Rasanya seperti mimpi di siang bolong, tak percaya tapi kenyataan berkata lain. Sesampainya di New York, Ine dan enam rekannya dipisahkan dan dijemput oleh orang tidak dikenal. Naasnya lagi, malam itu juga Ine dijual. Mereka dipindahkan dari mafia satu ke mafia lainnya. Ine masih ingat betul, mafia pertama yang menjemputnya adalah orang Malaysia karena ia mengaku sempat bekomunikasi dengan bahasa Melayu. Tak berselang lama Ine dan temannya dioper lagi ke orang Taiwan sampai akhirnya ia dibawa orang China untuk  dijual.

Meski sempat protes karena merasa ditipu, Ine dan teman-temannya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dibawah ancaman senjata tajam dan senjata api, bahkan mereka pun ditakut-takuti salah satu mafia yang mengaku oknum polisi jika melawan. Semua dilakukan Ine dengan terpaksa demi keselamatan. Terpaksa rela dijual dan melayani pria hidung belang, jam berapa pun, dan dalam keadaan apapun.

Tersiksa, pastinya ia merasa hancur saat itu. Bukan hanya tubuh, perasaannya pun hancur. Sama sekali tidak ada kesempatan untuk bisa melihat jalanan saat mereka di dalam kendaraan, apalagi tahu mereka sedang berada dimana. Semua dibatasi. Makan pun hanya diberi bubur nasi dan air putih, mereka dipaksa bekerja 7 x 24 jam tanpa melawan.

Selama satu bulan ia dan beberapa korban lainnya dijual ke pria-pria hidung belang. Pasrah karena ingin selamat, Ine mengikuti semua keinginan mafia, sampai akhirnya ada kesempatan untuknya melarikan diri.

Tapi lepas dari mafia bukan berarti masalahnya selesai. Jaringan perdagangan manusia sangat kuat, bahkan mereka pun bisa kebetulan berada di kantor polisi saat korban mencoba melaporkan diri.

Untuk mendengarkan Podcast Part 3, Klik disini

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?50630

Untuk melihat artikel Amerika / Exclusive lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :