Astrid mengendarai motor di jalanan kota kecil itu dan
berhenti karena lampu merah menyala. Terlihat seorang ibu yang
membonceng anak, terjatuh dari motor. Kepala anak yang masih berumur
setahun itu berlumur darah. Astrid meminggirkan motor. Berlari ke arah
mereka dan dari tas dia mengeluarkan peralatan medis dan segera bekerja
memberikan pertolongan pertama. Perempuan berjilbab itu seorang perawat.

Segera setelah memberi pertolongan dia mengantar ibu dan bocah itu ke
klinik terdekat. Motor diurus orang-orang. Di Unit Gawat Darurat (UGD),
dia menulis hubungan kekerabatan dengan; ‘tidak mengenalnya’. Astrid
memang tidak mengenal ibu dan bocah yang merupakan seorang pendeta di
kota kecil itu. Kenapa Astrid menolongnya? “ Saya cuma merasa harus
menolongnya,” katanya.

Berbeda cerita dengan Antonius Mebe. Katolik taat asal Adonara NTT
ini baru menyelesaikan studi Islamologi di Kairo Mesir dan memiliki
sahabat beragama Islam cukup banyak. Beberapa saat ketika di Kairo dia
tinggal satu flat dengan dua muslim dan satu kristen. “Tak ada masalah.
Kami sering berdiskusi soal agama dengan teman satu flat atau kelompok
pengajian mereka,” kata Antonius.

Pernahkah Antonius mendengar pembakaran gereja di Indonesia ketika
dia di Kairo? “Pernah. Perih sekali mendengar gereja kami dibakar,”
katanya. Gereja St. Albertus di Bekasi adalah gereja tempat Antonius
berbakti ketika di Jakarta. “Kami sering mendiskusikannya ketika di
Mesir. Tapi mereka muslim yang dewasa. Mereka paham bahwa pembakaran itu
tak baik, “ kata Antonius lagi. “Semboyan negara kita Bhinneka Tunggal
Ika. Tapi ironinya kenapa para pemimpin negeri ini lebih banyak berdiam
diri menyaksikan sekian kekerasan dan kerusuhan diantara kehidupan
beragama,” katanya.

“ Bangsa lain berlomba-lomba keluar dari penjara primordialisme, kita
masih begini-begini saja. Ujung-ujungnya duit,” simpulnya dengan wajah
memelas.

“Yang mengherankan hati saya ialah kasus-kasus penyerangan terhadap
gereja itu selalu terjadi berulang-ulang. Solusinya tidak jelas. Yang
terakhir ada kyai, pendeta dan pastor yang berkumpul di kantor polisi,
lalu berdamai,” papar Antonius.

Hampir Setiap Tahun

Hampir setiap tahun, media massa memberitakan aksi-aksi kekerasan
terhadap sesama yang berlainan agama, mulai dari soal larangan pengenaan
simbol-simbol agama (jilbab, salib, rosario) di sekolah hingga
penolakan izin membangun rumah ibadah atau hanya hasutan soal SARA
(Suku, Agama, Ras). Walau tak sulit bagi kepolisian mengungkap
kasus-kasus itu, tetapi motif-motif pelanggaran tersebut selalu
terulang. Bukan rahasia lagi, jualan ‘provokasi antar umat beragama’ di
Indonesia lebih cepat ‘laku dijual’ kepada massa. Massa kemudian
menerimanya dan bertindak anarki. Kasus Temanggung contohnya. Tiga
gereja dibakar karena tak puas atas putusan pengadilan terhadap terdakwa
yang dianggap menyebarkan hasutan kepada masyarakat. Peristiwa itu
menimbulkan keprihatinan.

“Peristiwa di Banten (Cikeusik) dan pembakaran gereja di Temanggung
mengundang keprihatinan bagi bangsa. Ini yang harus diwaspadai dan
menjadi pelajaran bagi umat manusia untuk terus menjaga kerukunan,“ kata
Wakil Ketua Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).

Menurutnya, jika mau belajar dari sejarah Nabi Muhammad, peristiwa
kekerasan di Banten dan Temanggung itu tak seharusnya terjadi. Ketika
Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, membuka pidato menggunakan kalimat:
“hai umat manusia”, bukan “hai umat Islam”. Saat itu menurut Gus Yusuf,
Nabi Muhammad menghormati orang-orang non muslim yang ada di Madinah.
“Sebagai ungkapan cinta kepada semua umat manusia, bukan hanya umat
Islam. Nabi Muhammad juga pernah mengatakan, barang siapa menyakiti
saudara-saudara non muslim, sama saja menyakitinya. Merusak tempat
ibadah mereka, lanjut dia, sama saja merusak rumah Nabi,“ kata Pengasuh
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang itu.

Mengutip teori Sigmund Freud, kekerasan yang berdarah-darah sekalipun
hanyalah puncak dari sebuah gunung es yang besar. Rasa kebencian yang
disulut oleh prasangka terhadap sesama ‘yang berbeda’ (Kristen, Cina,
non Jawa, Indonesia Timur) yang tertanam dalam bawah sadar kolektif,
itulah yang selalu menjadi sumber masalah terdalam masyarakat kita.
Padahal masyarakat harus hidup dengan banyak perbedaan. Ibarat benda,
negara kita seperti pelangi. Ada Islam, Kristen, Budha, Katolik, Hindu
dan Kong Hu Chu. Islam pun ada syiah dan sunni. Di Budha ada Buddhayana,
Theravada dan Mahayana. Satu ras bisa berbeda agama dan suku.
Kebermacaman ini adalah anugerah.

Namun seringkali, dengan sedikit luka dalam wujud kasus kecil saja,
segera disusul tindak kekerasan massal, toleransi pun terlupakan. “Di
permukaan, tampaknya kita kompak dan damai. Ini sebuah kesemuan jati
diri. Seharusnya kita membangun kebersamaan ini dalam kecerdasan, bukan
dalam perasaan emosionalitas,” kata psikiater Limas Sutanto.

Menurut Romo Benny Susetyo Pr, persoalan pembakaran gereja terlihat
bukan semata-mata masalah internal, tetapi ada masalah lain.
“Menariknya, banyak kejadian terjadi menjelang Natal. Maka ada
kepentingan-kepentingan kapital yang ikut bermain di dalamnya. Sekarang
kita harus melihat, bukankah ini sebuah provokasi yang dibayar? Jadi ini
nggak murni agama. Yang bikin rusuh itu bukan orang setempat kok,” kata
Sekretaris Eksekutif Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ini.

Lemahnya Penegakan Hukum

Lemahnya penegakan hukum di Indonesia, memperlihatkan relasi timpang
antara warga negara dan negara. Menurut sosiolog Dr Ignas Kleden, pada
tataran akademik, kajian seputar teori hubungan warga negara dan negara
memang kurang banyak dikaji. “Padahal, ini sebuah masalah yang selalu
muncul ke permukaan. Kerusuhan di Ambon yang berlarut-larut misalnya,
adalah wajah lemah negara memperhatikan warga negaranya.” ujarnya.

Romo Benny mengemukakan pendapat, bahwa bila negara terus membiarkan
kekerasan seperti ini, boleh dikata, negara melanggar prinsip yang
dibangunnya sendiri. Ironi memang. “Inilah yang dilawan alm. Gus Dur.
Bila seorang presiden tidak berani mengecam kekerasan, berarti presiden
tidak menghormati konstitusi. Alm Gus Dur adalah orang yang setia pada
konstitusi. Setiap kekerasan terhadap agama adalah penghinaan terhadap
konstitusi,” ujarnya.

“Kalau negara terus-menerus tidak bertindak, maka konstitusi
terus-menerus dilanggar. Menghormati konstitusi berarti menghormati hak
setiap warga negara untuk menjalankan agamanya secara bebas. Ketika
negara tidak memberi jaminan kepada warganya, itu sebuah pelanggaran
konstitusional. Menjaga konstitusi itu lebih penting” tegasnya.

“Pada kasus gereja di Purwakarta dan Bandung, kita menempuh jalur
hukum. Ketika izinnya dicabut, artinya pelanggaran terhadap Perber
(peraturan bersama) dan konsitusi negara. Semua persyaratan sudah
dipenuhi kok. Kalau orang luar membuat protes, kan kita tidak bisa
membatalkan itu,” tambah Benny.

Jadi, seorang Astrid mungkin lebih arif dalam menterjemahkan
toleransi atau menghargai sebuah konstitusi dari sekian banyak orang di
negeri pelangi ini. Astrid memakai takaran hati nurani. Ketika dia
melihat ibu pendeta dan anaknya jatuh dan luka-luka. Dia menolong,
karena dirinya merasa harus berbuat sesuatu. Tanpa perlu bertanya
terlebih dahulu, ‘agama ibu dan anak itu apa?’ (Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36990

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :