Tidak terasa tahun 2011 sudah memasuki akhir tahun. Bagi yang
pernah atau masih hidup di Jakarta, masalah dari tahun ke tahun yang
selalu menjadi perhatian seluruh warga adalah soal kemacetan lalu
lintas.

Kemacetan masih menjadi wajah keseharian Jakarta. Yang menarik justru
ramalan para ahli transportasi yang menganalisa, bahwa lalu lintas
Jakarta akan macet total pada 2014! Hal ini disebabkan laju pertumbuhan
jumlah kendaraan melampaui laju penambahan jalan. Inilah penyebab utama
kemacetan.

Yang menarik, bahwa ternyata luas Jakarta adalah 662 kilometer
persegi dan luas jalan hanya 40,1 km persegi atau hanya 0,26 persen dari
luas wilayah DKI. Dari jumlah itu, jalanan
Jakarta mengalami pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 % per tahun!
Tentu saja keadaan ini tidak sebanding dengan tingginya jumlah kendaraan
bermotor yang saat ini mencapai lebih dari 9 juta unit, terdiri dari
2,1 juta mobil pribadi dan 7,5 juta sepeda motor.

Karena bertambahnya jumlah angkutan yang hilir mudik dalam satu
trayek ternyata memberikan kontribusi yang besar terhadap masalah
kemacetan. Tinggi angka perjalanan di Jakarta mencapai 20 juta
perjalanan perharinya.

Keinginan warga Jakarta untuk membeli kendaraan bermotor memang masih
sangat tinggi. Data terakhir 9 juta, namun diprediksi tidak kurang dari
12 juta kendaraan memadati jalan di Jakarta pada akhir 2011. Hampir
setengah dari kendaraan tersebut adalah kendaraan baru. Tercatat pada
tahun 2010, di Jakarta, diproses perijinan bagi 240 mobil dan 890 unit
sepeda motor baru, per hari.

Tingginya jumlah kendaraan bermotor dan penggunaan kendaraan pribadi
di Jakarta itu bisa dipahami karena buruknya angkutan massal di Jakarta,
akibat kurangnya pemeliharaan layak (maintenance). Hal itu
terjadi karena murahnya tarif angkutan umum di Jakarta, sehingga
pengusaha kesulitan untuk menyisihkan biaya pemeliharaan.

Dengan kondisi itu, masyarakat lebih memilih memakai mobil pribadi
dan motor. Karena itu, Pemerintah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
pun berencana membatasi pemakaian kendaraan pribadi. Setelah dinilai
kebijakan berpenumpang lebih dari tiga orang three in one (3 in 1) dinilai tidak efektif lantaran maraknya joki.

Aturan lainnya dicoba melalui ERP. ERP atau Electronic Road Pricing
diterapkan oleh Singapura dan sukses menekan jumlah pengguna jalan.
Sistem ini mengharuskan pengendara kendaraan bermotor membayar ketika
melewati kawasan tertentu dengan menggunakan kartu elektronik. Sistem ERP ini pernah juga dilontarkan oleh mantan Gubernur Sutiyoso pada November 2006.

Memang ada langkah-langkah taktis yang telah ditetapkan untuk
mengurangi kemacetan. Demi rencana ini pemerintah Jakarta telah
menjalankan program pembangunan fly over (FO) dengan anggaran sebesar Rp. 596, 6 milyar dalam APBD
2010 yang lalu. Anggaran tersebut juga dipakai untuk membangun jembatan
di beberapa lokasi yang memiliki kepadatan lalu lintas cukup tinggi.
Gubernur Jakarta menyebutnya sebagai program prioritas.

FO baru dibangun di beberapa titik di daerah Jakarta. Tidak hanya itu
Dinas Pekerjaan Umum (PU) Jakarta juga membangun jalan layang non-tol
sepanjang 3,5 km, yang membentang dari Jakarta Selatan sampai Jakarta
Pusat. Pembangunan jalan layang non-tol yang sama juga dengan ruas
jalan sepanjang 6 kilometer di daerah Jakarta Selatan.

Bisa dibayangkan bagaimana ambisi pemerintah Jakarta untuk
menjalankan pembangunan enam ruas jalan tol baru dalam kota sepanjang 75
km dan menghabiskan dana sebesar Rp. 23 triliun! Selain itu, langkah
lainnya adalah dengan telah dioperasikannya busway. Memang program bus way
sudah berjalan, tetapi masih terganjal di sana-sini dengan digunakannya
ruas jalan yang memotong ruas jalan kendaraan lainnya. Namun data yang
dikeluarkan ITDP (Institute for Transportation Development Policy) Indonesia menyebutkan, hingga akhir 2008 jumlah pengguna busway yang berpindah dari mobil adalah sebanyak 7,1 persen dan yang beralih dari sepeda motor, 15,4 persen.

Dari beberapa jenis angkutan di Jakarta, kereta masih menjadi moda
transportasi umum yang masih diminati masyarakat. Terutama bagi mereka
yang bertempat tinggal di wilayah selatan dan barat kota Jakarta
misalnya Depok, Bogor dan wilayah Tangerang. Karena di situlah kantong
rumah kaum komuter ( bekerja di Jakarta namun bertempat tinggal di
pinggiran Jakarta)

Maka kebutuhan sistem transportasi massal cepat atau MRT (Mass Rapid Transit)
berbentuk kereta bawah tanah memang sangat dibutuhkan. Pemerintah
berjanji paling lambat tahun 2016 mendatang moda ini terwujud untuk
mengurangi beban kemacetan di Jakarta.

Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA)
sudah berjanji akan mengucurkan pinjaman sebesar 50,1 miliar yen dari
total pinjaman 13 miliar yen yang dijanjikan untuk pembangunan MRT
tahap I sepanjang 15 kilometer dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel
Indonesia. Keputusan pemberian pinjaman lebihnya, tergantung dari
kemajuan pelaksanaan proyek itu sendiri.

MRT juga bersifat ramah lingkungan. Polusi udara akibat kendaraan bermotor memberi kontribusi 80 persen dari polusi di Jakarta. MRT Jakarta digerakan oleh tenaga listrik sehingga tidak menimbulkan emisi CO2 diperkotaan. PLN sudah menyanggupi kebutuhan listrik untuk angkutan massal ini.

Pembangunan MRT Jakarta akan dilakukan
dalam dua tahap. Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu meliputi
Bundaran HI – Dukuh Atas – Setiabudi – Bendungan Hilir – Istora –
Senayan – Sisingamangaraja – Blok M – Blok A – Haji Nawi – Cipete Raya –
Fatmawati – Lebak Bulus.

Tahap II akan dilanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI ke
Kampung Bandan sepanjang 8.1 Km yang mulai dibangun sebelum tahap I
beroperasi dan ditargetkan beroperasi 2018 (dipercepat dari 2020).
Sementara koridor Barat-Timur saat ini sedang dalam tahap studi
kelayakan. Koridor ini direncanakan paling lambat beroperasi pada 2024-
2027. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37631

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :