KIARAKebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional mengarah pada praktek liberalisasi dan mendiskriminasi nelayan tradisional. Di satu sisi pihak asing diberi porsi leluasa, sementara di sisi lain nelayan terus dikebiri hak-hak konstitusionalnya. Ironisnya, praktek ini terjadi sudah sejak kebijakan nasional dirumuskan.

“Kebijakan pengelolaan sumber daya laut sudah kebablasan campur tangan asing. Sebaliknya, implementasi program perlindungan dan pemberdayaan nelayan hanya basa-basi dan menciptakan relasi ketidakadilan ala kolonial: buruh-majikan (pemilik kapal/tuan tanah dengan nelayan tak berkapal/pembudidaya gurem). Contohnya demfarm dan 1.000 kapal Inka Mina,” kata Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam siaran persnya (7/4).

Pusat Data dan Informasi KIARA (April 2014) mencatat 2 fakta campur tangan asing paling mencolok: pertama, asing diberi keleluasaan untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya di dalam Pasal 26A ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Padahal sudah ada koreksi dari Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bersama dengan LIPI sebagai institusi pelaksana membebani keuangan Negara dengan berhutang sebesar USD 47,38 atau setara dengan Rp. 534,162 Miliar kepada Bank Dunia atas nama Program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/Coremap) berlaku sejak Juli 2014-Maret 2019. Padahal, BPK sudah menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang Tahun 2011 s.d Semester 2012 pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa program tidak efektif/gagal dan terjadi banyak kebocoran dana.

Berkaca pada kedua fakta di atas, tambah Halim, jelas bahwa amanah UUD 1945 dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan diselewengkan oleh kolaborasi oknum birokrasi dan lembaga ilmu pengetahuan. Karena dengan semangat gotong royong berbasis kearifan lokal, kolaborasi pemerintah dan masyarakat nelayan berbasis konstitusi, dan bebas hutanglah, kekayaan laut yang dimiliki bangsa Indonesia dapat menghadirkan kesejahteraan nelayan. Sebaliknya, menempatkan nelayan dan perempuan nelayan sebagai turis di laut Nusantara akan berakibat pada konflik. (1009)

Untuk share artikel ini klik www.kabariNews.com/?62836

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

th_Alan180x180copy

 

 

 

 

Kabaristore150x100-3