Mollucas atau al-Mulk atau Maluku adalah salah satu provinsi
tertua di Indonesia. Diyakini sebagai tanah tempat Raja-raja bertahta. kepulauan ini melegenda di banyak negeri sebagai kepulauan penghasil
rempah. Awal abad ke-7 pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada
zaman Dinasti Tang sering mengunjungi Maluku untuk mencari rempah. Pada
abad ke-9- 14, pedagang Arab berhasil menemukan dan berdagang rempah
Maluku setelah mengarungi Samudera Hindia.

Masa itulah yang membuat agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku
melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik. Mereka banyak ke
Hitu Ternate dan beberapa pulau di Maluku Utara. Pada awal abad ke-14
Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara sehingga
pedagang Jawa memonopoli perdagangan rempah di Maluku. Melalui sebuah
lukisan karya W.P Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku
diperkenalkan ke dunia dan digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung
yang hijau, dipenuhi pohon cengkeh.

Seabad kemudian, Portugis melalui Anthony d’Abreu dan Fransisco Serau
datang ke kepulauan itu. Mereka mendarat di Kepulauan Banda dan
Kepulauan Penyu. Setelah bersahabat dengan penduduk dan Kerajaan
Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli,
begitu pula Negeri Hitu lama dan Mamala di Pulau Ambon. Namun Portugis
yang juga melakukan penyebaran agama Kristen, terlalu serakah dalam
berdagang. Pada tahun 1605 persahabatan Portugis dengan Ternate, Tidore
dan Ambon harus berakhir.

Tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan
pertahanannya di Kepulauan Maluku. Sejak itu Belanda berhasil menguasai
sebagian besar wilayah itu selama hampir 350 tahun. Meski dalam kurun
itu, Belanda sempat menyerahkan wilayah itu ke Inggris, namun konvensi
London tahun 1814 memaksa Inggris menyerahkan Maluku kepada Belanda lagi
di tahun 1817.

Dikuasainya Maluku oleh beberapa bangsa asing itu melahirkan beberapa
pahlawan pada jamannya. Pattimura, Paulus Tiahahu dan putrinya
Christina Martha Tiahahu adalah pahlawan yang sangat terkenal. Pada
tanggal 16 Desember 1817, Pattimura dan teman-temannya meninggal di
tiang gantungan di Fort Niew Victoria, Ambon. Sedangkan Christina Martha
Tiahahu meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangannya ke pulau
Jawa. Jasadnya dilepas ke laut Banda.

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17
Agustus 1945, Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik
Indonesia. Namun pembentukan Propinsi Maluku terpaksa dilakukan di
Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda langsung memasuki
Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan kolonial di sana.
Bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan dunia atas kedaulatan
Indonesia pada tahun 1949, Belanda ingin dominan di Maluku dengan
mensponsori terbentuknya Republik Maluku Selatan (RMS).

Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih
berkerabat dengan Fiji , Tonga dan beberapa bangsa yang tersebar di
kepulauan Samudra Pasifik. Kedekatan itu ditunjukkan dengan bahasa,
lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga serta
alat musik khas seperti Ukulele yang terdapat pula dalam tradisi budaya
Hawaii. Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka
tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis dibanding
dengan suku-suku lain di Indonesia.

Sekitar 2300 tahun dikuasai oleh bangsa asing, banyak dari orang
Maluku memiliki darah campuran dengan suku lain, misal dengan suku
Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa
(Belanda dan Portugal). Juga perkawinan campur dengan Arab dan India.
Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah
maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan
sebagai daerah Mestizo (campuran).

Hingga sekarang banyak nama Belanda di Maluku seperti Van Afflen, Van
Room, De Wanna, De Kock, Kniesmeijer, Gaspersz, Ramschie, Payer,
Ziljstra, Van der Weden dan lain-lain. Bahkan nama-nama Da Costa, De
Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira, Courbois,
Frandescolli yang merupakan keturunan Portugis. Keturunan Spanyol dapat
dikenali dengan nama marga seperti Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera,
Rodriguez, Montefalcon, Mendoza dan De Lopez. Sedangkan marga Maluku
Arab dominan dengan nama seperti Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid,
Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, dan Assegaff.

Saat ini Maluku terbagi menjadi dua provinsi, yaitu Maluku Utara
dengan ibukota Sofifi dan provinsi Maluku yang beribukota Ambon. Di
sebarannya, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja
melainkan di berbagai negara di dunia. Kebanyakan mereka berada di tanah
baru karena perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada
tahun 1950-an dan menetap disana hingga sekarang. Mereka dapat ditemukan
dalam komunitas yang cukup besar di negara-negara seperti Belanda,
Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai
benua lainnya.

Sejarahlah yang mencitrakan Ambon identik dengan agama Kristen.
Padahal, umat Islam pun banyak di sana. Hanya saja, saat jaman
pendudukan Belanda, mereka tak mendapat kesempatan yang sama. Karena
keterdekatan secara religi, banyak dari pemeluk agama Kristen di Ambon
yang menjadi pegawai Belanda dan mendapat kesempatan pendidikan yang
lebih baik dibanding saudara yang Muslim.

Saat itu, masyarakat Islam di Maluku tertinggal hampir di semua aspek
kehidupan. Setelah Indonesia merdeka, masyarakat Islam di Maluku
mencapai banyak kemajuan di semua sektor. Apalagi ketika Soeharto
menjadi presiden sekitar 30 tahun lamanya, pemeluk Islam menguasai
banyak hal di Maluku. Mulai dari kesempatan bersekolah sampai pada
kedudukan secara politis.

Tetapi banyak pihak harus mengakui bahwa dibandingkan dengan masyarakat
Kristen, umat Islam terlalu terlambat mengejar keterlinggalannya,
sehingga kondisi ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang dilandasi
dengan perbedaan agama.

Dimanapun, konflik yang berbasis isu agama dan etnis sangat mudah
menjadi konflik kekerasan dan aktor lintas regional terlibat serta
sangat sulit diselesaikan. Hal itu karena konflik yang berbasis agama
dan etnik cenderung melampaui batas-batas geografis dan tidak mudah
untuk dirundingkan juga tidak rasional dengan ekspresi konflik yang
muncul berupa konflik kekerasan. Celakanya dua hal tersebut (agama dan
etnis) bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah jati diri yang paling
penting.

Inilah yang sedikit banyak membuat rakyat Maluku membawa
ingatan-ingatan masa lalu. Membawa luka sampai di bawah sadar. Hingga
apapun yang bernama perbedaan, selalu dihubungkan dengan luka-luka itu,
menjadikan perilaku agresiflah yang mengedepan. Peristiwa Ambon di tahun
1999 dan 2004 dimana kekerasan terjadi, haruslah menjadi medan untuk
belajar, bahwa konflik sekeras apapun harus dikelola dengan baik. Dan
kedamaian bukan hanya kesepakatan di atas kertas. Namun juga buah dari
kerja keras.(Indah)

Untuk share artikel ini Klik www.KabariNews.com/?37377

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :