Status monarki Yogyakarta dalam konstitusi RI yang dulu ‘adem ayem’
mendadak diperdebatkan. Bermula dari pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebelum membuka rapat kabinet terbatas di Jakarta, 26 November
2010.

Saat itu Presiden mengatakan sistem monarki tidak boleh bertabrakan
dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi. Pernyataan ini dikemukakan
sebelum rencana Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta diserahkan ke DPR untuk disahkan. Belakangan, karena menuai kontroversi RUU itu akhirnya ditunda penyerahannya.

Poin yang menjadi pangkal kekisruhan adalah keinginan pemerintah
pusat, bahwa Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai penyelenggara
pemerintahan dipilih oleh rakyat, bukan ditetapkan.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan
rumusan yang diambil pemerintah berpijak pada tiga hal, yakni keberadaan
Yogyakarta dalam lingkup bingkai negara kesatuan, menghormati
keistimewaan Yogyakarta, serta menghargai asas demokratisasi seperti
diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.

Bahasa sederhananya, pemerintah tidak ingin jabatan Gubernur
Yogyakarta dijabat seumur hidup dan turun temurun sebagaimana tradisi
sistem monarki.

Pemerintah memahami status keistimewaan Yogyakarta, karenanya
pemerintah mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX
sebagai orang nomor satu dan tertinggi di Yogyakarta. “Tinggal formulasi
dan kewenangan masing-masing seperti apa, hal itu masih akan
dirumuskan,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada wartawan di
Jakarta, akhir November 2010.

Dalam RUU yang isinya sempat beredar ke
publik itu, pemerintah menginginkan antara lain pemilihan gubernur dan
wakil gubernur dilakukan secara langsung; pemisahan kekuasaan antara
lembaga penyelenggara politik dan pemerintahan dengan Kesultanan dan
Pakualaman; Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri
atas Pengageng (Kesultanan), Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

RUU tersebut juga memuat sejumlah hak
Pengageng antara lain, memberikan persetujuan atau penolakan terhadap
rancangan UU yang telah disetujui bersama oleh DPRD
Yogyakarta dan Gubernur; mendapatkan seluruh informasi mengenai
kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan;
mengusulkan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur; imunitas;
dan berhak atas keprotokoleran setingkat menteri.

Selain hak, RUU tersebut mengatur pula larangan bagi Pengageng, yakni Pengageng
dilarang menjadi pengurus dan anggota partai politik.

Penolakan Rakyat Yogya

Yogyakarta merupakan daerah dengan kultur yang kuat. Mereka sangat
percaya dengan pemimpinnya. Kebudayaan Yogyakarta sudah jauh terpelihara
sebelum republik ini berdiri.

Mereka memegang teguh adat istiadat dan sangat percaya dengan raja
mereka. Bahkan bagi sebagian masyakarakat Yoyakarta yang masih memegang
kuat tradisi, posisi Sri Sultan dianggap utusan Sang Gusti Allah yang
membimbing mereka.

Tak heran, ketika posisi raja mereka mulai diutak-atik terjadilah
gelombang protes. Mulai dari tukang becak, penjual jamu, tukang bakso,
hingga para akademisi, semua memprotes.

Mereka mendukung penuh posisi gubernur dan wakil gubernur yang melekat kepada Sri Sultan dan Sri Paku Alam.

Sri Sultan Hamengkubowono IX sendiri pernah menyatakan, jika
persoalan ini berlarut-larut, ia mengusulkan referendum kepada rakyat
untuk menentukan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.
Referendum ini didukung oleh sebagian besar warga Yogyakarta.

“Kalau sekiranya saya ini dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya saat ini, ya akan saya pertimbangkan kembali,” kata Sultan di Yogkarta, 27 November 2010.

Masyarakat Yogyakarta juga menolak terminologi monarki pemerintah,
karena monarki Yogyakarta adalah konstitusional. Sesuai status DIY sebagai daerah istimewa, tidak masalah gubernur DIY tidak dipilih langsung, melainkan ditetapkan oleh DPRD Provinsi DIY atau Pemerintah Pusat. Hal itu bukan berarti melanggar prinsip demokrasi karena Pasal 18A ayat 1 UUD 1945 menghargai kekhususan dan keragaman daerah.

Seperti halnya otonomi khusus Papua atau penerapan syariat Islam dan
pembentukan partai-partai lokal di Aceh. Seharusnya Yogyakarta sebagai
Daerah Istimewa juga memiliki keistimewaan yang sama dengan dearah
lain, dalam hal ini penetapan gubernur dan wakil gubernur yang
masing-masing otomatis dijabat oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam.
Demikian alasan para pendukung Sri Sultan dalam berbagai kesempatan.(yayat)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36049

Untuk
melihat artikel Khusus lainnya, Klik
di sini

Klik
di sini
untuk Forum Tanya Jawab


Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported
by :