Menjadi sandera perompak Somalia pernah dialami oleh Aep Saepudin, asal Bandung. Tidak tanggung-tanggung, Aep bersama 32 awak kapal Win Far 161 asal Taiwan disandera selama 10 bulan. 6 April 2009 sampai 22 Februari 2010. Mereka baru bebas setelah pemilik kapal membayar uang tebusan sebanyak 6 Milyar rupiah atau sekitar 700 ribu US dollar.

Aep bekerja sebagai chief engine di kapal itu. Ada 6 warga Indonesia selain Aep. Selebihnya warga Filipina, Cina, dan Taiwan. Win Far adalah kapal pengangkut ikan tuna. Mereka berangkat dari Cape Town Afrika Selatan pada September 2008.

Pada tanggal 5 April 2009 atau satu hari sebelum dibajak, radar Win Far 161 menangkap ada pergerakan sebuah kapal yang tidak diketahui. Sudah 3 hari kapal asing itu menguntit mereka. Radiusnya sekitar 500 mil dari Win Far. Kebetulan Aep sedang bertugas jaga. Pada 6 April 2009, kapal Win Far sedang berada di perairan Republik Seychelles, sebuah negara kepulauan yang berjarak 170 mil dari perairan Somalia.

“Sekitar pukul 6 pagi kami melihat kapal berbendera Inggris. Kapalnya lumayan besar dan mewah,” kata Aep. Dari buritannya, keluar dua speedboat yang masing-masing berisi enam orang. Speedboat itu mendekati Win Far. Namun awak kapal Win Far tidak menaruh curiga.

“Tiba-tiba tanpa peringatan, salah satu orang di speedboat menembakkan RPG (roket anti tank yang diluncurkan dari pundak) kearah radar kapal. Mereka juga menembakkan senapan mesin ke udara. Suasana menjadi gaduh dan panik, “ kata Aep. Orang-orang berkulit hitam dengan berbahasa Inggris berteriak-teriak agar kapal berhenti. Orang yang berada di speedboat langsung naik ke kapal menggunakan tangga kecil.

Seluruh awak kapal dikumpulkan di dek ruang penyimpanan ikan yang berukuran 8x 8 m. Para perompak bersenjata lengkap. Menurut Aep, mereka memang tidak mengalami kekerasan fisik. Tapi kadang para perompak itu sangat galak. “Parahnya mereka selalu mengacung-ngacungkan senjata ke muka kami, “ katanya.

Para perompak itu membawa mereka ke perairan Somalia. Di sana mereka membuang sauh agak jauh dari pantai. Tak terlalu lama, mereka mendengar suara wanita dan anak-anak memasuki kapal. Tak disangka mereka bersenjata lengkap. Kapal itu dijarah.

Aep lalu menggambarkan kondisi hidup 32 awak kapal. Mereka semua dihela ke geladak. “Kami tidur bersama bom. Ada mortir, C4, disimpan di geladak bersama 32 kru. Para perompak memegang remote control dan detonator. Kalau ada pasukan khusus datang, mereka siap bunuh diri bersama kami,” kata Aep.

Di dek bawah itu mereka tidur beralaskan kardus dan beratapkan langit. Akhirnya mereka memakai terpal untuk tenda. “Kalau siang panasnya bukan main. Kalau malam dinginnya luar biasa, lanjutnya. Para perompak tidak memperbolehkan awak kapal untuk meninggalkan dek. Jadi buang air besar dan kecil dilakukan di dek itu. Mereka tampung di ember.

Selama disekap, mereka hanya diberi jatah makan sehari sekali, yaitu saat siang. Para perompak memberi beras di karung-karung bertuliskan UNHCR ( United Nations High Commissioner for Refugees – badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk urusan pengungsi) Beras itu adalah jatah PBB untuk pengungsi Somalia. Beras itu sangat jelek mutunya, sehingga mereka harus menyortirnya.

Untuk minum, tak kalah menyedihkan. Para sandera terpaksa harus membuat sebuah alat saring untuk membuat air minum. Air laut disaring menjadi air tawar agar layak minum. Satu ember air laut hanya jadi segelas air tawar. Lantas, tiga sandera meninggal satu persatu. Satu orang dari Indonesia lainnya Cina. Mereka meninggal karena penyakit beri-beri.

“Hampir sepuluh bulan kami disandera. Tak ada tanda-tanda akan dibebaskan. Kami mulai dihantui kekhawatiran. Tak ada yang bisa dilakukan selain melihat mereka mati,” lanjut pemuda yang kini berusia 24 tahun ini.

Pada 27 Agustus 2009, Angkatan Laut Amerika Serikat melaporkan, perompak Somalia menggunakan kapal Win Far 161 yang sedang dibajak, sebagai tameng untuk membajak kapal lain. Salah satunya, kapal kargo berbendera AS, Maersk Alabama. Pada 11 April 2009, Maersk Alabama yang merupakan kapal kargo menuju Irak dibebaskan oleh kapal USS Bainbridge. Namun kapal Amerika Serikat ini tidak menyelamatkan para sandera di Win Far 161.

Tak lama, semua awak kapal Win Far terlihat gembira, saat diumumkan bahwa uang tebusan telah diberikan. Uang tebusan tidak diantar kapal. ” Harus tunai dan dibawa pakai kapsul,” kata Aep. Diceritakan dia, kapsul tersebut diterbangkan pesawat dan diterjunkan di atas kapal yang dibajak. “Yang mengambil adalah para sandera, kami juga yang menghitung jumlah uang itu,” kata Aep.

Saat itu, uang dalam kapsul dibawa dengan pesawat Cessna yang disewa Taiwan dari Kenya. Jumlahnya 700 ribu US dolar, jauh lebih rendah dari tuntutan awal yakni 9 juta US dollar. Pada tanggall 22 Februari mereka dijemput oleh Angkatan Laut Cina.

Untuk share artikel ini
klik www.KabariNews.com/?36629

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :