Bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, mendengar nama Bantar
Gebang biasanya akan selalu diidentikan dengan lokasi pembuangan
sampah. Hal ini tidak lain karena di lokasi tersebut memang terdapat
sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seluruh sampah-sampah yang berasal dari Jakarta.

Lokasi pembuangan sampah di Bantar Gebang ini pada awalnya merupakan
area bekas lahan galian tanah demi kepentingan pembangunan beberapa
perumahan di Jakarta, seperti perumahan di kawasan Sunter, Podomoro dan
Kelapa Gading, serta untuk perbaikan jalan raya Narogong.

Lokasi bekas pengerukan tanah inilah yang hingga akhirnya pada tahun 1986 mulai dilirik oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI
Jakarta untuk dijadikan tempat pembuangan akhir sampah-sampah dari
Ibukota. Beberapa alasannya adalah karena lahan tanahnya yang cekung
serta lokasinya yang cukup jauh dari pemukiman penduduk.

Terletak di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, dan mencakup
tiga desa dari delapan desa yang ada di Kecamatan Bantar Gebang, yakni
Desa Cikiwul, Desa Cikeuting Udik serta Desa Sumur Batu, keberadaan
tempat pembuangan akhir sampah dari Jakarta ini pada awalnya memang
cukup menuai polemik.

6000 ton sampah per hari

Para warga yang tinggal di dekat lokasi TPA
banyak mengeluhkan dampak dari keberadaan pembuangan sampah ini. Di
antara masalah yang sering disampaikan adalah polusi udara berupa bau
yang menyengat, sehingga untuk beraktivitas sehari-hari masyarakat harus
menggunakan masker. Selain itu dengan banyaknya lalat juga
dikhawatirkan dapat menyebarkan berbagai penyakit, belum lagi dengan
pencemaran air tanah karena resapan air limbah dari tumpukan sampah yang
menggunung.

Kondisi ini tidak mengherankan, sebab setiap harinya tidak kurang
dari 5.000 sampai 6.000 ton sampah dari seluruh wilayah di Ibukota masuk
ke area ini. Bahkan untuk mengangkutnya dikerahkan sekitar 900 truk
sampah yang bekerja selama 24 jam setiap hari demi membersihkan sampah
warga Jakarta.

Sampah plastik dan sampah rumah tangga memang sangat mendominasi di
area pembuangan ini. Selain itu, pada awalnya sampah-sampah di sini
memang tidak dikelola dengan baik, sehingga menyebabkan keresahan di
hati para warga karena takut terserang berbagai penyakit akibat tumpukan
sampah yang membusuk dengan tinggi mencapai belasan meter.

Bahkan dulunya untuk mencapai lokasi ini, aroma bau busuk yang
menyengat sudah dapat tercium dari kejauhan sebelum kita memasuki area
pembuangan sampah.

Namun, sejak dikelola oleh dua perusahaan swasta, yakni PT. Godang
Tua Jaya dan PT. Navigat Organic Energy Indonesia yang dimulai pada
tahun 2008 silam, stigma masyarakat tentang kawasan TPA Bantar Gebang yang identik dengan bau busuk dan pencemaran ini pun perlahan mulai hilang.

“Dulu baju saya satu minggu baunya tidak hilang, meski sudah dicuci
tiap hari. Sekarang sudah tidak lagi, Anda bisa rasakan sendirikan, bau
busuk di Bantar Gebang sudah tidak ada, bahkan kita serasa tidak sedang
berada di atas tempat pembuangan sampah” ucap Vice Managing Director (VMD) TPST Bantar Gebang, Drs. L.F. Lumban Toruan.

Di atas tanah seluas 108 hektar ini, tumpukan sampah di TPA
Bantar Gebang kini bukan lagi dianggap hanya sebagai barang yang tidak
terpakai, tapi sudah dipandang sebagai bahan baku yang siap diolah. Ini
pulalah yang menjadi salah satu alasan dua perusahaan tersebut
memberanikan diri untuk mengelola TPA Bantar Gebang dengan nilai investasi mencapai Rp 700 miliar.

Energi listrik sebesar 20 MW

TPA Bantar Gebang bukan lagi menjadi tempat
persinggahan terakhir sampah-sampah dari Jakarta, namun sudah berubah
menjadi lokasi pengolahan sumber daya guna. Sehingga nama tempat
pembuangan akhir (TPA) kini telah berubah menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang.

Salah satu hasil dari pemanfaatan sampah di TPST Bantar Gebang ini adalah dengan telah berhasil diciptakannya energi listrik sekitar 20 megawatt.

Energi listrik tersebut dihasilkan dari pemanfaatan gas metan yang
muncul dari tumpukan sampah yang membusuk. Dengan menggunakan teknologi
pengolahan sampah basah sistem reusable sanitary landfill (RSL), tumpukan sampah yang menggunung di area yang sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat pembuangan sampah di TPST Bantar Gebang ini dipadatkan dan dilapisi plastik (geo membrane)
dengan ketebalan sekitar 2,5 milimeter. Lapisan plastik ini berguna
untuk menahan air lindi (Air lindi adalah limbah cair yang dihasilkan
oleh TPA sampah dengan komponen yang
terkandung didalamnya antara lain komponen organik terlarut, komponen
anorganik, logam berat)sehingga tidak mencemari air tanah.

Di atas lapisan plastik tersebut juga dilapisi lagi geo textile yang berguna untuk memfilter kotoran sehingga tidak bercampur dengan air lindi.

Kemudian sampah yang menumpuk di atas lapisan geo textile
ini ditutup menggunakan lapisan plastik lagi untuk mencegah menyebarnya
gas metan akibat proses pembusukan sampah yang dipadatkan tanpa oksigen.

Plastik ini mampu menyerap panas hingga 70 derajat celcius sehingga dapat membantu proses penguraian sampah.

Gas metan inilah yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan
generator pembangkit listrik sehingga dapat menghasilkan energi listrik
yang mampu menerangi sekitar 15.000-an rumah (dengan asumsi setiap rumah
memiliki daya 1.300 VA).

Selain menghasilkan energi listrik, TPST
Bantar Gebang juga menghasilkan ribuan ton pupuk organik. Bahkan menurut
penuturan Lumban Toruan, pupuk organik yang diproduksi di TPST
Bantar Gebang ini jumlahnya paling besar di Indonesia bahkan di kawasan
Asia dengan jumlah produksi per harinya mencapai 60 ton, atau sekitar
10 juta ton tiap tahunnya.

Pupuk organik ini dihasilkan dari sampah organik yang dibawa dari
pasar-pasar di Jakarta, seperti Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.

“Sampah dari pasar seperti sayuran dan lainnya kan masih belum
tercemar dengan zat berbahaya lainnya, jadi sampai di sini langsung kita
oleh menjadi pupuk. Dengan adanya pengolahan komposting ini, kita sudah
memperkerjakan sekitar 200 orang yang tadinya adalah pemulung untuk
menjadi tenaga pengolahan pupuk kompos,” imbuh Lumban.

Surga Bagi Pemulung

Selain memiliki nilai ekonomis bagi pihak pengelola, keberadaan TPST Bantar Gebang ini juga menjadi surga bagi para pemulung dan pengepul sampah.

Dengan berbekal keranjang yang terbuat dari kayu rotan, gerobak dan
cungkil (alat untuk mengais sampah), tidak kurang dari 100 pemulung
setiap harinya mengais rejeki mengumpulkan barang-barang yang masih
dapat didaur ulang atau dimanfaatkan di lokasi ini.

Salah satu sampah yang dikumpulkan oleh para pemulung adalah sampah
plastik. Sampah plastik yang sudah terkumpul ini selanjutnya dijual ke
para pengepul-pengepul sampah plastik yang berada di sekitar TPST
sebelum akhirnya dijadikan bahan baku pembuatan peralatan yang berbahan
dasar plastik, seperti pipa paralon dan alat rumah tangga lainnya oleh
industri atau pabrik-pabrik plastik di sekitar kawasan Bantar Gebang.

Tarno (32) yang sudah menjalani profesinya sebagai pemulung di TPST
Bantar Gebang sejak empat tahun silam mengungkapkan, meski harus
bersaing dengan alat berat seperti traktor dan juga ancaman berbagai
penyakit dari tumpukan sampah di sini, dirinya tidak takut untuk
menjalani pekerjaannya tersebut.

“Yah takut sih ada mas, tapi namanya cari makan dari begini yah saya jalani aja,” tuturnya.

Dalam satu hari, Tarno mampu mengumpulkan berbagai sampah plastik
hingga 5 sampai 8 kilogram. Dari jumlah tersebut dirinya dapat membawa
pulang uang sebesar Rp 35.000 hingga 45.000 per harinya.( Arip )

Untuk nonton Video Part 2, Klik disini

Untuk share atrikel ini klik www.KabariNews.com/?36559

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :