Nama Indonesia di mata Internasional saat ini tidak lagi dipandang sebelah mata.

Selain dari sisi politik dan ekonominya yang terus berkembang,
Indonesia juga telah menjadi salah satu “kiblat” masyarakat dunia untuk
hal pluralisme.Keberagaman suku dan agama di Tanah Air bukanlah
merupakan halangan bagi masyarakatnya untuk hidup rukun di negara yang
memiliki ribuan pulau di dalamnya.

Berbagai etnis dan budaya membaur jadi satu di lingkungan masyarakat
setempat. Apapun suku dan agamanya, mereka dapat hidup bersama, hingga
akhirnya segala perbedaan ini pun perlahan berubah menjadi satu kesatuan
membentuk sebuah keluarga dan menjadi masyarakat yang madani.

Demikian halnya dengan keberadaan etnis Tionghoa di Tanah Air. Sejak
ratusan tahun silam mereka pun hidup berdampingan di sekitar kita.
Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka pun telah banyak
berperan aktif akan kondisi Indonesia hingga saat ini.

Berawal dari kedatangan nenek moyang mereka di kepulauan Nusantara
ini, jejak-jejak itu hingga saat ini masih dapat dijumpai. Dan beranjak
dari tempat asalnya berabad-abad silam, masyarakat dunia telah lama
mengenal bahwa penduduk Negeri Tirai Bambu ini memiliki banyak keunggulan diantaranya adalah, sebagai dinasti tertua dan juga pandai berniaga.

Salah satu bukti kedatangan bangsa Tionghoa dapat di lihat di bumi
Serambi Mekah, Nangroe Aceh Darussalam, yaitu berupa lonceng raksasa.
Dibawa oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) sekitar abad ke-15, lonceng
raksasa dengan tinggi 1,5 meter dan lebar 1 meter ini adalah hadiah dari
Kaisar Yongle kepada Sultan Iskandar Muda sebagai tanda persahabatan.

Berdasarkan catatan sejarah, lonceng ini awalnya diletakkan di atas
kapal perang Sultan Iskandar Muda bernama Cakra Donya yang merupakan
kapal induk milik armada Aceh pada waktu itu. Karena ukurannya yang
sangat besar, bangsa Portugis pernah menyebutnya dengan nama Espanto del Mundo, atau Teror Dunia.

Lonceng ini selanjutnya diberi nama Lonceng Cakra Donya. Nama ini
diambil dari kapal perang tersebut. Cakra berarti kabar, dan Donya
artinya dunia, sehingga Lonceng Cakra Donya dapat diartikan sebagai Kabar Dunia.

Pada bagian atas lonceng ini terdapat aksara Tionghoa dan Arab. Namun
sayangnya, saat ini hanya aksara Tionghoa saja yang masih dapat
terbaca, yaitu “Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo” atau
(Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).
Sedangkan aksara Arab sudah tidak dapat lagi karena ditelan usia. Saat
ini lonceng tersebut merupakan salah satu simbol kebanggaan Kota Banda
Aceh.

Sebelum dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah
yang diletakkan di halaman museum sejak tahun 1915, lonceng ini awalnya
berada di dekat Masjid Agung Raya Baiturrahman Aceh Darussalam di
kompleks Istana Sultan Aceh.

Selain Lonceng Cakra Donya, masih banyak peninggalan bangsa Tionghoa
lainnya yang tersebar di seluruh Nusantara sebagai bukti kedatangan
mereka. Diantaranya
adalah Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong. Kelenteng ini juga merupakan
bukti persinggahan Laksamana Cheng Ho di daerah Simongan, sebelah
barat-daya kota Semarang.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36312

Untuk

melihat artikel Nusantara lainnya, Klik

di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :