Sepuluh tahun lalu, tak banyak yang tahu provinsi Bangka –
Belitung (Babel). Mungkin tempat itu hanya terdapat di pelajaran sekolah
yang menyebutkan, bahwa Babel adalah provinsi baru hasil pemekaran dari
Sumatera Selatan. Selain itu, dulu, Bangka Belitung dikenal sebagai
tambang timah yang besar.

Timah di Bangka Belitung memang telah habis dan investor tambang tak
meliriknya lagi. Namun kini, hampir seribu orang wisatawan asing dan
domestik datang ke Belitung dalam waktu satu bulan. Artinya 12 ribu
wisatawan setahun. Naik dua kali lipat dibanding tahun 2008. Memang
kecil bila dibanding Bali, tapi itu prestasi luar biasa bagi Belitung.

Apa yang menarik dari Belitung? Bukan soal tambang lagi. Namun novel
dan film Laskar Pelangilah, penyebabnya. Kisah 10 murid yang bersekolah
di SD Muhammadiyah yang hampir roboh di Belitung Timur ini, amat
menginspirasi banyak orang. Tak hanya anak-anak, tapi juga remaja dan
orang tua. Novel ini bercerita tentang semangat dan keniscayaan yang
dimiliki oleh kanak-kanak dengan penggambaran tokoh dan latar belakang
alam Belitung yang indah.

Novel yang ditulis Andrea Hirata itu dibaca oleh satu juta orang.
Filmnya, yang disutradarai Riri Riza dan diprodusir oleh Mira Lesmana
ditonton oleh sekitar 4,5 juta orang. Jumlah yang banyak menurut ukuran
film Indonesia. Laskar Pelangi memang luar biasa. Sekarang nama itu
menjadi nama pelabuhan – menggantikan Tanjung Pandan, menjadi simbol
Belitung. Nama-nama tempat yang terdapat di novel itu menjadi tujuan
wisata; Tanjung Tinggi, Sekolah Laskar Pelangi, Rumah Puisi, Bendungan
Pice, Warung Kopi Fatimah khas Melayu, Warung Kopi Akiong, Warung Kopi
Aitam, Pasar Rakyat Laskar Pelangi dan Pasar Lama. Pemerintah daerah
berencana menjadikannya tempat wisata sastra. Sekarang, nama-nama jalan
di kabupaten itu memakai nama pujangga Indonesia. Roda ekonomi
masyarakatnya juga bergerak, dari adanya penyediaan makanan, penginapan,
transportasi, jasa penterjemah dll.

Fenomena Belitung hampir sama dengan Kota Hannibal, Iowa, Amerika
Serikat, tempat kelahiran penulis Mark Twain. Kota ini juga terinspirasi
karya-karya Twain untuk menggerakkan kegiatan ekonomi kota. Nama-nama
seperti pelabuhan, pelayanan air bersih banyak yang diambil dari kisah
di karya-karya Mark Twain seperti The Adventures of Huckleberry Finn dan The Adventures of Tom Sawyer.

Begitu juga Ubud- Bali yang sudah dikenal dan dikunjungi sekitar 250 ribu orang asing perbulannya. Berkat buku Eat Pray Love,
karya penulis Amerika Serikat Elizabeth Gilbert, Ubud makin mendunia.
Novel laris ini kemudian diangkat menjadi film, dengan Julia Robert
sebagai pemain dan Brad Pitt menjadi salah satu produsernya. Sekarang
jika ke Ubud dan ingin bertemu dengan Ketut Liyer, dukun yang menjadi
guru Gilbert ketika di Bali, kita akan temukan antrian yang panjang
untuk menemuinya.

Laskar Pelangi dan Eat Pray Love hanya contoh bagaimana
sebuah tulisan atau film yang akhirnya menggerakkan orang datang ke
tempat itu. Dengan segala kelebihannya, film akan bercerita melalui
bahasa gambar tentang keindahan tempat itu.

Peluang ini yang dipahami benar oleh Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif (Kemenparenkraf). Sejak perombakan kabinet, Menteri di
Kementerian Pariwisata berpindah tangan dari Jero Wacik ke Marie Elka
Pangestu yang sebelumnya Menteri Perdagangan. Marie Elka berencana untuk
membuka diri terhadap film asing yang ingin memanfaatkan Indonesia
untuk pengambilan gambar.

Marie mengatakan film akan sangat efektif sebagai sarana promosi
termasuk menjual dan memperkenalkan budaya dan lokasi pengambilan gambar
bagi film internasional. Ia memberi contoh kopi luwak yang terangkat
berkat film Hollywood berjudul The Bucket List yang dibintangi Jack Nicholson. “Atau contoh saja film Lord of The Ring bagi New Zealand. Juga, Slumdog Millionaire
yang mengangkat Mumbai,” tutur Marie. “Beberapa negara Asean sudah lama
dijadikan sebagai lokasi film terkenal dunia. Indonesia kini juga
sedang berupaya agar dilirik oleh beberapa produser asing,” katanya.

Pihaknya menyatakan ingin memperluas kerja sama dan berbagi informasi
karena Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dijadikan sebagai
negara tujuan lokasi pengambilan gambar film. Usaha itu perlu dilakukan,
agar Indonesia dapat dipromosikan lebih gencar dan pada gilirannya akan
menarik wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.

Untuk diketahui, dalam penilaian index persaingan pariwisata tingkat Asean, Indonesia hanya pada peringkat 5 dari 8 negara. World Economic Forum
hanya mengikut sertakan 8 di antara 10 negara Asean. Urutan daya saing
pariwisata negara-negara Asean adalah; 1. Singapura; 2. Malaysia; 3.
Thailand; 4. Brunei Darussalam; 5. Indonesia; 6. Philippina; 7. Vietnam;
8. Kamboja. Singapura unggul hampir dalam segala bidang, misalnya hal
Pengaturan Kebijakan dan Peraturan , Kelestarian Lingkungan,
Keselamatan dan Keamanan, Prasarana Transport Udara, Sumberdaya Manusia
dan Teknologi.

Namun tak apa. Setidaknya Indonesia tengah berbenah diri. Sepanjang
tahun 2011, tercatat 114 film asing (termasuk dokumenter) yang memakai
Indonesia sebagai tempat pengambilan gambar. Direktur Film
Kemenparenkraf, Syamsul Lussa mengatakan, sudah ada sudah ada 10-15
judul yang hendak mengambil gambar untuk film di Indonesia tahun depan.
Sedang tahun 2012 ini, terdapat tiga judul film asing yang telah
mengambil gambar, diantaranya adalah Java Heat yang dibintangi Mickey Rourke, serta The Philosophers yang dibintangi Bonnie Wright dan I, Alex Cross.

Film memang menggiurkan. Total nilai investasi pengambilan gambar film Eat Pray Love adalah Rp 400 miliar dengan Rp 100 miliar dihabiskan di Indonesia. Java Heat
yang akan mengambil gambar di Yogyakarta berbiaya tinggi yaitu US$ 21,5
juta atau berkisar Rp 200 miliar, dan hampir seluruhnya dihabiskan di
Indonesia. Keadaan ini menunjukkan pariwisata Indonesia layak dijual.

Java Heat akan mengambil gambar empat bulan dan menyerap
1.300 tenaga kerja, belum lagi bisnis di sekitarnya,” kata Syamsul.
Artinya, dengan rata-rata investasi Rp 100 miliar-Rp 200 miliar per film
asing, akan masuk minimal Rp 1 triliun dari pengambilan gambar film
asing. Sekedar perbandingan, biaya rata-rata film lokal sekitar Rp 10
miliar-Rp 22 miliar. Itupun sudah mengubah banyak hal di sekitarnya.
Film ‘Sang Penari’ misalnya. “Gara-gara pengambilan gambar untuk film
‘Sang Penari’, jalan di Banyumas jadi bagus, daerah juga dipercantik,
pariwisata dan kuliner juga jadi maju,” kata Marie.

Karena itu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan
memudahkan proses perizinan untuk lokasi pengambilan gambar untuk film.
Marie telah meminta jajarannya untuk pelayanan terpadu (bermacam-macam
hal dalam satu paket). Termasuk keamanan, bea cukai, imigrasi,
karantina, tenaga kerja dan komunikasi dan birokrasi dengan daerah.
Semoga ini semua dapat meningkatkan jumlah wisatawan asing ke Indonesia.
(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37848

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :