Siang itu, Herman Batubara bergegas menuju pabrik di kawasan
Tanjung Morawa, Medan. Seperti biasanya, sebelum menyupiri bus Antar
Lintas Sumatera (ALS) jurusan Medan-Jakarta, ia mendatangi pabrik dekat pelabuhan Belawan itu.

Secara pribadi, ia mendapat titipan pesan order barang-barang
tertentu untuk kebutuhan produksi dari si pemilik pabrik. Perintah
ordernya ditulis hanya di sesobek kertas. Bahkan, sering Herman
membawa order yang ditulis di atas kertas bekas bungkus rokok atau
kalender. Padahal, ia tahu betul, nilai oder itu mencapai puluhan juta
rupiah. Sepotong kertas yang kelihatan tak layak itu biasa ia sampaikan
ke seorang pengusaha di kawasan Jl. Pangeran Jayakarta, Jakarta, setelah
ia selesai mengantar seluruh penumpang ke terminal bus Pulogadung,
Jakarta.

Melakukan order bernilai puluhan juta rupiah hanya dalam secarik
kertas bekas dan dititipkan pada orang lain atau dengan satu kali
telepon, dinilai tak wajar oleh pebisnis di Jakarta, karena bisa
dikesankan tidak serius. Namun, itulah uniknya. Bagi banyak pengusaha
keturunan Tionghoa asal Medan, praktik-praktik bisnis seperti itu biasa
dilakukan. Tak sedikit pengusaha Tionghoa Medan yang mengandalkan jasa
orang-orang kepercayaan. Setelah melihat sobekan kertas pesanan seperti
itu, tanpa banyak cingcong mereka langsung menyiapkan barang yang
dipesan, tanpa terkesan ada kekhawatiran akan ditipu. Maklum, mereka
memegang kuat prinsip sing yong alias kepercayaan.

Kebanyakan Berawal dari Nol

Penindasan yang dihadapi orang Tionghoa di Indonesia telah lama ada. Pembantaian pihak Belanda (VOC) terhadap orang Tionghoa terjadi pada tahun 1740. VOC
membantai orang Tionghoa di Batavia, Tangerang, dan semua kota pantai
utara Jawa dengan korban mencapai 10 ribu jiwa. Belanda juga menerapkan
kebijakan yang mengharuskan orang Tionghoa memiliki surat izin ketika
ingin bepergian keluar pemukiman mereka. Pola pemukiman diatur dan
disatukan dalam suatu wilayah tertentu yang biasa disebut Pecinan atau
kampung Cina.

Menurut sejarawan Indonesia alm. Ong Hok Ham, pembagian pola migrasi
orang Tionghoa di Indonesia terbagi dua, yakni Tionghoa Jawa dan
Tionghoa Sebrang. Tionghoa Jawa datang sebagai individu atau kelompok
kecil. Di tanah Jawa, mereka berinteraksi intens dengan masyarakat
setempat dan membuat mereka kehilangan bahasa ibunya setelah dua
generasi. Kita sering mendapati orang Tionghoa di Jawa yang berbicara
bahasa Jawa dengan lafal Jawa medok.

Sedangkan Tionghoa Sebrang datang berkelompok besar. Tionghoa Sebrang
menempati wilayah seperti Sumatera, Pontianak, Semenanjung Malaya dan
lainnya. Karena mereka berkelompok besar, rata-rata mereka jarang
berinteraksi intens dengan penduduk asli. Mereka berjuang dalam kelompok
yang membuat bahasa dan juga budaya masih kuat sampai sekarang. Wajah
dan gaya berpakaian sangat khas, juga potongan rambut dengan poni lurus
menancap. Berada di angkutan kota atau pertokoan Kalimantan, tak ubahnya
seperti di pecinan Medan.

Bisnis di Medan, tak bisa dilepaskan dari pengaruh Tionghoa ke kota ini.
Bila berbicara Tionghoa di Medan tak lepas dari riwayat Tjong A Fie.
Bernama asli Tjong Fung Nam ini adalah pengusaha, bankir dan kapitan
yang berasal dari Tiongkok dan sukses membangun bisnis besar di Sumatera
dan merupakan orang Tionghoa pertama yang dipercaya Sultan Deli, Makmun
Al Rasyid. Tjong adalah orang Hakka dan merintis bisnisnya mulai dari
nol, yaitu ketika dia tiba di Medan saat usianya 18 tahun bekerja di
toko milik kenalan kakaknya. Di akhir hayatnya Tjong meninggalkan bisnis
yang menggurita di bidang perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit,
pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api.

Pihak Belanda juga mengarahkan kaum Tionghoa untuk berdagang.
Belanda merasa, bahwa Tionghoa tak terlalu cocok bekerja sebagai kuli
kebun atau pekerja kasar lain. Hal ini berlangsung sampai jaman Orde
Baru. Namun karena ditekan luar biasa begitu, peran Tionghoa bagi
perekonomian menjadi sangat besar. Tak salah kalau kemudian, minoritas
ini menguasai aset cukup besar di Indonesia, termasuk di Medan.

Kepercayaan adalah segalanya

“Perbedaan antara pendekatan bisnis orang Tionghoa Medan dan orang Barat ialah sing yong atau kepercayaan (trust).
Tionghoa Medan mengedepankan kepercayaan. Sementara pendekatan yang
dikembangkan ekonomi pasar bebas sekarang selalu dimulai dengan
kontrak,” kata Jhon Tafbu Ritonga, pengamat ekonomi dan bisnis dari
Universitas Sumatera Utara, Medan. Menurut Jhon, pengusaha Tionghoa
Medan biasanya berprinsip: ada kepercayaan, bisnis akan jalan. Sedangkan
bisnis Barat dan orang Indonesia umumnya adalah ada kontrak, barang
baru bisa dikirim.

Anton C.T., pengusaha muda asal Medan dan pemilik kelompok usaha
properti Grup Kota Baru membenarkannya. Dicontohkan Anton, ketika ia
ingin membeli mobil BMW, ia cukup menelepon. Keesokan pagi, mobil pesanan sudah terparkir di halaman rumahnya. Urusan administrasi menyusul.

Faktor kepercayaan merupakan hal yang paling mutlak. Untuk
mendapatkan kepercayaan, harus punya kejujuran. Sekali tidak jujur,
bakal habis.”Apalagi, jaringan pengusaha Medan hanya itu-itu,” tutur
pengusaha ini. Bila kepercayaan sudah terbangun, bisnis pun akan menjadi
lebih mudah. Tak harus melalui kontrak resmi, bisa secara lisan saja
atau via telepon.

Di ranah bisnis di tanah air, selama ini pengusaha Tionghoa Medan
memang dikenal punya cara-cara bisnis yang unik. Agak berbeda dari kaum
keturunan Tionghoa dari daerah lain. Tak hanya soal komitmen terhadap
nilai kepercayaan, tetapi juga keuletan dan kegigihan serta keberanian
menghadapi risiko bisnis.

Ini bisa dilihat dari kesuksesan sejumlah pengusaha besar asal Medan.
Banyak dari mereka yang berangkat dari nol dengan modal utama kerja
keras. Saripin Taidi, pemilik Grup Probesco (distributor alat-alat
berat) yang dari Medan, mengatakan bahwa pengusaha asal Medan rata-rata
berani mengambil risiko terencana. Kewirausahaan mereka cukup tinggi.
Menurut Saripin, di Jakarta banyak orang Medan yang sukses merintis
bisnis dari nol, bukan warisan orang tua.

Bila disimak lagi, salah satu keunggulan pengusaha Medan ialah
kemampuan mereka dalam membangun jaringan. Itu memungkinkan sesama
pengusaha berhubungan langsung, tak perlu perantara. Tidak perlu dana cash
terlalu banyak karena sudah ada kepercayaan. Hanya saja, sikap
pragmatis dan tanpa basa-basi , sering memunculkan kesan pengusaha Medan
cenderung kasar dan keras. Tapi mereka memang sangat efisien.

Contoh menarik dilakukan pemilik Olagafood ketika masuk
industri mi instan. Bisnis mi instan merupakan bisnis yang padat modal
di awal. Hanya pemain besar yang bisa masuk (Indofood, Orang Tua, Wings, Sentrafood/Medco). Pendiri Olagafood
yang dari Medan ini punya cara sendiri yang unik. Karena modal awal
tidak terlalu besar, mereka memilih menggunakan mesin-mesin bekas yang
dibeli dari pabrik mi instan Nestle di Medan. Nestle memang pernah punya bisnis mi instan dengan pabrik di Medan, tapi karena tak sukses, mesin-mesinnya dijual.

Strategi permodalan yang efisien, ditambah ketepatan dalam membidik
segmen pasar dan strategi harga yang lebih rendah, penetrasi Alhamie, nama produk mi instan yang diambil dari potongan kata: Alhamdulillah di wilayah Sumatera dan Indonesia tergolong sukses dan kompetitif dengan Sarimi, Supermie (Indofood) dan merek-merek lain.

Bila kita mau menulis panjang lebar, banyak Tionghoa Medan yang
sangat berhasil di bisnisnya. Meski isu suap diarahkan kepada mereka,
namun mereka sukses secara nasional. Grup Raja Garuda Mas, milik
Soekanto Tanoto (marga Tan) yang dari Medan adalah konglomerasi besar di
Indonesia. Rajali Chuwardi, pemilik produsen sirup markisa merek Pohon
Pinang, juga berasal dari Medan. Begitu juga Wirnardi Lie, CEO Trophy Tour & Travel yang juga pemilik maskapai Jatayu Air. Produk-produk seperti minyak goreng Tropical dan Sania, sabun Shinzui dan Harmony, sirup Sarang Tawon serta kopi instan Indocafe adalah produk dari Medan.

Mereka memang bukan pemain perdana, melainkan pemain susulan yang
berusaha menguasai pasar dengan pelan dan menggerogoti kue para pemimpin
pasar, dan ternyata sukses. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37274

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :