Siapa tokoh yang dicintai orang Tionghoa di Indonesia?
Jawabannya satu, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Bapak masyarakat
Tionghoa di Indonesia. Apakah pemerintah Republik Rakyat Tiongkok juga
berpendapat sama ? Jawabannya, Tidak! Pemerintah Tiongkok (mengutip dokumen Wikileaks yang beredar) menyatakan, mereka lebih terkesan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Tapi, Kyai NU ini memang berada di hati kaum keturunan Tionghoa di
Indonesia. Kita bisa temukan foto Gus Dur di dinding kelenteng besar Bun
San Bio, Tangerang. Ribuan warga keturunan Tionghoa berdoa di berbagai
tempat ketika dia meninggal, akhir tahun 2009 silam. Bukan karena garis
Tionghoa yang melekat pada dirinya. Gus Dur memang keturunan Sunan Ampel
(Bong Swi Hoo). Sunan Ampel memiliki anak K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus
Dur.

Tokoh pluralis ini berjasa mengembalikan hak-hak dasar kaum keturunan
Tionghoa di Indonesia. Juga membuat nyaman umat yang lain. Dia membuka
keran kebebasan hakiki; menghargai kepercayaan. Termasuk Kong Hu Cu.
Seluruh simbol etnis Tionghoa dapat dipertontonkan. Juga barongsai.
Megawati yang meneruskan pemerintahannya di era Reformasi, menetapkan
Imlek sebagai hari libur Nasional. Gus Dur juga menghargai kaum
Kristiani. Pasukan Banser-nya (Barisan Serbaguna Nahdatul Ulama), ikut
menjaga keamanan umat kristiani saat menjalankan ibadah Paskah dan Natal
dari ancaman teror.

Jalan Panjang.

Lebih dari dua dekade reformasi berjalan. Tapi, menjadi Indonesia, bagi
sebagian keturunan Tionghoa, masih merupakan jalan yang panjang. Tanpa
sadar, mereka enggan untuk menjadi militer atau pegawai negeri sipil.
Sekolah pun, swasta menjadi pilihan untuk anak-anak mereka dibanding
sekolah negeri. Hampir 32 tahun di zaman Orde Baru membuat box tersendiri. Reformasi belum serta merta membawa pemikiran mereka out of the box.

Bukan tanpa sebab. Ditekan puluhan tahun, bukan sesuatu yang
menyenangkan. Penerapan kuota penerimaan siswa untuk keturunan Tionghoa,
hakekatnya adalah diskriminasi. Pernah diakui oleh mantan Menteri
Pendidikan Juwono Sudarsono. Pada The Straits Time, Juwono menyebut, itu
sebuah kekhilafan dalam kebijakan, dan perlu peninjauan ulang.

Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), dinyatakan tidak berlaku lagi. Keppres itu menegaskan, bukti kewarganegaraan cukup dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau Akta Kelahiran. Pada masa Presiden BJ. Habibie, keluar Instruksi
Presiden No. 4 tahun 1999. Inpres itu memerintahkan semua instansi agar
memberikan layanan yang sama terhadap semua warga negara, tanpa
mempersoalkan SKBRI.

Disisi lain, aparat pelaksana di lapangan sering menerapkan cara-cara
lama memperlakukan keturunan Tionghoa. Bila “penduduk asli”, dapat
mengurus administrasi kependudukan dengan mudah. Tidak bagi keturunan
Tionghoa. SKBRI masih “pass” yang sakti. Walau SKBRI sudah ditiadakan, namun aparat masih mempermasalahkannya.

Kalau tidak ada SKBRI, kita harus lampirkan surat WNI dari Pengadilan Negeri. Mengurus SKBRI
lewat agen sekitar Rp 450,000. Ada pasangan miskin dari Kampung Sewan
Cikupa, Banten yang akan menikah. Calon istri yang sudah tinggal di
Tangerang puluhan tahun harus melampirkan SKBRI. Sang suami, karena tak memiliki SKBRI, mesti melampirkan surat WNI –nya. Juga surat WNI orang tuanya. Bertele-tele, panjang dan berbelit. Itu juga berlaku bila harus mengurus paspor, KTP , akta kelahiran, surat kelakuan baik dan lain-lain.

Lantas ada dua Undang-Undang di era Reformasi yang merevisi seluruh
kebijakan soal kewarganegaran di masa lalu. Pertama, UU no 12, Juli
2006 soal Kewarganegaraan. Kedua , UU no 23 , Desember 2006 soal
Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil.

Pada Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan,
yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang
menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Dalam UU
ini, warga keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia termasuk orang
Indonesia asli yang mempunyai hak dan kewajiban sama seperti warga
negara lainnya.

Tapi rupanya, UU di atas tidak dapat berdiri sendiri. Menurut
penjelasan, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai penentuan status
pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa
penting yang di alami oleh seseorang yang tinggal di wilayah Indonesia
baik WNI maupun WNA. Singkat kata, banyak daerah melengkapi UU itu dengan Perda atau instruksi Walikota atau Kepala Daerah setempat.

Hasilnya? Sama saja. Pengaturan lebih lanjut itu seakan tak beranjak dari kebijakan sebelumnya. SKBRI tetap “pass” yang sakti. Warga keturunan Tionghoa, tetap harus mengurus SKBRI atau surat WNI di pengadilan setempat. Menjadi Indonesia, berbelit-belit memang . Panjang dan melelahkan. (Indah Winarso)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36320


Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :