11 tahun sudah kerusuhan Mei berlalu. Hari itu Jakarta seolah dilanda angkara murka. Berdarah-darah. Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat 288 korban meninggal dan ribuan rumah serta toko rusak terbakar. Mei 1998 benar-benar menjadi sejarah kelam bangsa ini. Selain Soeharto sebagai tokoh sentral, ada dua tokoh lain yang memegang peran cukup penting dalam konstelasi politik saat Mei 1998 itu. Mereka adalah Menhakam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto.

Sejarah mencatat, militer menjadi aktor utama tumbangnya orde lama. Sehingga kemungkinan militer mengambil ‘kembali’ kekuasaan seperti yang terjadi pada dekade  tahun 1960-an cukup terbuka. Jika itu terjadi, saat itu hanya Wiranto atau Prabowo yang bisa melakukannya.

Termasuk Putra Terbaik TNI

Wiranto

Wiranto dan Prabowo termasuk prajurit terbaik yang pernah dilahirkan di Lembah Tidar. Wiranto adalah lulusan Akademi Militer tahun 1968. Menurut salah satu teman sengkatannya, meski bukan lulusan terbaik, Wiranto ditunjuk oleh teman-teman seangkatan sebagai ‘kepala suku’ nya angkatan 68.

Wiranto memulai karir militer setelah lulus Akmil dengan pangkat Letnan Dua, mengikuti berbagai pendidikan  seperti pendidikan pengembangan spesialisasi Sussar Para (1968), Susjur Dasar Perwira Intelejen (1972) dan Suspa Binsatlat (1977).

Wiranto juga meraih predikat siswa terbaik dalam berbagai kursus, pendidikan, atau pengembangan spesialisasi yang diikutinya, yakni Susscarcab Infantri (1969), Suslapa Infantri (1976), dan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI AD (1984) serta Lemhanas (1995).

Pada akhir 1989 hingga 1993, Wiranto dengan pangkat Kolonel menjadi Ajudan Presiden Soeharto. Posisi ini ketika itu dianggap posisi ‘penting’ sebelum melompat ke posisi strategis lainnya. Kolonel Wiranto mengemban tugas ini selama kurang lebih empat tahun. Suatu masa jabatan Ajudan Presiden yang relatif lama.

Selepas menjadi ajudan, karir militer Wiranto mulai menanjak. Tahun 1993 dia ditunjuk menjadi Kasdam Jaya. Lalu tahun berikutnya menjadi Panglima Kodam Jaya dengan pangkat Mayor Jenderal selama dua tahun. Kemudian atas prestasinya

Wiranto dipromosikan menjadi Panglima Kostrad pada tahun 1996. Saat menjadi Panglima Kostrad  Wiranto berhasil memukau Soharto dengan kesuksesannya memimpin Latihan Gabungan ABRI tahun 1996.

Dari sini karirnya terus melejit, jabatan Kepala Staf TNI-AD direngkuhnya pada tahun 1997 dengan pangkat Letnan Jenderal. Tak perlu lama-lama meraih posisi nomor satu di ABRI, Presiden Soeharto mempercayai dia menjadi pucuk pimpinan TNI dan melantiknya menjadi Panglima ABRI dengan pangkat empat bintang di pundak awal tahun 1998.

Prabowo

Setamat SMA di London, Inggris, Prabowo sebetulnya diterima di tiga fakultas terkemuka Amerika.  Tapi dia memilih berangkat ke Magelang untuk menjadi taruna ABRI. Lulus Akabri Angkatan Darat tahun 1974, Prabowo pernah ditugaskan di Timor-Timur. Selama bertugas sebagai prajurit tempur di Timor-Timur, Prabowo  mencatat berbagai prestasi, salah satunya ketika pasukannya berhasil menembak Presiden Fretilin Nicolao Lobato dalam sebuah operasi khusus di Timor Timur pada 1976- 1978. Tahun 1981 Prabowo pernah mengikuti kursus Special Forces Officer Course, di Fort Benning U.S.A.

Karirnya mulai bersinar saat diangkat menjadi Wakil Komandan Kopassus tahun 1995. Setahun kemudian mantan menantu Soeharto ini diangkat menjadi Komandan Kopassus dengan bintang satu di pundak pada usia relatif muda, 44 tahun.

Setahun kemudian masih dengan jabatan yang sama, Prabowo meraih pangkat Mayor Jenderal. Saat itulah sebutan Komandan Kopassus menjadi Komandan Jenderal. Setelah dua tahun menjabat, karirnya semakin melesat. Dia dipercaya Soeharto untuk menduduki posisi Pangkostrad dengan tiga bintang di pundak. Dari lulusan angkatan 74, Prabowo  menjadi satu-satunya perwira yang telah meraih pangkat Letnan Jenderal.

Tapi tahun 1998 rupanya menjadi akhir karir militernya. Setelah melalui eskalasi politik yang memanas yang terjadi saat itu, Prabowo dicopot dari jabatan Pangkostrad dan diparkir sebagai Komandan Sekolah Komando AD di Bandung. Bahkan tahun 1999 dia resmi dipecat dari militer aktif.

Rivalitas Wiranto-Prabowo 

Ketika itu para petinggi militer membantah bahwa terjadi rivalitas diantara keduanya. Tapi fakta menyiratkan telah terjadi ketegangan hubungan antara Wiranto dan Prabowo. Hubungan keduanya memang dikabarkan memburuk  terutama menjelang lengsernya Soeharto.

Dalam buku “Detik-Detik Yang Menentukan” yang ditulis mantan Presiden BJ Habibie disebutkan, pada Jumat 22 Mei 1998 sesudah pencopotan dirinya yang juga direstui Wiranto, Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto datang Istana, namun sebelum masuk dia dicegah oleh Dan Paspampres Mayjen Endriartono Sutarto. “Maaf jenderal,semua perwira harus menanggalkan senjata sebelum bertemu Presiden”pinta Endriartono. Prabowo menahan perasaan sambil melepas pistolnya, dia pun menemui Presiden BJ Habibie di ruang tamu Wisma Negara. Kemudian terjadilah dialog antara Habibie dan Prabowo. Dari sana dikabarkan, Prabowo mempertanyakan pencopotan dirinya.

Dalam buku “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” yang ditulis Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, Habibie pernah merasa kuatir akan terjadi sesuatu setelah dia mencopot Prabowo.

Ada yang menyebut persaingan keduanya mencuat sejak 1997, dimana ketika itu Wiranto menjabat Kepala Ataf Angkatan Darat sedangkan Prabowo sebagai Dan Kopassus. Ketika Wiranto menjabat Pangab, ada beberapa usulanPrabowo yang dimentahkannya. Misalnya Prabowo ingin Kopassus mempunyai pasukan tank dan penerbang. Wiranto, seperti dalam bukunya “Bersaksi di Tengah Badai” tahun 2003 mengatakan, jika Kopassus punya tank dan pesawat, pasukan ini akan kehilangan kekhususannya. Soal tank, biarlah pasukan kavaleri yang memilikinya, sedangkan pesawat, itu urusan Penerbad. Wiranto sendiri tak pernah mengakui adanya rivalitas antara dirinya dengan Prabowo.

Misalnya, Wiranto setuju ketika Prabowo yang relatif sangat muda, 46 tahun, sudah berbintang dua, dipromosikan menjadi Pangkostrad dengan pangkat Letjen. Padahal waktu itu masih banyak rekan seangkatan Prabowo berpangkat Kolonel bahkan mungkin Letkol.

Ketika penculikan mahasiswa sekitar Maret-April 1998 terjadi, nama Pangkostrad Letjen Prabowo  dan Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR ikut terseret. Jenderal Wiranto kemudian mengeluarkan telegram No. STR/441/1998 tertanggal 20 Maret 1998 yang isinya instruksi untuk  membersihkan jajaran ABRI yang terlibat dan melepas para aktivis yang diculik.

Dalam buku itu Wiranto juga menulis pada awal Mei 1998, Pangab Jenderal Wiranto di depan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan Kepala Bais ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim menegur keras Letjen Prabowo. Menurut Wiranto, Prabowo mengaku penculikan itu atas inisiatifnya.

Menurut putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu, operasi intelijen yang berbuntut penculikan tersebut sengaja tidak dilaporkan ke atasannya, KSAD atau Pangab, karena dia tidak ingin merepotkan dan melibatkan Mabes ABRI. Lalu pada 16 Mei 1998 di Wisma Yani, Menteng, Jakarta, Jenderal Wiranto didampingi Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Assospol Kassospol Mayjen Mardiyanto menerima Ketua Umum NU Gus Dur.  Wiranto mengajak NU untuk membantu upaya ABRI memulihkan situasi nasional dan mencari solusi terbaik untuk bangsa dan negara. Seperti diberitakan, dalam pertemuan itu Gus Dur mendukung penuh langkah Soeharto untuk lengser.

Kemudian Wiranto menugaskan Mayjen Mardiyanto untukmembuat pernyataan pers, berisi lima butir. Tapi surat yang belum diteken Wiranto itu kemudian sampai ke tangan Letjen Prabowo yang kemudian disampaikan ke Pak Harto pada malam harinya. Banyak kalangan melihat bahwa ada dua kubu yang saling berhadapan di tubuh ABRI saat itu. Kubu Wiranto dan kubu Prabowo. Wiranto lalu mendapat laporan perbuatan Prabowo tersebut. Menurut Wiranto tindakan Prabowo membuat dirinya merasa diragukan kesetiaannya oleh Soeharto.  Dan pada 17 Mei pagi, Wiranto datang ke Cendana menemui Soeharto untuk mengklarifikasi laporan Prabowo. Menurut Wiranto Soeharto memang tampak kecewa. Wiranto lalu menyatakan siap mundur dari jabatan jika memang sudah tidak dipercaya lagi. Tapi dalam buku itu Wiranto menulis, Soeharto menolak permintaan pengunduran diri Wiranto.

Usai menemui Soeharto Wiranto berpapasan KSAD Jenderal Subagyo HS, Pangkostrad Letjen Prabowo dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. Disitulah Jenderal Wiranto menumpahkan kekesalannya kepada Letjen Prabowo, disaksikan Subagyo dan Sjafrie. Saat ditanya satu persatu maksud kedatangan mereka, Subagyo mengatakan dirinya dipanggil oleh Pak Harto, Prabowo mengaku datang atas inisiatifnya sendiri, sedangkan Sjafrie datang karena kebetulan lewat dan mampir. Tapi akhirnya Subagyo yang diterima resmi oleh Soeharto

Dalam pertemuan itu Pak Harto menyatakan ingin mengeluarkan Inpres tentang pemulihan keamanan dengan membentuk lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keselamatan Nasional. Soeharto bertanya kesiapan KSAD jika menerima perintah pemulihan keamanan. Tapi Subagyo menolak jika dia tidak ditunjuk sebagai panglima ABRI. Subagyo lalu menyarankan agar Wiranto sebagai Panglima ABRI yang menerima tugas ini supaya tidak menimbulkan dualisme komando. Perasaan Wiranto menjadi gundah menerima perlakuan Soeharto. Wiranto bertanya-tanya, apakah rasa percaya Soeharto terhadapnya telah berkurang? Tapi hanya Soeharto yang tahu jawabnya.

Tanggal 18 Mei sore hari, beberapa perwira tinggi menghadap Soeharto di Cendana, secara terpisah. Hadir Pangkostrad Letjen Prabowo, Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie, KSAD Jenderal Subagyo, dan Pangab Jenderal Wiranto.  Masing-masing melaporkan perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugas dan kewenangannya. Hari itu Wiranto menerima Inpres Inpres No.16/1998 tentang kewenangan dirinya memulihkan keamanan, mirip Supersemar yang diterima Soeharto dulu. Namun ketka itu Jenderal Wiranto mengaku tak serta serta melaksanakannya. Menurut Wiranto jika dilaksanakan maka pertumpahan darah bisa terjadi.

Hal ini juga dibicarakannya dengan Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono di Mabes TNI Merdeka Barat. “Kalau begitu saya ikut Jenderal” kata Yudhoyono. Sejak itulah momen-momen penting terus bergulir. Pak Harto lengser digantikan oleh Wapres BJ Habibie. Jenderal Wiranto tetap berada di posisinya, beberapa kali ia menolak pinangan menjadi calon wakil presiden, sedangkan Letjen Prabowo dimutasikan menjadi Dan Sesko ABRI di Bandung.  Beberapa waktu kemudian Wiranto menyetujui rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memberhentikan Letjen Prabowo dari dinas kemiliteran.

Sementara itu Prabowo juga sempat mengirim surat kepada BJ habibie saat menyusun kabinet agar Wiranto diganti oleh Letnan Jenderal Subagyo HS sebagai panglima TNI dan mengangkat dirinya menjadi sebagai kepala Staf  TNI AD. Surat itu diantar oleh koleganya Mayor  Jenderal Kivlan Zein. Bahkan seolah untuk memperkuat surat itu, Prabowo meminta restu dari Jenderal Besar (Purn) A.H. Nasution.

Prabowo tak membantah hal ini dalam wawancara di acara “Kick Andy”. Tapi kenyataannya, Habibie tetap menunjuk Wiranto. Sikap Prabowo mungkin didasari atas janji BJ Habibie yang akan mengangkatnya menjadi panglima TNI jika Habibie menjadi presiden. Ketika diwawancara AsiaWeek, Prabowo  mengatakan Habibie pernah menjanjikan dirinya menjadi panglima TNI.

Dalam bukunya Habibie menulis bahwa dirinya meminta Wiranto untuk mencopot Prabowo, sementara dalam buku “Jejak Perlawanan Begawan Pejuang” yang ditulis Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, ditulis bahwa yang
meminta Prabowo dicopot adalah Soeharto. Prabowo mengaku menanyakan langsung perihal pencopotan dirinya kepada Habibie, dan Habibie mengatakan atas permintaan Soeharto, mertua Prabowo.

Sementara dalam buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” yang ditulis Fadli Zon, sahabat dekat Prabowo sekaligus petinggi Partai Gerindra, Di halaman 36 Fadli Zon menulis, “…Sementara Wiranto cenderung tidak mau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. Ditanya siapa yang harus bertanggung jawab dalam penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto menjawab bahwa itu adalah tanggung jawab orang yang menggerakkan demonstrasi brutal. Ia jugatak mau disalahkan dalam kerusuhan Mei 1998 karena semua kendali operasional pengendalian huru-hara bukan di tangannya sebagai Panglima ABRI.”

Buku itu juga mengkritisi soal  kepergian Wiranto ke kota Malang saat keadaan Jakarta  sedang genting. Menurut penuturan Prabowo, ketika itu Prabowo meminta agar Wiranto jangan meninggalkan Jakarta. Kabarnya Prabowo berkali-kali menghubungi ponsel Wiranto tak tidak dijawab. Oleh kubu Prabowo seperti yang ditulis dalam buku “Politik Huru-hara Mei 1998”, tindakan Wiranto dianggap sebagai pembiaran atau sengaja mengosongkan pasukan di Jakarta.

Fadli zon juga mengutip pernyataan Mayor Jenderal Kivlan Zein yang mengatakan Wiranto malah melarang menurunkan pasukan saat keadaan Jakarta sedang
rusuh-rusuhnya. Wiranto sendiri  membantah menerima telpon dari Prabowo dan bahkan balik mengatakan bahwa kepergiannya ke Malang justru atas saran Prabowo. Wiranto juga mengatakan jika Prabowo maenghubunginya berkali-kali, pasti datanya tercatat di sekretaris atau ajudan. (berbagai sumber)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32949 

Untuk melihat Berita Indonesia / Khusus lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini