Pasca Orde Baru, desakan masyarakat agar institusi Polri menjadi
lebih profesional terus menguat. Ini seiring dengan tuntutan reformasi
di mana Polri seharusnya dikembalikan ke fungsi awalnya, yakni sebagai
penegak hukum dan pengayom masyarakat.

Akhirnya sebagai langkah awal pembenahan, Polri dan TNI
pun dipisah secara kelembagaan.

Sementara dalam Grand Strategy Polri 2005-2025 tertuang
jelas tiga poin penting yang menjadi sasaran Polri. Yakni, reformasi
internal menuju institusi yang profesional dan bersih, meningkatkan
kinerja penegakan hukum, kemudian membangun kepercayaan masyarakat
(public trust).

Polri jelas telah memperhitungkan semuanya secara terukur, oleh
karenanya membangun kepercayaan publik menjadi sebuah persoalan utama
selain semua persoalan yang juga harus diselesaikan secara beriringan.

Namun diakui, membangun kepercayaan publik tidak semudah membalik
telapak tangan. Apalagi sejak kasus Cicak vs Buaya meruyak disusul kasus
pajak Gayus, institusi Polri kembali menjadi sorotan.

Dalam berbagai persoalan, sebagai institusi, Polri memang memegang
tanggung jawab yang kompleks. Sebab institusi inilah yang berhadapan
langsung dengan masyarakat dengan segala persoalannya.

Tak heran posisi Polri sebagai penegak hukum di satu sisi dan
pelindung masyarakat di sisi lain, kerap tak sejalan secara beriringan.
Bukan rahasia lagi kalau polisi lebih sering diam ketika menghadapi
situasi di mana kelompok mayoritas tertentu menyerang kelompok
minoritas.

Seperti yang terjadi ketika sebuah organisasi massa menyerang anggota
AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan) yang sedang melakukan aksi damai di Monas,
Jakarta, tahun 2008.
Organisasi yang sama juga melakukan hal serupa pada sebuah acara yang
dilakukan oleh kelompok LGBT (Lesbian Gay
Bisexual Transgender) di Depok, Jawa Barat, pada awal Mei lalu.

Monica Tanuhandaru dalam satu acara diskusi di San Francisco dengan
kawan-kawannya melihat bahwa polisi masih sulit memisahkan tugas yang
diemban dengan keyakinan diri sendiri. Sehingga kerap terjadi
keragu-raguan dalam diri masing-masing personelnya.

Kesejahteraan untuk anggota Polri juga menjadi sorotan. Beberapa
kalangan percaya, minimnya gaji seorang anggota Polri memberi pengaruh
pada profesionalitas anggota polri sendiri. Sehingga banyak oknum polisi
yang bekerja sambilan menjadi bodyguard/pengawal para pengusaha, atau
menjadi ‘preman berseragam’ demi menghidupi keluarganya.

Dari segi anggaran sendiri, alokasi anggaran untuk Polri tahun 2010
mengalami peningkatan sebesar 9,8 persen dari tahun anggaran 2009.
Anggaran itu meningkat dari Rp 24,8 triliun menjadi Rp 27 triliun.

Alokasi tersebut dibagi menjadi tiga jenis belanja. Yakni belanja
pegawai sebesar Rp 17.7 triliun, belanja barang sebesar Rp 5,8 triliun
dan belanja modal sebesar Rp 3.7 triliun.

Untuk operasional Kepolisian Resor (Polres atau setingkat Kotamadya/
Kabupaten) rata-rata setiap Polres di seluruh Indonesia dianggarkan
sebesar Rp 3,4 miliar per tahun. Anggaran itu masih harus dibagi lagi
untuk Polsek-Polsek (setingkat Kecamatan) di bawah Polres.

Polri juga menjalin kerjasama dengan Nederlands Police Academy (NPA), Apeldoorn, Holland, untuk perluasan wawasan,
pelatihan dan studi banding bagi para perwiranya.

Dengan semua perbaikan-perbaikan tersebut, diharapkan Polri secara
bertahap akan menjadi institusi yang lebih profesional sesuai dengan
tugas-tugasnya, menjadi penegak hukum dan pengayom masyarakat yang
dipercaya oleh warga negaranya.

Simak jalannya diskusi..

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?34940

Untuk

melihat Berita Amerika / Amerika / Exclusive lainnya, Klik

disini

Klik

disini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :