Rupiah ikut merosot tajam setelah krisis ekonomi global menerjang
dunia. Industri kerajinan perak untuk pasaran ekspor pun lesu menanti
pasar potensial.

Siapa
yang tak mengenal industri perak dari Kotagede? Kawasan living museum
heritage
yang sohor karena nilai historisnya itu, memang dikenal luas
sebagai salah satu sentra industri kerajinan perak dunia bersama daerah
Kamasan, Bali. Kotagede yang terletak sekitar 7 KM arah Tenggara Kota
Yogyakarta ini, pada masanya sempat menjadi muasal Kerajaan Mataram
Islam, yang menurunkan Dinasti Raja-Raja Mataram Jawa, Surakarta dan
Yogyakarta.
Tak heran, sebagai salah satu sentra industri
kerajinan di Yogyakarta. Kawasan Kotagede telah berkembang pesat
menjadi magnet tersendiri bagi kunjungan wisata domestik dan manca di
Yogyakarta. Selain memiliki nilai historis yang kental, Kotagede
identik dengan kerajinan peraknya yang telah mendunia.

Krisis Finansial Global
Meski begitu, krisis
ekonomi global yang mengguncang dunia tak luput membawa dampak bagi
dinamika pasar kerajinan logam akan halnya industri perak Kotagede.
Pasalnya, nilai tukar rupiah yang semakin melemah ikut mempengaruhi
neraca ekspor kerajinan perak ini ke seluruh penjuru dunia. Dan
imbasnya hampir bisa ditebak, permintaan mulai menurun serta para
pengrajin mulai mengurangi jumlah produksinya.

“Kendati disinyalir
hanya berlangsung dua tahun. Krisis finansial dunia ini, membawa dampak
yang cukup signifikan dalam industri perak dunia,” tandas Priyo Jatmiko
Salim membuka perbincangan. Apa yang diutarakan pemilik industri perak
rumahan Salim Silver ini, tentu bukan tanpa alasan. “Ini salah satu
ujian terberat kami sebagai salah satu eksportir dan pemasok industri
kerajinan perak dunia,” paparnya geram mencermati situasi ekonomi dunia
yang tak menentu belakangan ini.

Lihat saja, berturut-turut hantaman krisis menerpa industri perak Kotagede. Mulai dari bencana gempa bumi Mei 2006, krisis BBM, travel warning dan kini krisis finansial yang dimulai di AS.
Imbas
melemahnya nilai tukar rupiah ini berdampak pula pada industri
kerajinan perak Kotagede. Apalagi nilai tukar rupiah sempat menembus
level Rp 10.000 beberapa pekan terakhir, tentu saja hal ini membuat
panik para pengrajin perak. Mau tak mau, ongkos produksi pun naik. Dan
akhirnya harga barang pun menjadi naik. Jika harga naik, pasar pun
mulai lesu karena daya beli menurun tajam. Sebaliknya, tak juga membuat
industri berbasis ekspor untung karena permintaan menurun akibat pasar
global yang ikut lesu.

Harga bahan perak memang kini meningkat
drastis. Yang semula berkisar 400 ribu rupiah per kilogramnya, dalam
enam bulan saja melonjak menjadi 3 juta rupiah, bahkan tak lama
berselang sempat menembus harga 6.5 juta rupiah, dan turun lagi di
kisaran 4 jutaan rupiah per kilogramnya hingga kini. “Kami harus
menyiasati produksi dan pasar jika ingin tetap eksis di tengah krisis.”
tandas Priyo bersemangat. Meski seperti diakuinya, belum lama ia
terpaksa harus menutup salah satu gerainya.

Langka Pengrajin
Apabila
situasi ini terus terjadi, kelangsungan industri perak Kotagede bisa
tinggal cerita. Setelah gempa saja, mereka sudah banyak yang menutup
usahanya. “Jika produksi terus menurun, otomatis pengangguran tak dapat
terelakkan. Kondisi ini, tak baik bagi stabilitas ekonomi dan keamanan
tanah air, khususnya bagi para pengrajin perak Kotagede,” papar
pengamat dan pemerhati seni budaya Kotagede, M. Natsir mengingatkan.

Lebih
jauh dikatakan oleh Natsir, sebelum gempa para pengrajin perak di
Kotagede berkisar 650 orang, pasca gempa menurun drastis menjadi
sekitar 125 orang. Sekarang malah tinggal 100-an orang yang masih
bertahan di beberapa gerai pengrajin perak yang berjumlah 25-an buah di
seputaran Kotagede dan sekitarnya. “Ini penurunan yang sangat drastis,
dan menjadi tantangan tersendiri bagi para pengrajin perak, bagaimana
bisa menyiasati pasar tanpa mengorbankan industri dan nilai historis
yang ada.” ungkapnya lagi.

Apa yang di utarakan Natsir memang
bukan tanpa alasan. Mengingat kondisi itu, masih diperparah oleh aturan
pemerintah soal pajak pembelian sebesar 10 persen dari harga beli yang
dianggap semakin memperburuk serta menyusahkan para pengusaha dan
pengrajin industri perak untuk bersaing di pasar global. “Sebagai
pengrajin, kami sangat berharap langkah konkret pemerintah untuk bisa
lebih bijaksana melihat situasi yang terjadi,” sergah Priyo saat
ditemui Kabari di workshop, sekaligus showroomnya di daerah Kebohan KG 3/547, Kotagede, Yogyakarta.

“Saya
harus optimis, meski order masih belum terlalu banyak. Karena
bagaimanapun juga, kami sudah memiliki pasar tersendiri yang terus
mendukung kami.” jelas generasi ketiga pengusaha perak yang juga
penghobi dunia fotografi itu yakin.
Konsumen setia Salim Silver
hampir 70 persen adalah pasar Amerika, dan 30 persen lainnya untuk
Eropa dan Asia. Apalagi menurutnya, bagaimanapun buyers industri
kerajinan perak ini pun masih didominasi orang luar. “Bagi kami,
menaikkan harga sih gampang, tapi apa gunanya kalau tidak ada yang
membeli?” tanyanya.

Kalau sudah begini, posisi industri kerajinan
perak menjadi serba susah. Tak hanya di pasaran domestik, untuk menjual
produknya di pasar global pun setali tiga uang. “Untuk itu, peran
pemerintah sangat dinanti untuk merealisasikan langkah dan strategi
yang jitu agar dapat keluar dari masalah ini.” harap Natsir kemudian.

(Foto: Pandhu)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?32210

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

BusLoan