Untuk melihat video part 2, Klik disini

Lima tahun lalu, Diah gembira. Tahun 2006, tak jauh dari tempat tinggalnya itu, akan dibangun sebuah gereja, yaitu Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Selama beberapa tahun memiliki rumah di Perumahan Taman Yasmin, dia dan keluarganya harus beribadah di kota Bogor yang agak jauh dari tempat tinggalnya. Gereja itu terletak di jalan KH Abdullah bin Nuh, lingkar luar Taman Yasmin Bogor. Perumahan Taman Yasmin adalah perumahan yang cukup baik dan berada di pinggir kota Bogor.

Beberapa keluarga lain yang berada di lingkungan Taman Yasmin juga senang. GKI Yasmin adalah cabang dari GKI jl Pengadilan 35 Bogor. GKI di jl Pengadilan tak lagi bisa menampung jemaat lebih banyak, meski jam ibadah sudah ditambah. Selain Diah, sekitar 300 jemaat lain juga beribadah di Taman Yasmin.

Awalnya tak ada kendala. Tanah terbeli dan pengurus gereja mengurus berbagai perizinan. Mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai salah satu syarat mendirikan rumah ibadah dan hal-hal legal lainnya. Tak lama, izin didapat. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor no 654.8-372 tahun 2006 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi rumah ibadah GKI jl Pengadilan Bogor telah mendapat izin resmi untuk membangun gedung gereja di kompleks perumahan Taman Yasmin.

Pembangunan gereja pun dimulai. Sebagian biaya dari jemaat lewat persembahan ibadah hari Minggu. Bahan bangunan pun dibeli. “ Menurut pengurus gereja, izin sudah ada, tetapi kemudian hari kita dihambat terus “ kata Diah. Oktober 2006, sekelompok orang melakukan protes agar pembangunan gereja tidak dilanjutkan. Namun karena sudah mendapat IMB, pembangunan terus berlanjut.

Tetapi Februari 2008, setelah pembangunan selesai 70 persen, IMB gereja dibekukan oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor. “

Kami kaget, sedih, syok dan takut,” kata Diah, ibu dari dua orang anak ini. Menurutnya, pengurus gereja dibantu beberapa pihak yang bersimpati lantas berjuang sampai tingkat Mahkamah Agung (MA)

Di tingkat MA, IMB GKI Yamin sah. MA memenangkan gereja itu. Namun pada 11 Maret 2011 lalu, Pemerintah Kota Bogor lewat tandatangan Walikota Bogor, Diani Budiarto mencabut IMB Gereja ini. Keputusan itu dikeluarkan setelah mempertimbangkan laporan keresahan warga, terkait pembangunan Gereja Yasmin yang diduga cacat hukum. Pemerintah Kota tetap menyegel gereja. Jemaat memasuki babak baru. Mereka terpaksa melakukan ibadat di trotoar di depan gereja. Sedih memang. Seperti memiliki rumah tapi tak boleh tinggal di rumah sendiri.

Namun, beberapa warga tetap keberatan dengan kegiatan tersebut. Sejumlah jemaat GKI Yasmin kemudian menerima ancaman teror karena tetap melakukan ibadat di trotoar di depan gereja. Pihak gereja mengaku tidak mengerti kenapa keputusan MA bisa dikalahkan oleh tandatangan 100-200 orang yang tidak setuju.

“ Ketika beribadah di trotoar, saya mula-mula membawa anak saya ke gereja, “kata Diah. Dia memiliki dua anak setingkat Sekolah Dasar. Namun ketika aparat dan warga sekitar mulai agresif, dia berhenti mengajak anaknya. “ Saya tidak bisa ajak anak ibadah dengan polisi yang begitu banyak, terkadang ada mobil water canon dan ada senjata terlihat dibawa oleh aparat,” katanya. Menurutnya, mereka terlalu kecil untuk mengalami trauma. “ Saya harus menjaga hati mereka. Karena kalau tetap membawa mereka beribadah, setiap minggu hati mereka akan terluka, “ katanya sambil terisak. “Bagaimana kami dapat mengajari anak soal toleransi dan pluralisme kalau di depan mimbar gereja terdapat aparat yang bersenjata lengkap, “katanya sambil melempar pandang ke aparat yang berjaga-jaga di sekitar jemaat.

Hal itu yang paling berat bagi Diah. Baginya, agak percuma teori –teori kesantunan, saling menghormati dan kebhinekaan suku dan agama diajarkan di sekolah, kalau tiap minggu mereka tak nyaman beribadah. “Terkadang pak Walikota Bogor memimpin para aparat itu berkeliling ketika kami beribadah,” kata Diah. “Apapun yang diajarkan oleh teori di sekolah, akan patah jika anak terus menerus melihat ketidak-adilan ini,” katanya. Karena itu dia tak lagi mengajak anaknya untuk beribadah pada hari minggu.

“ Kami memang takut, tapi kami berusaha bertahan. Kami tak tahu perjalanannya akan seperti apa. Pada suatu saat pasti ada sesuatu yang terang untuk kami. Itu yang kami yakini, ” katanya sambil menerawang. Peribadatan di trotoar gereja kini tak boleh lagi dilakukan. Ibadah kadang berpindah ke rumah warga. “Kami yakin nanti ada yang tergerak hatinya. Kami beribadah di tempat kami sendiri, bukan tempat lain,”
katanya.

Diah mungkin hanya satu contoh dari jemaat yang merasa papa. Satu diantara 300 jemaat GKI Taman Yasmin yang tak lelah bersuara tentang ketidak adilan yang mereka terima. Mereka tak boleh beribadah di tempat sendiri. Mereka memiliki rumah tapi seakan tak boleh menempati rumah hasil jerih payah mereka. Padahal tak kurang kalangan DPR, tokoh agama, organisasi Islam, pihak swasta dalam dan luar negeri telah mendukung gereja ini.

Jemaat GKI Yasmin memang tak lelah berdoa bagi mereka yang memberikan keadilan dan ketidakadilan sekaligus. Mereka tetap berkeyakinan, bahwa pada suatu saat keadilan akan berpihak pada mereka. Pasti ada terang.  (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37528

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :