Terbongkarnya aksi menyontek masal di SDN Gadel II Surabaya pada pelaksanaan ujian nasional (Unas) awal Mei lalu akhirnya menjadi isu Nasional. Menteri Pendidikan, M. Nuh membahasnya dan minta agar unas di SD itu diulang.

Selasa ini (14/6), kasus tak patut itu dibahas khusus di kantor Kemendiknas (Kementrian Pendidikan Nasional) bersama Badan Nasional Standarisasi Nasional Pendidikan. Kemungkinan besar, Kemendiknas akan memberikan sanksi kepada SD tersebut.

Kronologi

Kasus Nyontek masal di SDN Gadel II Surabaya itu berawal pada tgl 6-9 Mei lalu, para siswa SD melakukan persiapan ujian nasional. Seorang murid bernama Aam diminta oleh wali kelas agar membantu siswa lain untuk menjawab soal unas. Mereka sampai melakukan simulasi persontekan. Aam memang pintar diantara rekan-rekannya.

Karena itu permintaan wali kelas, maka hal itu dituruti Aam. Aam mau membagikan jawaban ke siswa lain ketika unas berlangsung (10-12 Mei). Namun, kertas sontekan itu dipergok seorang pengawas. Wali kelas dilaporkan kepada Dinas Pendidikan wilayah Tandes, sebagai pihak yang berwenang atas SDN Gadel. Kasus itu diredam sehingga tidak diketahui publik.

Seminggu kemudian, ibu Aam, Siami, mendapat kabar bahwa anaknya adalah sumber sontekan. Siami yang mengajarkan anaknya untuk selalu jujur, mengadukan persoalan tersebut pada Kepala Sekolah. Namun Kepala Sekolah hanya minta maaf.

Tak puas dengan reaksi Kepala Sekolah, Siami melaporkan kasus tersebut ke komite sekolah. Sayangnya, komite sekolah juga terkesan menghindar.

Pada tgl 1 Juni lalu, Siami akhirnya melaporkan kasus kecurangan unas kepada Dinas Pendidikan Surabaya yang kemudian diproses sampai pada tingkat nasional.

Keluarga Aam terusir dari kampungnya

Namun keinginan untuk jujur itu ditentang banyak pihak. Setelah pelaporan oleh ny Siami, diadakan pertemuan para orangtua murid, Dinas Pendidikan setempat dan tim independent dibalai Rukun Warga.

Suasana pertemuan di Balai RW yang awalnya berlangsung tenang mendadak ricuh saat Ny Siami diberi kesempatan bicara. Ibu rumah tangga yang sehari-hari berprofesi sebagai penjahit itu meminta maaf sambil menangis. Tapi ternyata, ratusan warga di luar dan di dalam balai RW justru merespons ungkapan Ny Siami itu dengan cara berteriak-teriak, mengusir istri buruh tersebut.

Padahal, Ny Siami sudah meminta maaf sambil menangis dan berjabat tangan hingga berpelukan dengan Kepala Sekolah Sukatman dan guru kelas VI, Fathurrochman dan Prayitno, yang terkena sanksi penurunan pangkat akibat pelaporannya tersebut. “Air mata buaya, usir-usir!” teriak warga kompak.

Ungkapan perasaan Ny Siami melalui pengeras suara itu bahkan makin kalah keras dibanding teriakan dan hujatan tetangganya sendiri tersebut. Polisi, yang melihat situasi makin tak terkendali, memutuskan mengevakuasi Widodo (ayah Aam), Ny Siami, dan kakaknya, Saki Edy Purnomo, menggunakan mobil patroli.

Warga yang sempat melakukan aksi dorong saat Ny Siami dievakuasi ke atas mobil patroli itu ternyata masih belum puas. Mereka beramai-ramai mendatangi rumah keluarga malang tersebut di Jalan Gadel Sari Barat , Surabaya, yang sudah dijaga polisi.

Warga akhirnya gigit jari, karena ternyata keluarga itu dievakuasi ke Mapolsek Tandes. Ny Siami sendiri mengaku sudah tidak kuat menghadapi masalah dengan para tetangganya tersebut. “Saya tidak kuat, mau pulang ke rumah orangtua di Gresik,” ujarnya sambil menangis.

Wanita berjilbab yang sudah merasa tidak nyaman lagi tinggal di kawasan Gadel itu juga berencana menjual rumah yang sudah ditinggalinya sejak 8 tahun silam tersebut.

Para Ahli Pendidikan Bereaksi

Ahli Pendidikan Indonesia juga beraksi atas kasus ini. “Tindakan masyarakat memusuhi pelapor adalah tindakan pengecut. Yang bermasalah adalah lingkungan. Masyarakat yang memberikan tekanan kepada orang-orang jujur harus dihukum,” ujar Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan mengutip Antara (13/6).

“Pelapor harus dibela dan diberi label positif. Profil-profil yang terlibat memberi tekanan harus ditunjukkan ke publik supaya malu. Mereka harus merasa ini sesuatu yang salah,” tuturnya. Ia menambahkan, tindakan warga kepada anak yang melaporkan, akan memberi tekanan kepada anak dan memberi efek jangka panjang. Sehingga diperlukan konseling untuk memulihkannya.

Terpisah, agamawan Romo Mudji Sutrisno mengatakan, perilaku pengusiran tersebut menjadi sumber yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak maju-maju. “Ini krisis edukasi dan pendidikan. Kasus di Surabaya itu adalah puncak gunung es. Banyak masalah yang lebih ngeri dari itu,” ujarnya.

Ia mengaku prihatin, ketika anak-anak SD sudah diajari untuk tidak bisa dipercaya. Padahal, kepercayaan menjadi hal yang paling penting bagi pendidikan.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36889

Untuk melihat artikel Pendidikan lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :