Hasil survei yang dilakukan The Nature Conservacy dan 19 organisasi lain seperti WWF, Persatuan Pengamat dan Pakar Primata Indonesia yang dimuat di jurnal PLoSOne menunjukkan hasil mengejutkan. Survei yang dilakukan dengan mewawancarai 6.983 orang di 687 desa di tiga provinsi Kalimantan itu melaporkan bahwa warga di banyak desa Kalimantan membunuh setidaknya 750 ekor orang utan dalam setahun.

Pembunuhan itu dilakukan karena menganggap orangutanjenis Morio (Pongo Pygmeus Morio) adalah hama sekaligus untuk dikonsumsi dagingnya. Peneliti dan penulis laporan itu Erik Meijaard mengatakan praktik seperti ini belum pernah tercatat sebelumnya, dikhawatirkan menjadi ancaman yang jauh lebih serius untuk orang utan.

Indonesia, rumah bagi 90% populasi orang utan dunia, memiliki hutan hujan lebat sekitar 50 tahun lalu. Namun kini luas hutan hujan semakin berkurang karena digunakan untuk keperluan kayu, perkebunan kertas dan kini perkebunan kelapa sawit.

Akibatnya, sekitar 50.000 sampai 60.000 ekor orangutan tinggal terpencar di kawasan hutan yang luasnya semakin berkurang. Sehingga, tak jarang hewan-hewan itu bersinggungan dengan manusia yang berakhir dengan pembunuhan dan penyiksaan.

Meragukan

Namun, peneliti Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Dr Yaya Rayadin meragukan hasil survey TNC itu. Menurut Yaya, survey yang dilakukan TNC adalah sebuah survei sosial yang tidak bisa diandalkan validitasnya. “Sebab jika Anda tanya ke masyarakat, saya tidak bisa menyebut satu, lima atau sepuluh. Selain itu saya tidak yakin masyarakat tidak tahu berapa yang dibunuh selama setahun,” kata Yaya yang merupakan peneliti orang utan. Dia meragukan jumlah itu karena orang utan adalah hewan yang sulit ditangkap. Meski meragukan hasil survei TNC, namun Yaya Rayadin meyakini timbul penyiksaan orang utan di beberapa kawasan hutan yang berdekatan dengan kepentingan manusia.

Sedikitnya 10 juta hektar hutan Kalimantan dibuka tanpa izin yang benar. “Untuk mengendalikan orang utan secara layak butuh peralatan dan sumber daya manusia. Kalau di perusahaan-perusahaan sekarang tidak ada alat, tidak ada SDM jadi untuk mengendalikan orang utan secara layak tidak mungkin,” paparnya.Pola-pola penyiksaan inilah yang kemudian diduga menjadi penyebab pembunuhan puluhan ekor orang utan di Desa Puan Cepak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada 2009-2010.

Kemungkinan adanya praktik pembunuhan orang utan tidak ditampik Kementerian Kehutanan Indonesia. Namun, pemerintah belum menemukan bukti bahwa pembunuhan orang utan itu terkait salah satu perkebunan kelapa sawit.

“Ada yang mengatakan menemukan sekelompok orang utan dikubur. Itu bisa saja terjadi mungkin pernah ada kebakaran hutan di Kaltim kemudian terpepet dan kemudian mati bersama,” kata Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Darori.

Sebelumnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kaltim mengantongi sejumlah bukti dokumentasi dugaan pembantaian orangutan. Puluhan orang utan diduga dibantai dan dimutilasi warga karena dianggap merusak perkebunan sawit. Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, juga membenarkan tulang-tulang yang ditemukan di Kec Muara Kaman, Kutai Kartanegara, adalah orangutan dan diduga mati tidak wajar.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37551

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :