Setelah melewati jalan menurun yang aspalnya sudah terkelupas, Kabari tiba di depan sebuah pintu gerbang yang catnya mulai memudar. Posisinya persis di ujung jalan, sehingga  mudah ditemui. Di tengah gerbang juga tergantung papan nama bertuliskan “Yayasan Galuh”. Sebuah yayasan rehabilitasi cacat mental atau gangguan kejiwaan.

Di yayasan yang beralamat Jl. Cut Mutia, Bambu Kuning No. XI, Rawa Lumbu, Bekasi, ini terdapat lebih dari 200 pasien dengan gangguan kejiwaan. Mereka ada yang dititipkan oleh  keluarganya, dinas sosial dan kantor polisi setempat, atau diambil dari jalanan.

Baba Gendu Sang Jawara Yang Baik Hati

Yayasan Galuh didirikan oleh Gendu Mulatip, seorang jawara Bekasi kelahiran tahun 1916. Kini sang jawara yang biasa dipanggil Baba Gendu, sudah berusia 94 tahun. Meski tubuhnya  telah ringkih dan rambutnya sudah beruban, garis wajahnya begitu tajam dengan tatapan mata yang teduh. Sebuah perpaduan antara ketegasan dan kelembutan.

Diceritakan sekitar tahun 1983, ketika Baba Gendu menjabat Ketua Rukun Warga (RW) di daerah Poncol, Bekasi Timur, Baba Gendu menyaksikan seorang gila dilempari batu oleh anak-anak kecil. Orang gila itu balas melempar dan mengakibatkan seorang anak kecil terluka. Orang tuanya yang tidak terima anaknya dilukai, ingin menghakimi si orang gila. Tapi
niatnya dibatalkan setelah Baba Gendu yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan jawara, menjelaskan duduk perkara sebenarnya.

Sementara si orang kurang waras itu dibawa ke rumahnya dan dirawat sampai sembuh. Sejak itu Baba Gendu dikenal mampu mengobati orang sakit jiwa. Bukan itu saja, Baba Gendu sering keliling kampung untuk mengambil orang sakit jiwa di jalanan. Dengan penuh kasih sayang, setiap orang sakit jiwa yang dia temui di jalan, dia bawa pulang dan dirawat.

Lama-kelamaan, makin banyak orang sakit jiwa di rumahnya. Bahkan, bila warga sekitar menemukan orang sakit jiwa yang terlantar di jalan, mereka segera membawanya ke rumah  Baba Gendu. Jadilah rumah Baba Gendu bukan sekedar tempat pengobatan, tetapi sekaligus
penampungan.

Tak heran, di awal berdirinya Yayasan Galuh, mayoritas pasiennya adalah orang-orang sakit jiwa yang terlantar di jalan tanpa kejelasan asal usul. Tapi Baba Gendu sama sekali tak merasa keberatan, meski setiap hari harus memberikan makan kepada puluhan mulut.

“Baba Gendu juga juragan delman, dari usaha itulah dia memberi makan pasiennya,” kata Suhartono, Kepala Perawat Yayasan Galuh.

Hingga sebelas tahun Baba Gendu melakukan semua itu bersama istri dan dibantu oleh beberapa tetangganya. Baru pada tahun 1994, Baba Gendu membentuk sebuah yayasan bernama “Galuh” singkatan dari “Gagasan Leluhur”.

Pembentukan yayasan ini semata-mata adalah upaya untuk melegalisasi kegiatan pengobatan Baba Gendu. “Kami tak ingin niat kami yang ingin membantu sesama terhambat hanya gara-gara tak punya ijin,” kata Suhartono yang tak lain adalah anak Bapak Amir, sekretaris Baba Gendu saat masih menjadi Ketua RW.

Apa yang dilakukan Baba Gendu memang tepat, karena sejak menjadi yayasan, mereka mulai memiliki administrasi yang tertib.

Tahun 2005, rumah Baba Gendu tak sanggup lagi menampung pasien sakit jiwa yang membludak. Akhirnya mereka membeli sebidang tanah seluas 1.600 meter persegi dan pindah ke lokasi sekarang. “Uangnya dari hasil menjual tanah yang lama, sementara untuk mendirikan bangunannya, kami mendapatkan bantuan dari sejumlah donatur,” ujar Suhartono.

Memuliakan (Kembali) Manusia

Saat ini Yayasan Galuh menampung 280 pasien yang terdiri dari 178 lelaki termasuk empat orang anak-anak dan sisanya perempuan. Mereka yang tingkat gangguan jiwanya tidak parah, dibiarkan bebas berkeliaran di sekitar yayasan. Sementara, pasien yang gangguan jiwanya gawat terpaksa ditempatkan di sebuah ruang besar dan dipisah antara perempuan dan laki-laki.

Untuk tugas sehari-hari, karena Baba Gendu sudah mulai sepuh, maka dipercayakan kepada  Suhartono sebagai Kepala Perawat. Suhartono dibantu sekitar 40 staf yang mengatur segala keperluan pasien mulai dari makan, hingga memberikan pengobatan.

Setiap hari mereka minimal memasak sebanyak 150 kg beras dan satu mobil bak terbuka sayuran yang semuanya di masak di dapur umum.

Dalam mengobati pasien, Baba Gendu berserta stafnya melakukan lima metode pengobatan. Yakni do’a, Pitua (petuah/nasihat), ramuan, urut, dan pijatan. Bukan itu saja, seringkali Suhartono melakukan kegiatan yang bersfiat sosial kebersamaan. Misalnya bernyanyi bersama atau melakukan tugas keseharian seperti kerja bakti di lingkungan tempat mereka  berada.

“Secara bergantian, kami memberikan tugas-tugas kecil kepada pasien, misalnya menyapu atau mencuci piring, secara pelan-pelan kami ingin menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa  tanggung jawab pasien terhadap lingkungannya,” kata Suhartono.

Cara-cara ini rupanya cukup bermanfaat. Banyak pasien yang mampu mengemban tugas itu dengan baik, yang akhirnya membuat mereka merasa menjadi manusia kembali. “Di luar mereka mungkin dianggap manusia terhina, tapi di sini kami berupaya memuliakan mereka,” kata Suhartono mengutip pesan Baba Gendu.

Para staf di sini seperti Suhartono memang tidak punya latar belakang akademis di bidang psikiatri. Tapi berkat pengalamannya ia sering diminta menjadi pembicara dalam seminar- seminar. Seringpula ia menjadi narasumber para mahasiswa psikologi yang sedang melakukan skripsi.

Suhartono juga bercerita, setiap tahun pasien-pasien Yayasan Galuh turut memeriahkan  kegiatan perayaan 17 Agustus di tingkat kota Bekasi, misalnya dalam kegiatan pawai. Kegiatan-kegiatan sosial seperti inilah yang menurut Suhartono dapat membantu menyembuhkan pasien.

Karena kiprah Baba Gendu dengan Yayasan Galuhnya, tahun lalu acara ‘talkshow KickAndy’ menganugerahi Baba Gendu sebagai “KickAndy Heroes 2009” di bidang pelayanan sosial.

Lalu mengapa Baba Gendu dan para stafnya mau melakukan pekerjaan seperti itu? “Baba Gendu berpesan kepada kami, bahwa kami harus ihklas tidak boleh merasa jijik, karena bagaimanapun keadaannya, mereka juga manusia. Bagaimana rasanya jika salah satu keluarga Anda seperti itu?” tanya Suhartono.

Dan betul, pertanyaan tersebut sungguh mengena. Bagaimana rasanya jika salah satu keluarga kita seperti itu?  (yayat)

<object width=”480″ height=”385″><param name=”movie” value=”http://www.youtube.com/v/73KtF5PXmE0&amp;hl=en_US&amp;fs=1″></param><param name=”allowFullScreen” value=”true”></param><param name=”allowscriptaccess” value=”always”></param><embed src=”http://www.youtube.com/v/73KtF5PXmE0&amp;hl=en_US&amp;fs=1″ type=”application/x-shockwave-flash” allowscriptaccess=”always” allowfullscreen=”true” width=”480″ height=”385″></embed></object>

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35110

Untuk

melihat Berita Indonesia / Profil lainnya, Klik
di sini

Klik

di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :