Secara singkat, bisa Ibu ceritakan sejarah berdirinya program Bahasa Indonesia di UC Berkeley ?

Program bahasa Indonesia di UC Berkeley dimulai dengan berdirinya program studi Asia Tenggara di Universitas California, Berkeley, pada tahun 1954.  Pada saat itu, bahasa Indonesia diajarkan oleh Profesor Denzel R. Carr di fakultas Oriental Languages (bahasa-bahasa Timur)–sekarang sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan fakultas Studi Asia Timur, Studi Timur Tengah, serta Studi Asia Selatan dan Tenggara.  Tentu, bahasa Indonesia–disebut sebagai Malay/Indonesian–diajarkan di fakultas Studi Asia Selatan dan Tenggara (South and Southeast Asian Studies).

Sebegitu jauh, bagaimana minat mahasiswa Amerika belajar Bahasa Indonesia, khususnya di Cal ? Semakin banyakkah peminat    Bahasa Indonesia di AS?

Saya rasa belakangan ini mulai ada peningkatan minat belajar mengenai Indonesia, misalnya dalam berbagai bidang seperti Ilmu Politik, Pengelolaan Sumber Daya Alam, Sastra/Budaya, Antropologi, Linguistik, Sejarah Kesenian, dan Musik.  Bahkan di jurusan Sastra Inggris mulai ada pengajar maupun mahasiswa yang a.l. tertarik karena karya besar Pramoedya Ananta Toer yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan banyak dipakai sebagai teks wajib.  Juga di jurusan Belanda minat akan sastra masa kolonial–antara lain tentu karya besar Max Havelaar–mulai meningkat.   Semester ini,  dalam seminar paska-sarjana mengenai bahasa dan sastra Indonesia ada sekitar 9 orang peserta: jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan tahun-tahun lalu.

Kami membaca bahwa mahasiswa kelahiran Amerika dengan orang tua asal Indonesia mulai belajar Bahasa Indonesia di South  California. Bagaimana dengan UC Berkeley ?

Saya mengajar bahasa dan sastra di program paska sarjana (graduate studies), tetapi nampaknya memang ada kecenderungan bahwa yang disebut “heritage students” (mahasiswa yang “mewarisi” bahasa ibu dari orangtua)  cenderung bertambah.   Mahasiswa dengan latar belakang Indonesia mulai lebih sering mengambil  mata kuliah non-bahasa Indonesia  di jurusan Asia Tenggara, seperti misalnya, kuliah wajib membaca dan menulis akademis, yang juga mengedepankan karya-karya Indonesia dan ASEAN lainnya.  Mata kuliah kesusasteraan Indonesia dalam terjemahan juga sesekali diminati.  Yang menarik ialah bahwa banyak mahasiswa berlatarbelakang Indonesia (terutama yang pernah belajar di Indonesia) biasanya mengagumi karya-karya sastra Indonesia–apalagi karya-karya Pramoedya–walaupun kebanyakan mengaku bahwa pelajaran sastra di SMP/SMA Indonesia sama sekali tidak menarik.

Sebagai pengajar Kesusastraan Indonesia dan Bahasa Indonesia (?), apakah tantangan dan senangnya mengajar mata kuliah ini  di AS ?

Yang paling sulit ialah akses pada buku-buku berbahasa Indonesia.  Di perpustakaan memang cukup lengkap, tetapi untuk memesan buku dari Indonesia sulit sekali, apalagi karena pesanan pasti tidak banyak, sehingga biaya pengiriman menjadi mahal sekali.

Secara umum, menurut Ibu, bagaimana masa depan studi Bahasa Indonesia di Amerika Serikat?

Secara umum, saya rasa studi Bahasa Indonesia di AS akan seperti ini:  minat yang naik turun.  Siapa tahu, pada suatu ketika, penduduk AS yang berlatarbelakang Indonesia akan terpanggil untuk mendorong anak-anak mereka lebih mengenal dan menghargai bahasa, sastra dan budaya yang kaya ini.

Apa komentar anda mengenai RUU (Rancangan Undang2) Bahasa yang sempat dipolemikkan di Indonesia tahun ini?

Bagi saya, pengaturan bahasa sah-sah saja, asal dipahami bahwa bahasa (dan budaya) senantiasa mempunyai dinamikanya sendiri.  Tanpa dinamika perlawanan itu sendiri, bahasa Indonesia tak pernah akan hadir:  pemerintah terlalu sering lupa bahwa bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa perjuangan, bahasa perlawanan, bahasa revolusi.  Seandainya dulu diterima saja segala regelement jaman kolonial mengenai penggunaan bahasa, bagaimana jadinya?   Mereka yang mengucapkan Sumpah Pemuda itu bukan penguasa atau birokrat, melainkan pejuang yang mengambil risiko dicap subversif.   Bahaya mengatur bahasa dengan Undang-Undang ialah kemungkinan terjadinya kriminalisasi penggunaan bahasa.  Bayangkan, kalau di samping polisi pamongpraja, polisi laut, udara, lantas, hutan, dsb. juga harus ada polisi bahasa!  Kalau mau menghentikan arus asing di ruang publik, maka yang lebih penting dihadang ialah arus kepentingan asing yang menjurus ke swastanisasi/privatisasi segala yang sekarang berstatus publik:  lapangan-lapangan di mana anak-anak dulu bermain layangan sekarang menjadi mal-mal, sementara pedagang-pedagang kecil, pedagang asongan, bahkan pengamen dan orang miskin terancam digusur sama sekali dari ruang yang katanya masih ruang publik.   Sekarang ini, anak-anak di Jakarta sudah banyak yang tidak kenal “becak”  dan “bang becak.”  Tahunya kan “busway”, “overpass,” dsb.  Lama-lama tidak lagi kenal “pasar”, melainkan “supermarket,” “hypermarket,” “mini market”.   Berapa yang masih kenal “gulali?”  atau jajan pasar?  Di kota-kota besar mereka lebih akrab dengan makanan asing:  doughnuts, pizza, dsb.  Walau di”Indonesia”kan menjadi donat, pisa, dsb., pada dasarnya ini tetap berupa komoditas yang kebanyakan masuk melalui jalur-jalur global yang mengalahkan total si “gulali” dan si “combro.”  Undang-Undang Bahasa karena itu hanyalah pupur untuk menutupi gejala penggusuran budaya, pengetahuan dan kemampuan lokal.