Indonesia, negara berpenduduk 235 juta sedang mengalami
pertumbuhan ekonomi (dengan masyarakat yang masih kuat memegang
nilai-nilai agama) terbuka peluang untuk menawarkan sesuatu yang ‘mahal’
dengan karakter agama.

Yayasan-yayasan keagamaan di Indonesia (baik Islam maupun Kristen)
menjadi tulang punggung dalam menyediakan pendidikan di masa-masa awal
kemerdekaan. Berbasis pengajaran agama, sekolah-sekolah yang didirikan
juga menawarkan pendidikan rasional, berawal dengan semangat sosial.

Kecenderungan kegiatan berbasis agama yang mampu menghimpun dana
besar juga terjadi di sejumlah negara lain. Di Iran, misalnya, peran
ulama semakin meningkat sejalan dengan Revolusi Islam 1979. Revolusi
telah membuka pintu bagi ulama Iran untuk memasuki birokrasi pemerintah,
pendidikan, kesehatan dan beberapa hal penting dalam masyarakat. Mereka
mendirikan sekolah dan rumah sakit berbasis agama yang bersarana baik
dan kompetitif.

Di Indonesia, pengajaran berbasis agama (khususnya Islam) yang
intensif di lingkup keluarga serta membaiknya kondisi keuangan,
melahirkan kebutuhan pendidikan yang diyakini lebih baik untuk generasi
selanjutnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia (yang diperkirakan mencapai
6,5% untuk tahun 2011) sehingga banyak yayasan sosial keagamaan juga
‘naik tangga’ dengan memberikan pendidikan berbasis keagamaan berbiaya
tinggi.

Contoh pendidikan berbasis agama yang membesar di Indonesia adalah
Al-Azhar. Sekolah berbasis Islam ini bergengsi di Indonesia. Untuk yang
berbasis Kristen, Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur adalah contohnya. BPK Penabur sudah aktif bergelut di dunia pendidikan Kristen sejak tahun 1950 dan kini memiliki 62 cabang.

Diminati Kelas Menengah

Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam maka perkembangan
sekolah bermutu dan berbasis agama Islam mengalami perkembangan luar
biasa. Sekolah Al-Azhar didirikan oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar pada tahun 1963 merupakan salah satu pelopor sekolah Islam modern di Jakarta.

Berawal dari sekolah madrasah dengan satu kelas yang berisi 20 murid, kini YPI
Al-Azhar memiliki 103 sekolah di seluruh Indonesia. Dilengkapi dengan
fasilitas pendidikan lengkap dan tenaga pengajar berkualitas, YPI Al-Azhar mengembangkan pendidikan dengan 26.000 murid dari berbagai tingkatan mulai TK, SD hingga SMU. Al-Azhar juga memberi warna bagi pendidikan Indonesia sebagai sekolah pendidikan Islam yang modern dan bergengsi.

Daya tariknya adalah konsep pemantapan akidah atau keyakinan.
“Pemantapan akidah ini ditransfer kepada kurikulum pendidikan yang ada.
Kurikulum di sini dikenal dengan kurikulum nasional berbasis keimanan
dan ketaqwaan terhadap Allah,” kata Direktur Pendidikan Dasar dan
Menengah YPI Al Azhar, Cecep Kurnia Sogoz. Hal
ini rupanya menarik bagi masyarakat yang di kelilingi oleh sifat
hedonisme, materialisme, kekerasan dan pragmatisme.

Seminggu mereka berikan tujuh jam pelajaran bermuatan agama,
diantaranya kajian Al-Quran, bahasa Arab, pendidikan agama dan
pembangunan karakter. Ini melebihi apa yang diberikan oleh sekolah
negeri. Beberapa orang tua siswa menilai konsep pendidikan seperti ini
mampu menjawab sejumlah kekhawatiran mereka, meski harus mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit. Uang masuk dan uang pangkal di tahun pertama
sekitar Rp 25 juta. Sementara di tahun kedua siswa akan dikenakan uang
sekolah bulanan sekitar Rp 650.000. Biaya ini meliputi buku dan seragam
sekolah serta sejumlah kebutuhan lain. Biaya pendidikan ini terasa
tinggi jika melihat upah minimum regional Jakarta yang berkisar pada Rp
1,2 juta.

Model lain untuk sekolah berbasis agama adalah International Islamic Boarding School (IIBS)
di kawasan Cikarang, pinggiran Jakarta. Sekolah ini berbasis Islam yang
dilengkapi dengan asrama. Selain menekankan nilai-nilai Islam, sekolah
ini mempercepat proses pendidikan SMA menjadi dua tahun dari tiga tahun.

Untuk masuk SMA di sekolah ini, orang tua
harus merogoh rekeningnya sebesar Rp 90 juta untuk tahun pertama
sedangkan tahun kedua membayar uang sekolah sebesar Rp 5 juta per bulan.
Masih ada lagi tambahan biaya untuk kunjungan belajar ke luar negeri
selama satu bulan, sekitar Rp40 juta lebih. Namun biaya tampaknya bukan
masalah bagi sejumlah orang tua. “Saya menyukai hasilnya dan biaya bagi
kami tidak masalah,” kata Herman Sani, seorang pengusaha. Kini sekolah
itu memiliki 140 siswa yang menjalani sekolah dengan sistem asrama. Dari
jumlah itu 40 persen berasal dari luar Jawa.

Letak sekolah dengan fasilitas berasrama ini umumnya berada di luar
Jakarta dan setidaknya terdapat tiga hingga empat sekolah berasrama
modern yang baru di sekitar Jakarta. Hampir sama dengan sekolah basis
agama yang lain. Sekolah ini memilih untuk mempekerjakan para tenaga
pengajar lulusan S2 dan S3. “Orang tua pada umumnya semakin lama semakin
sibuk sementara di asrama, siswa akan terawasi dan terbimbing selama 24
jam oleh pengawas dan tutor-tutor. Jadi aktivitasnya lebih terjamin” kata Prof Dr Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Islam di UIN Syarif Hidayatullah.

Sekolah berbasis agama biasanya mengintegrasikan agama Islam ke dalam
kegiatan sehari-hari. Namun jauh dari pandangan agama yang sempit dan
menghargai agama lainnya. Para orangtua juga diminta tetap menjaga
anak-anaknya dari pengaruh negatif yang memicu mereka pada kekerasan
agama. 

Beberapa murid dari sekolah yang berbasis agama Islam memang mulai
menunjukkan kemampuan akademiknya di tingkat nasional. Ini sama dengan
prestasi murid yang bersekolah di sekolah-sekolah Katolik asuhan ordo Yesuit atau ordo lainnya. Bisa dibandingkan juga dengan murid dari BPK Penabur yang prestasi akademiknya melaju ke tingkat internasional.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai, sekolah berbasis agama
bisa bertahan karena konsistensi dalam pendidikan berkualitas yang
bersanding dengan pendidikan moral keagamaan. “Golongan mapan di kota
besar sangat menginginkan anak-anak bersekolah dengan pendidikan
berkualitas dan basis agama yang kuat,” kata Darmaningtyas.

Dan Herman Sani, salah seorang yang mengirim tiga putranya ke IIBS,
mengaku bahwa sistem pendidikan yang ditawarkan sekolah anaknya
membantu mereka dalam mengembangkan pendidikan putra-putranya. Dia
melihat, karena kesibukan mereka sebagai orang tua maka anak bersekolah
di sekolah berbasis agama lebih bisa berkonsentrasi dan mandiri. “Dengan
arahan pembimbing di sana anak-anak bisa lebih disiplin,” kata Herman
Sani.  (Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37263

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :