Pengamen dan pengemis anak bukan pemandangan baru di kota
Jakarta. Puluhan anak bebas berkeliaran di jalan, terminal, bus,
pertigaan lampu merah, sampai kompleks perumahan. Meski panas, hujan,
angin, tidak meredupkan semangat mereka mengumpulkan rupiah.

Dengan keberadaan mereka ada sebagian orang merasa kasian dan
prihatin, tapi tak sedikit juga yang sinis dan tak perduli. Mungkin
seperti banyak yang diduga banyak orang, diantara para pengamen jalanan
ada yang sudah melupakan pendidikan.

Bermimpi memiliki cita-cita tinggi pasti pernah terbesit dibenak
mereka, seperti Teguh (13), yang juga punya cita-cita seperti anak
lainnya, ia ingin sekali menjadi polisi. “Saya pengen jadi polisi mba”
ujarnya sambil tertunduk malu.

Berbeda dengan Agus (16), bocah yang menindik lidahnya dengan anting
itu merasa tidak tahu ingin jadi apa. “Dari kecil saya ngga pernah
kepikiran mau jadi apa. Ngga sempat mikir yang begitu” paparnya. Selang
beberapa detik ia menambahkan keinginannya “Kalau boleh saya mau jadi
musisi” timpalnya menyelak pertanyaan.

Tapi nampaknya mereka pesimis untuk merealisasikan cita-cita itu,
lagi-lagi putus sekolah menjadi kendala yang menghadang. Teguh
meninggalkan bangku sekolah kelas enam menjelang ujian nasional.
Alasannya, karena malu dan merasa terhina ia memutuskan untuk pindah
ngamen dijalanan.

“Saya sakit hati, emak juga. Saya pernah dikatai guru, karena ngga
masuk sekolah. Saya dibilang jelek, item, kok hidup? Padahal saya ngga
masuk karena kaki saya sakit” ujarnya dengan wajah serius.

Agus yang juga meninggalkan bangku sekolah dasar mengaku malas, meski
kesempatan untuk tetap bersekolah terbuka lebar, tapi kemauan mereka
seakan lenyap karena keasyikan mengumpulkan rupiah.

“Males, habisnya sekolah dari pagi sampai sore, jadi bolos terus
lama-lama keterusan. Bolos sehari dua hari, seminggu, jadi malu mau
sekolah lagi. Guru sampai kerumah, emak nangis karena kecewa saya susah
diatur,” papar Agus.

Terlepas dari alasan mereka mengesampingkan pendidikan, ternyata
dibenak mereka masih menyimpan keinginan untuk kembali ingin bersekolah.
Mereka sadar benar pendidikan berguna bagi masa depan mereka. Agus dan
Teguh masih ingin bersekolah, tapi alasan malu masih lebih besar dari
pada keinginan mereka.

“Saya juga mau sekolah lagi, tapi malu, masa udah umur segini masih SD!” ungkap Agus.

Demi rupiah

Nyanyian dan petikan senar gitar jenis ukulele melengking merdu
ditangan seorang bocah-bocah yang setiap hari mengabiskan waktu di
keramaian angkutan umum. Demi mengumpulkan rupiah, panas dan hujan tak
pernah jadi rintangan berarti bagi mereka. Tanpa kursus vokal dan alat
musik, bocah-bocah itu tidak bosan membawakan satu atau dua lagu dengan
lantangnya. Tidak perduli suka atau tidak suka, yang penting hari ini
perut mereka bisa terisi dan pulang membawa uang.

Mereka seakan tidak khawatir dengan kehidupan jalanan. Bahkan ini
semua mereka jalani dengan suka cita. Lelah hari ini terbayar dengan
recehan yang diperoleh hari itu juga. Sebagian dari mereka mengamen
untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam sehari masing-masing dari
mereka bisa mengumpulkan Rp 40.000 – Rp 60.000.

“Kalau dapat banyak dikasih ke emak, buat tambahan belanja, sama jajan adik-adik juga” aku Agus.

Layaknya bocah-bocah pada umumnya, mereka pun suka bermain.
Disela-sela siang saat penumpang angkutan umum sepi, mereka menyempatkan
diri untuk bermain bola. Bagi mereka kegiatan ini jadi satu cara untuk
menghilangkan jenuh. Tidak mau kalah dengan anak sekolah pada umumnya,
mereka pun memilih hari Minggu untuk beristirahat. Sejenak mengosongkan
hari untuk bermain. “Libur ngamen hari Minggu, ya enak bisa kumpul sama
keluarga, main sama taman-teman. Lagian sepi penumpang kalau minggu,
itung-itung istirahat” tutur Udin yang juga pengamen.

Dari Kacamata Pendidik

Memprihatinkan jika banyak anak bangsa mengorbankan sekolah demi
rupiah, pasalnya kendala biaya bukan lagi masalah utama. Pemerintah
telah menjalankan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang pada awalnya merupakan pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM)
di bidang pendidikan yang dimulai sejak tahun 2005. Program ini
selanjutnya menjadi program rutin pemerintah di bidang pendidikan dalam
upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.

Namun nampaknya program tersebut belum berhasil mengajak sebagian
anak-anak usia belajar untuk berpikir pentingnya pendidikan untuk masa
depan. Baharudin (44), guru kelas enam Sekolah Dasar Jatimakmur I,
Bekasi mengaku prihatin dengan banyaknya anak-anak yang putus sekolah.
Kurangnya perhatian orangtua akan pentingnya pendidikan jadi salah satu
faktor penyebabnya.

“Faktor ekonomi bukan lagi alasan pas untuk mereka yang putus
sekolah. Mereka mencari uang bukan untuk sekolah tapi untuk kehidupan
sehari-hari” paparnya.

Orangtua yang seharusnya berperan penting untuk mendorong anak akan
pentingnya pendidikan. Baharudin pernah dihadapkan dengan siswa yang
memiliki dua peran ganda, yaitu sebagai pelajar sekaligus pengamen untuk
membantu kebutuhan keluarga.

“Saya pernah menanyakan pada si anak, alasannya mereka ya terpaksa
membantu kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka pendidikan nomor sekian,
yang terpenting apa yang bisa dicari hari ini untuk keluarga tanpa
berpikir panjang besok mau jadi apa” ungkapnya. (Pipit)

Klik disini untuk nonton Video Kisah Teguh, Pengamen Jalanan 

Klik disini untuk nonton Video Kisah Udin, Pengamen Jalanan

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36696

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :