Rabu pagi 16 April 2008 seperti biasa jalanan di Distrik Finansial San Francisco penuh orang bergegas masuk kantor. Ari dan Susi peminta asylum dari Indonesia melangkah pelan menyusuri trotoar Jalan Sansome. Itu karena Susi harus menggendong Mimi, putri ketiga kelahiran Amerika dua tahun lalu. Juga, karena suami istri ini sungguh mencemaskan apa yang bakal terjadi.

Minggu sebelumnya seorang case specialist dari Behavioral Interventions (BI) marah besar. Gara-gara Ari dan Susi tidak langsung lapor begitu kasus asylumnya ditolak di Board of Immigration Appeal. Ini penolakan kedua. Mereka pikir toh akan lapor juga ke BI, perusahaan rekanan Homeland Security yang mengawasi imigran tahanan luar di AS.

Sejak Oktober 2004, Ari dan Susi memang wajib lapor BI perihal keberadaannya. Awalnya wajib lapor ke kantor BI seminggu dua kali. Kemudian dikurangi, seminggu sekali. Nama mereka diambil acak oleh Homeland Security menjalani pengawasan intensif sewaktu banding pertama kali ke Ninth Circuit Court, pengadilan banding terakhir yang memutuskan kasus asylum.

Ari dan Susi merasa nasibnya semakin terpuruk. Lawyer mereka secara halus menolak menangani kasusnya ke Ninth Circuit Court untuk keduakalinya. ”Just save your money”, katanya.

Kedua pencari suaka ini hanya bisa pasrah. Mereka berdebar-debar sesampai di Sansome 500 Lantai 5. Dari luar BI seperti kantor biasa. Di dalam ada ruang tunggu 10 kursi. Dipisahkan sekat, ada loket terbuka dengan resepsionis ada ruang tempat case spesialist menangani kliennya. Ada tulisan no cell phone, no recording dan keharusan mengisi log book jika pakai restroom. Suasananya kaku, tegas dan lugas. Tipikal penegak hukum.

Jam baru 9 lewat lima. Ari an Susi menyodorkan seluruh berkasnya ke personil BI. Satu jam kemudian, terdengar panggilan buat mereka. Ari, Susi dan Mimi pun memasuki ruangan case spesialist.

Tanpa basa basi case specialist-nya bilang, ”Hari ini DHS memberi instruksi kalian dipasangi ankle bracelet!”. Si case specialist memegang selembar kertas “Order of Supervision”.

Ari langsung lemas kehabisan kata-kata. Air matanya sudah habis. Kepedihan itu menyayat-nyayat. Dia teringat lagi saat dipasangi gelang kaki elektronik pertama kali di tahun 2004. Cuma sebulan tapi terasa selamanya. Susah menerima fakta pencari suaka diperlakukan sebegitu rupa di Amerika. Kita tidak ada pikiran kabur, pikirnya. Bertahun-tahun dia tinggal in-law di rumah yang itu-itu juga. Tidak berani pindah rumah atau keluar state. Karena ganti alamat atau pergi ke state lain harus lapor Imigrasi 48 jam di muka.

Susi, istrinya, bereaksi sama. Pandangannya kosong sambil erat-erat mendekap Mimi. Berharap-harap mana tahu kasus asylum-nya menang di Ninth Circuit Court jika patuh menjalani program pengawasan ketat dengan gelang kaki elektronik ini.

”All right, ” kata case specialist memecah keheningan sesaat.

Ari dan Susi lalu diminta meneken sebuah perjanjian sukarela bahwa mereka bersedia menjalani program yang dikenal sebagai ISAP (Intensive Supervision Appearance Program) ini. Dalam tempo lima menit, electronic ankle bracelet itu diikatkan mati ke pergelangan kaki mereka. Dengan sorot mata polos tidak mengerti, Mimi menyaksikan semua kejadian ini.

Ari dan Susi melangkah gontai meninggalkan kantor BI pagi itu. Kembali dalam keseharian mereka. Ari bekerja di downtown. Susi kembali ke rumah menjagai Mimi dan menanti Yusi (kelas 7) dan Desi (kelas 6), dua anak perempuan mereka, pulang sekolah.

Sampai saat ini, hari-hari Ari dan Susi lebih dari sekedar gelang kaki. ”Makan hati, tapi mau gimana lagi, ” kata Ari. ”Kita gak boleh keluar rumah sebelum jam 8 dan harus kembali ke rumah jam 10.30 malam. Kalau tidak, bisa kena marah case specialist, ” tambahnya.

Hari Senin jam 10 pagi mereka wajib lapor ke kantor BI dengan kartu tanda pengenal yang ada bar-code-nya. ”Basically mereka pingin tahu apa saja rencana kegiatan kita minggu itu, ” kata Ari.

Hari Selasa mereka harus menunggu kunjungan personil BI sampai sekitar jam 10. ”Seringkali mereka tidak datang,” jelas Ari.

Hari Rabu kembali wajib lapor dan menunggu lagi ke kantor BI.

Hari Kamis jam 10 pagi ke sana lagi. Menghadap lagi.

Hari Jumat, Sabtu dan Minggu Ari dan Susi bisa sedikit bernafas lega tidak pergi melapor. Tapi jam malam tetap berlaku.

Hari-hari ini Ari dan Susi masih kelabakan mencari pengacara yang bisa membantunya banding di Pengadilan Circuit.

Meski hari-hari Ari dan Susi terasa berat, tiga putrinya menjadi hiburan tersendiri. Mereka bangga dengan Mimi yang cute. Mereka senang Yusi dan Desi mendapat pendidikan Amerika. Mereka sudah puas bisa menghibur anak-anaknya makan di McDonald dan Popeyes. Summer ini mereka pergi ke Great America di Santa Clara karena Ari mendapat empat hari off.

Meski tidak tahu bagaimana hari esoknya, pada hari Minggu Ari dan Susi menghayati sekali lagu ”Ajar kami Tuhan, menghitung hari-hari” …. ”Lagu itu memberi kekuatan, ” kata Ari terharu.(peter)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31562

Untuk melihat artikel imigrasi Amerika lainnya, Klik disini

Klik disini untuk baca artikel ini di majalah Kabari juli 2008 ( E-magazine )

Mohon Memberi Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Photobucket