KabariNews – Untuk menuju Indonesia Sejahtera tidak cukup dengan hanya pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara seperti sandang, pangan, dan papan. Diperlukan kemudahan berbagai aspek pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, lalu perlindungan hak-hak dan jaminan kelangsungan hidup bagi warga negara bisa terpenuhi . Namun di balik itu semua ada instrumen penting yang tidak boleh diabaikan, yakni rasa kesetiakawanan sosial.

Rasa kesetiakawanan sosial merupakan bentuk indogen yang ada pada diri manusia yang berkaitan dengan moral yang harus ditanamkan pada setiap warga negara Indonesia. Peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial yang diperingati setiap tanggal 20 Desember, hanya menjadi salah satu alat pengingat untuk menggerakan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial. Namun yang terpenting menanamkan rasa kesetiakawanan sosial sejak usia dini hingga menjadi sebuah kebutuhan dan menjadi kesadaran diri akan pentingnya nilai-nilai kesetiakawanan sosial.

Jika kesadaran akan rasa kesetiakawanan sosial tertanam, akan timbul jiwa semangat kebersamaan, kegotong royongan, rela berkorban tanpa pamrih atau peduli akan tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang harus dikembangkan dan didayagunakan dalam kehidupan berbangsa. Kemudian hal ini akan menjadi jalinan yang membudaya sehingga kehidupan sosial masyarakat akan menjadi selaras atau harmois.

“Ini merupakan kepribadian bangsa kita yang sudah membudaya sejak dulu kala. Jangan tinggalkan itu! Dan selalu saya tanamkan pada anak didik saya”, kata Soenaryo, guru Sekolah Dasar Desa Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang.

Pada saat ini, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kesejahteraan sosial yang meliputi ketunaan, kemiskinan, keterlantaran, keterpencilan, dan bencana. Memang pemerintah terus berupaya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Namun itu tidak cukup, karena pemerintah memiliki kemampuan terbatas, maka diperlukan peran serta semua lapisan masyarakat.

Berkaitan dengan itu, diperlukan gerakan kepedulian dan berbagi, dari dan oleh masyarakat, baik secara individu maupun bersama-sama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, kekeluargaan, gotong-royong, dan kebersamaan yang tersusun, terarah, dan berkelanjutan untuk menuju Indonesia sejahtera.

“Sebutlah ini panggilan hati untuk membantu sesama. Saya ingat, kala dulu orang tua saya meninggal karena bencana alam dan saya dulu ditolong oleh para relawan. Sekarang saya menjadi relawan karena panggilan hati,” ungkap Mohamad Gofur, anggota relawan Gimbal Alas, Probolinggo.

Sementara itu, menurut pemerhati sosial dari Yayasan Sadar Hati Malang, Bebeng Wahyudi mengatakan, prinsip nilai-nilai kesetiakawanan sosial hendaknya terus berkelanjutan menjadi satu bentuk satu kesatuan lingkungan sosial sehingga bisa mengatakan “No Day Without Soladarity” dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran mayarakat dan tanggung jawab sosial masyarakat.

“Karena ini semua saling terkait, disisi lain membutuhkan dan disisi lainnya dibutuhkan. Hal itu bisa terbalik, yang dibutuhkan bisa menjadi yang membutuhkan”, ujar Bebeng Wahyudi.

Saat ini, di berbagai wilayah di Indonesia terjadi bencana alam. Rasa kepedulian dan rasa simpatik dari masyarakat pun terus berlanjut. Hal itu menunjukan rasa kesetiakawanan sosial masih tinggi dan melekat dalam diri pribadi masyarakat. Selain itu, sebagai rasa tanggung jawab sosial yang kemudian akan menjadi bentuk edukasi bagi generasi selanjutnya. Dan budaya ini, menjadi unsur kekuatan bangsa. (Yanuar/foto :Yan-Kemensos)