Namanya memang tidak setenar nama Laksamana Cheng Ho, meski
sama-sama berasal dari “Negeri Tirai Bambu”. Nama Souw Beng Kong hanya
diketahui segelintir orang.

Menurut Ketua Yayasan Souw Beng Kong, Hendarmin Susilo, hampir tidak
ada catatan sejarah, khususnya di Indonesia yang pernah mengulas sosok
pria yang lahir pada jaman Dinasti Ming tersebut.

Hanya beberapa tulisan sejarah Belanda di Batavia dari buku Oud Batavia,
1920, hasil karya sejarawan Belanda, De Haan, yang sempat mengulas
keberadaan Souw Beng Kong atau yang sering disebut dengan nama Bencon
oleh orang Belanda.

Saudagar Rempah

Lahir sekitar tahun 1580 di distrik Tong An, Provinsi Hok Kian,
Tiongkok, Souw Beng Kong merupakan salah satu pemuda Tionghoa yang
mengarungi lautan menuju daerah-daerah baru untuk berniaga.

Hingga akhirnya perjalanan Souw Beng Kong ini pun mengantarkannya
hingga ke pelabuhan Banten pada tahun 1604. Pada masa itu, Banten
merupakan salah satu pintu masuk para pedagang dari berbagai negeri,
seperti Arab dan Tiongkok.

Menurut sejarah, pada saat itu sudah terdapat pemukiman warga
Tionghoa perantau di sekitar pelabuhan Banten yang hidup berdampingan
bersama warga pribumi.

Batavia sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil rempah-rempah di
mata bangsa Eropa, maka tidak heran bila tanaman seperti lada dan
cengkeh mendominasi perdagangan ketika itu.

Souw Beng Kong adalah seorang pemuda yang cekatan, gigih dan rajin
serta mau bekerja keras. Hal inilah yang membuatnya cepat sukses dalam
membangun usahanya dan dikenal sebagai eksportir rempah-rempah yang
ulung. Selain itu, ia juga merupakan salah satu tokoh Tionghoa yang
disegani, disamping punya hubungan erat dengan Kesultanan Banten.

Nama Souw Beng Kong tidak asing bagi orang Belanda pembesar VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur.
Maka, saat VOC menguasai Batavia, sosok Souw Beng Kong “diincar” VOC untuk dapat membantu membangun Kota Batavia. Dia diminta supaya bisa mengajak para migran Tionghoa menetap di Batavia.

Kemudian di tahun 1620, dia juga diminta mendatangkan lebih banyak
tenaga kerja dari Tiongkok yang punya keahlian di bidang arsitektur atau
pertukangan untuk mempercepat pembangunan kota Batavia.

Pada tahun 1619, Souw Beng Kong oleh VOC untuk pertama kalinya dinobatkan sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa dengan pangkat Kapitan (Kapiten) tituler.

Pada masa itu, jumlah penduduk Tionghoa yang ada di Batavia sudah
sekitar 400-an keluarga. Setelah Souw Beng Kong memimpin, jumlahnya
meningkat dengan pesat hingga mencapai 1000 keluarga pada Tahun 1622.
Pada umumnya kegiatan mereka sebagai pedagang dan petani.

Souw Beng Kong menjabat kedudukan ini selama 17 tahun berturut-turut
hingga 1639. Ia bahkan sempat mengalami 5 kali pergantian Gubernur VOC.

Jamban Di Atas Makam

Atas jasa dan pengabdian Souw Beng Kong itulah, maka Gubernur Jenderal VOC
Jan Pieterzoon Coen memberikan penghargaan dan memujinya sebagai orang
Tionghoa yang baik. (sumber: Buku Riwayat Kapiten Pertama Batavia Souw
Beng Kong).

Souw Beng Kong wafat pada tanggal 8 April 1644, ia meninggalkan seorang isteri pribumi asal Bali dan 2 orang putera.

Ia dimakamkan di daerah kebun kelapa miliknya (sekarang dikenal
dengan nama Gang Taruna di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat) yang
luasnya sekitar 40.000 meter per segi.

Seiring berjalannya waktu, nama dan jasa sang Kapiten ini pun mulai terlupakan, termasuk pula dengan makamnya.

Makamnya tidak lagi terawat, bahkan saat ditemukan oleh mayor
Tionghoa terakhir, Mayor Khouw Kim An, pada tahun 1929, lokasi di
sekitar makam sang kapiten ini sudah dipenuhi oleh semak belukar dan
nyaris tidak terlihat lagi.

Melihat kondisi ini, Mayor Khouw Kim An yang mengetahui sejarah
almarhum akhirnya memutuskan untuk membersihkan dan memugar kembali area
makam.

Khouw Kim An juga menambahkan dua buah prasasti (bong pai)
yang bertuliskan bahasa Belanda pada prasasti kiri dan bahasa Tionghoa
pada prasasti kanan. Isinya, riwayat dan sejarah Souw Beng Kong.

Dengan kembali bergulirnya waktu, perlahan makam Souw Beng Kong
kembali mulai menghilang, terlebih lagi pada saat masa pemerintahan orde
lama dan orde baru makam tersebut tidak mendapat perhatian sama sekali.

Di era pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, makam ini kembali mendapat perhatian.

Ali Sadikin yang menjabat Gubernur DKI
Jakarta pada tahun 1966 hingga 1977, memutuskan untuk memberi sebuah
tanda di sekitar lokasi makam yang menyatakan agar makam tersebut tidak
boleh diganggu.

Namun sangat disayangkan, papan larangan tersebut tidak dapat
bertahan lama. Seiring dengan berkembangnya kota Jakarta, serta terus
bertambahnya jumlah penduduk Ibukota, kawasan di sekitar makam Souw Beng
Kong pun mulai dipadati dengan bangunan-bangunan liar. Hingga akhirnya,
kompleks makam sang kapiten berubah fungsinya menjadi kawasan perumahan
kumuh.

Kondisi ini berlangsung lama, karena warga yang mendiami area sekitar
makam hampir secara keseluruhan tidak mengetahui siapa yang dimakamkan
di lokasi tersebut. Selain itu, prasasti yang bertuliskan bahasa Belanda
dan Tionghoa juga tidak dimengerti oleh warga.

Hingga akhirnya saat ditemukan kembali pada tahun 2002, oleh seorang
wartawati sebuah media massa lokal berbahasa Inggeris yang tengah
melakukan riset tentang peninggalan sejarah Kota Jakarta, kabar
keberadaan makam Souw Beng Kong ini pun kembali mendapat perhatian.

Saat itu kondisi makam sangat memprihatinkan, selain berada di dalam
gang sempit untuk mencapai lokasinya, makam kapiten ini ditemukan di
dalam sebuah rumah warga. Keadaan kedua prasasti makam terdapat di
bawah anak tangga. Selain itu, di atas makam juga ada kamar mandi dan
kakus umum yang digunakan pemilik rumah dan masyarakat setempat untuk
kegiatan MCK (mandi, cuci dan kakus).

Ratusan Juta Rupiah Untuk Menebus Makam


Penemuan kembali makam ini memang mengejutkan banyak pihak, terlebih
lagi saat ditemukan dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.

Salah seorang tokoh masyarakat dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia atau PSMTI, Brigadir Jenderal TNI
(Purn) Teddy Jusuf menaruh simpati mengenai kondisi makam. Dia sempat
berusaha menggelar acara galang dana untuk memperbaiki dan membayar
pembebasan lahan makam Souw Beng Kong.

Namun dana yang terkumpul saat itu hanya sekitar Rp 50 juta, jauh dari jumlah biaya yang diperlukan.

Akhirnya, pada tahun 2006, kasus makam ini kembali mencuat dan
mendapat perhatian dari seorang dosen Universitas Tarumanegara, Hendra
Lukito, yang sangat menaruh perhatian akan kondisi makam tersebut.
Diusahakannya untuk menarik perhatian seluruh warga keturunan Tionghoa
yang memiliki marga Souw supaya turut membantu memperbaiki makam.

Keinginan ini mendapat sambutan dari seorang pengusaha di Medan,
Fajar Suhendra, untuk membantu biaya pemugaran dan pembebasan lahan
sekitar makam. Tapi sayangnya, harga yang diberikan oleh warga yang
tinggal di sekitar makam cukup tinggi, yakni mulai dari Rp 1 juta per
meter hingga puluhan juta rupiah. Bahkan, ada sebuah rumah dekat makam
berukuran hanya 25 meter persegi, harga yang diminta pemiliknya lebih
dari Rp 100 juta.

Dengan kegigihan dan rasa hormat terhadap makam leluhur, serta
menghargai nilai-nilai sejarah, saat ini kondisi makam sudah tampak
lebih baik setelah proses pemugaran.

Sementara itu, untuk kegiatan di lokasi makam biasanya dilakukan pada
bulan empat saat musim semi, dan pada bulan tujuh bertepatan dengan
musim gugur.

Pedaftaran Sebagai Situs Bersejarah

Yayasan Souw Beng Kong yang dibentuk sejak tanggal 11 Februari 2008
berusaha agar makam ini dapat dijadikan cagar budaya supaya bisa berdiri
tenang tanpa mendapat gangguan dari keadaan sekitarnya.

Terkait keinginan tersebut, pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyambut baik keinginan tersebut.

Untuk nonton Video Part 2, Klik disini

Untuk nonton Video Part 3, Klik disini

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36309

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :