13 Desember 1927 ini kini hidup di rumah sempit berukuran 50 meter persegi di pinggir rel kereta api di Jalan Rajawali Barat, Kalibata, Jakarta Selatan. Ia sudah beberapa kali tergusur. Sebelumnya, sebagai seorang perwira menengah (Letkol) dari jajaran Kodam Siliwangi, Ilyas pernah menempati rumah dinas di Kompleks Siliwangi, Lapangan Banteng, yang kini menjadi Kompleks Kementerian Keuangan.

Sekarang dia menempati rumah bercat biru yang sudah kusam. Di sana Ilyas menghabiskan sisa hidupnya bersama istrinya. Dia menceritakan bahwa kepindahannya dari rumah di Lapangan Banteng ke Kalibata karena dirinya diusir oleh aparat. “Tak ada pesangon. Pokoknya kami harus pindah dari tempat itu segera. Bahkan tak ada barang yang bisa dibawa saat pengusiran dari rumah di Lapangan Banteng itu, “ kata bapak 14 anak ini dan 28 cucu ini.

Bersama keluarga, Ilyas kemudian menumpang di rumah rekannya di jl Pramuka Jakarta selama beberapa bulan. Dari situ dia pindah ke Kalibata, setelah sebelumnya menghadap kepala Kereta Api setempat untuk minta izin mendirikan rumah di atas sebuah lahan kosong milik PT KAI (Kereta Api Indonesia). “Ini bukan hak milik. Status kami hanya pinjam lahan. Jadi sewaktu-waktu bisa diusir,” kata Ilyas lagi.

Itulah gambaran pahlawan yang harus berjuang pada masa senjanya. Tak hanya berjuang untuk mengisi kegiatan di hari tua. Tapi juga juga berjuang untuk tetap bertahan dengan lahan pinjaman dan rupiah tak seberapa dari uang pensiunnya.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37175

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :