Bagi para pengguna jalan yang
sering lewat Jenderal Ahmad Yani, di ruas Kranji, Kota Bekasi, pastinya mengenal pria ini. Mungkin tak kenal nama,
tapi mestinya mereka tahu.

Karena dengan pakaian ala petugas
berwarna cokelat gelap, lengkap dengan rompi hijau toska dan memakai sepatu
lars, sosok Pak Subur (40) mudah dikenali. Setiap hari ia mengatur
lalu lintas di putaran depan Pos
Polisi Kayuringin, Kranji, Kota Bekasi.

Pak Subur bukan Petugas DLLAJR (Dinas
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya) dari Kementerian Perhubungan, atau Polisi
Lalu Lintas. Ia hanya warga biasa yang membantu mengatur lalu lintas di tempat
itu, terutama bagi kendaraan yang ingin putar arah atau bagi penyebrang jalan.

Menariknya, berbeda dengan
kebanyakan pengatur lalu lintas liar atau biasa disebut Pak Ogah yang
keberadaanya makin marak di Jakarta, cara kerja Pak Subur sungguh profesional. Tak kalah dengan Polisi
Lalu Lintas betulan.

Saat sedang bekerja ia berdiri
tegap, satu tangannya memegang papan kayu bertuliskan “STOP”, sementara tangan
lainnya memberi aba-aba dengan mantap. Ditambah senyuman yang selalu mengembang
dari wajah legamnya.

Tak hanya itu, setiap kendaraan
yang ditumpangi polisi atau tentara lewat, Pak Subur dengan sigap langsung
memberi hormat dengan sikap sempurna. Sementara yang diberi hormat memberi
lambaian.

Karena ‘keseriusannya’ bekerja
itulah, para pengendara tak segan-segan memberikannya sekedar uang receh.
Sikap saat menerima pemberian pun, dilakukannya dengan sopan. Ia membungkuk
badan sembari mengucapkan “Terima kasih, hati-hati di jalan,”

Tak heran, Berkat Pak Subur, lalu
lintas di putaran tersebut relatif lancar dan aman.

“Saya ngatur disini sudah dua
belas tahun,” kata Pak Subur membuka obrolan dengan Kabari, Juma’t (17/12). Dua
gelas kopi hangat menemani obrolan kami siang itu tak jauh dari lokasi Pak
Subur biasa mengatur lalu lintas.

Awalnya Pak Subur bekerja sebagai
tenaga keamanan di sebuah pabrik. Tapi kontraknya habis dan ia terpaksa
menganggur. Berbekal sebuah motor kreditan, Pak Subur lalu men jadi tukang ojek
yang mangkalnya di daerah Kranji.

Kemudian ketika jalur Jalan Ahmad
Yani dari Jakarta
menuju Bekasi dan sebalikya mulai padat,
Pak Subur mulai membantu mengatur lalu lintas di putaran depan Pos
Polisi Kayuringin. “Pos polisi (Kayuringin-red) ini baru tiga tahunan berdiri,
duluan saya ngatur di sini,” ujar Pak Subur.

Mungkin melihat cara kerja Pak
Subur yang giat dan serius, Komandan Pos Polisi Kayuringin pun mengajak Pak
Subur bekerja di pos tersebut sebagai tenaga bantuan, “Kalau dulu istilahnya
banpol (bantuan polisi), sekarang kan sudah tidak ada, jadi saya cuma diminta
ikut bantu-bantu. Ya nyapu, ngepel, pokoknya apa saja yang bisa saya kerjakan,”
ujarnya.

Kemudian rasa penasaran kenapa
Pak Subur selalu memberi hormat dengan sikap sempurna kepada kendaraan polisi
atau tentara, dijawabnya dengan jujur, “Bapak-bapak itu adalah petugas, abdi
negara, kita harus menghormatinya.”

Pak Subur mengakui dulu ia memang ingin jadi tentara atau polisi,
tapi tak kesampaian. Tapi itu bukan soal, “Bagi saya membantu tugas Pak Polisi
seperti ini, saya sudah senang sekali,” katanya bangga.

Kehilangan Anak Tercinta

Pak Subur juga bercerita tentang
latar belakang keluarganya. Ia dibesarkan dari keluarga tak mampu, sehingga ia
hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar. Pak Subur ditinggal ayahnya
saat usianya masih belia. Otomatis sebagai anak lelaki ia ikut banting tulang
membantu menafkahi keluarga.

“Saya selalu ingin membahagiakan
orangtua, terutama ibu saya yang susah payah membesarkan saya,” ujar Pak Subur
yang mengaku sampai saat ini masih memberikan sebagian uang hasil
pemberian dari pengendara bermotor
kepada Ibunya secara rutin. “Saya cuma berharap berkahnya orangtua,” kata Pak
Subur.

Ketika ditanya perihal
anak-anaknya, suara Pak Subur mendadak pelan. Ia seolah sedang mengumpulkan
kekuatan untuk menceritakannya. “Anak saya tiga, lelaki semua, yang nomor dua
sudah almarhum,” kata Pak Subur.

Anak nomor dua Pak Subur yang
saat itu berusia 5 tahun bernama Muhammad Ramli, meninggal dunia tahun 2005 akibat
sebuah insiden yang sampai kini tak bisa dilupakannya.

Pak Subur bercerita, Ramli bermain
lari-larian di perkarangan rumahnya. Tak jauh dari situ, ada sebuah gerobak
bakso yang sedang diparkir. Sementara pemiliknya sedang menunaikan shalat.

Mungkin karena saking asyiknya
bermain, Ramli menabrak gerobak itu hingga jatuh dan menimpa dirinya. Tak ayal,
kuali yang berisi kuah bakso yang panas mendidih pun menyiram tubuh Ramli.

Saat dibawa ke Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, kondisi bocah malang
itu menyedihkan, seluruh tubuhnya melepuh. “Saya benar-benar tak sanggup melihatnya
demikian,” kata Pak Subur.

Sayang akibat prosedur pelayanan
kesehatan bagi pengguna kartu sehat keluarga miskin berbelit-belit, nyawa Ramli
tak bisa diselamatkan. Kala itu, media massa
ramai memberitakannya.

“Terus terang, dia anak
kesayangan kami, saya dan istri sangat sayang padanya, tetapi
sesayang-sayangnya orangtua, ternyata Tuhan lebih sayang padanya, makanya dia
diambil lagi,” katanya pelan.

Ada satu ucapan bocah itu yang ia
ingat sebelum meninggal, “Waktu saya kredit motor, dia sempat bilang, kalau
Bapak beli motor kita semua enggak muat naik, kan kita berlima, (Pak Subur,
istri, tiga anaknya-red), makanya Bapak beli mobil saja, kata dia begitu,”

Bagi Pak Subur ucapan itu seolah
pertanda. Betul saja, karena tidak muat naik motor berlima, Ramli harus
mengalah dan pergi untuk selama-lamanya, “Dia mengalah pergi duluan, karena
tahu Bapaknya enggak sanggup beli mobil,” kata Pak Subur.

Hikmah dari kepergian anaknya,
Pak Subur mengaku kini lebih banyak mendekat pada Tuhan, istrinya pun sekarang jadi
guru ngaji dan sering memimpin pengajian di lingkungannya. “Alhamdullilah
musibah itu tidak membuat saya kehilangan pegangan,” ujarnya.


Pernah Diberi Satu Juta Rupiah

Sekarang ini di Jakarta banyak sekali pengatur lalu lintas
liar terutama di putaran jalan. Mereka umumnya berorientasi pada uang. Dalam
arti, mengatur lalu lintas semata-semata hanya untuk mendapatkan uang, sehingga
lebih sering membuat jalan macet
ketimbang lancar. Bahkan kadangkala mereka meminta uang dengan cara memaksa.

Profesi ini sering disebut “Pak
Ogah” atau “Polisi Cepek”. Disebut Pak Ogah, karena meniru aksi Pak Ogah dalam
serial Boneka Si Unyil yang kerap minta uang dahulu sebelum bekerja.

Pak Subur mengungkapkan ia enggan
disebut “Pak Ogah” atau “Polisi Cepek” sebab ia tak pernah mengulurkan tangan
untuk meminta-minta, “Saya tidak pernah mengulurkan tangan, atau
mengocok-ngocok uang receh di tangan
supaya pengendara memberikan uang, “ ujar Pak Subur.”Lagipula nama saya Pak Subur
bukan Pak Ogah,” lanjutnya dengan derai tawa.

Dari pantauan Kabari, Pak Subur memang tak pernah menengadahkan
tangan. Ia baru akan mengambil pemberian dari pengendara, jika memang
pengendara memberi, “Tidak memberi pun tidak apa-apa, saya ikhlas,”

Saat ditanya apa suka duka
menjadi pengatur lalu lintas, ia menjawab, “Dukanya kalau sampai terjadi
kecelakaan, bukan apa-apa, kadang-kadang sudah kita atur, pengendara banyak yang
bandel dan main serobot,”

Selama dua belas tahun ia
mengatur lalu lintas, belum pernah ada kecelakaan fatal yang berakibat
hilangnya nyawa. “Kalau saya tidak salah ada dua
kecelakaan, tapi untungnya tidak parah,” katanya.

Sementara sukanya, jika para
pengendara tertib dan menuruti aba-abanya. Soal pendapatan, dalam sehari tak
bisa ditentukan ia memperoleh berapa rupiah. Terkadang sepuluh ribu, kadang pula lima puluh ribu.

Namun ia pernah juga mendapat
rejeki nomplok, “Ceritanya ada sebuah mobil
sedan berhenti di seberang jalan, pengemudinya memanggil saya, rupanya dia
tentara karena pakai baju dinas lengkap. Dia bilang kerja kamu bagus dam menyodorkan
uang kepada saya, ini buat beli rokok, katanya.” ujar Pak Subur.

Pak Subur langsung sujud sukur
dan menangis, karena jumlahnya sangat besar, satu juta rupiah! ”Alhamdullilah, ya Allah.” seru
Pak Subur.

Pak Subur tak punya cita-cita muluk.
Keinginannya sederhana saja, yakni menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya. Ia
berjanji akan berusaha semaksimal mungkin mencari uang dengan kerja keras dan cara-cara
halal.

Soal profesinya sebagai pengatur
lalu lintas, Pak Subur berkata singkat, “Kalau Pak polisi dan masyarakat di
sini masih membutuhkan tenaga saya, saya akan terus, kalau tidak, ya saya
berhenti,”.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36107

Untuk melihat Berita Indonesia / Kisah lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :