Memerankan tokoh-tokoh besar sejarah Indonesia dalam film bukan lagi sebuah pekerjaan baru bagi seorang Lukman Sardi. Pada awal dekade ini, Lukman didaulat oleh Hanung Bramantyo untuk memerankan K.H. Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah. Tiga tahun kemudian, ia kembali diberi kepercayaan untuk memerankan seorang tokoh besar dalam perjalanan bangsa Indonesia sebagai Wakil Presiden RI pertama, Drs. Mohammad Hatta, dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka. Selain Hanung, ada juga sutradara Viva Westi yang pernah menunjuknya untuk menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Yusuf Ronodipuro dalam film besutannya yang berjudul Jendral Soedirman.

Sebagai K.H. Ahmad Dahlan di film Sang Pencerah (dok. MVP Pictures)

Film bernuansa sejarah sering kali berada di persimpangan antara fakta dan fiktif. Publik dan pengamat pun tak segan merespon fenomena tersebut. Menanggapi isu tentang kebenaran sejarah dan kebenaran film, Lukman mengatakan bahwa kebenaran tersebut hakikatnya bersifat relatif dari perspektif mana seorang memandangnya. “Film itu merupakan sebuah interpretasi. Bagaimana seorang Hanung menginterpretasikan sejarah Sultan Agung, tentunya bisa jadi berbeda dengan sutradara lain. Tetapi itu sebuah hal yang sah dalam sebuah film,” ujarnya merespon pro-kontra yang kerap muncul.

Potret Seorang Tumenggung Notoprodjo

Dalam film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta karya Hanung Bramantyo, Lukman mengambil peran sebagai Tumenggung Notoprodjo. Di samping melewati proses reading dan workshop yang lumrah dilakukan, ia melakukan riset yang lebih detil melalui proses membaca buku-buku dan berkonsultasi dengan beberapa narasumber.

Poster film Sultan Agung (dok. IMDb)

Tumenggung Notoprodjo dikisahkan sebagai paman Sultan Agung. Pada kesempatan wawancara dengan Kabari News di Los Angeles, Lukman mengatakan bahwa karakter yang diperankannya tersebut sebenarnya terinspirasi dari salah satu tokoh yang dekat dengan Sultan Agung, hanya saja namanya diubah dalam film ini untuk menghindari polemik di kalangan keturunan dan kerabat Kerajaan Mataram. Menurutnya, Notoprodjo merupakan seseorang yang sangat dekat dengan Sultan Agung tetapi di sisi lain ia memiliki perbedaan pendapat dengan Sang Raja. Aktor kelahiran Jakarta 47 tahun silam ini juga sempat berdiskusi dengan Hanung untuk mengetahui lebih jauh tentang visi yang akan dibawa oleh sang sutradara untuk tokoh kontroversial tersebut.

Sebagai Bung Hatta di film Soekarno (dok. MVP Pictures)

Film Sultan Agung menandakan kesekian kalinya Lukman berkolaborasi dengan sutradara Hanung Bramantyo. Ia menilai Hanung merupakan seorang sutradara yang dapat diajak berdiskusi. “Buat saya, Hanung adalah orang yang sangat brilliant dalam sisi membuat drama. Ia mempunyai kekuatan dalam membuat scene-scene dramatik yang sehingga dalam sebuah film itu menjadi sebuah kekuatan sekaligus mempunyai visi yang kuat dalam pencapaian film itu sendiri,” ujarnya menjelaskan.

Masa Depan Perfilman Indonesia…

Sebagai Ketua Komite Festival Film Indonesia (FFI), Lukman menilai perkembangan perfilman Indonesia sudah sangat baik secara kuantitas, terbukti dari hampir 200 judul film Indonesia yang dirilis di pasaran tahun ini. “Berbicara Festival Film Indonesia, tentu tujuannya untuk film yang berkualitas. Film berkualitas itu bukan hanya milik orang film tetapi bagaimana dari FFI ingin masyarakat memahami film yang berkualitas itu seperti apa,” ungkapnya kepada Kabari News. Ia lantas mencontohkan beberapa film Indonesia yang dimaksudnya, seperti Marlina, Sekala Niskala, Sultan Agung, dan Aruna Dan Lidahnya. Lebih jauh, peraih penghargaan FFI 2007 untuk Pemeran Pendukung Pria Terbaik tersebut berharap agar ke depan film Indonesia dapat terus berpacu untuk meningkatkan kualitasnya dan memberi warna pada industri perfilman dunia, terutama melalui potensi kekayaan narasi di Indonesia.

Lukman Sardi di teater Bunga Penutup Abad (dok. Wahyu Putro)
Lukman Sardi 2 (dok. Mooryati Soedibyo Cinema)

Putra Seorang Seniman Besar

Lukman juga dikenal sebagai putra tunggal dari violinis legendaris Idris Sardi. Pada saat baru memasuki dunia hiburan Tanah Air, ia mengaku hidup di bawah bayang-bayang ayahandanya tidaklah mudah dan cukup menjadi beban bagi dirinya. Ia pun tak jarang dibandingkan dengan sosok sang maestro biola. “Nama besar itu tidak bisa saya hilangkan. Ada hal-hal yang saya bisa terbantu (olehnya) tetapi juga ada hal-hal yang bisa memotivasi saya untuk menjadi lebih baik. Pada perjalanan saya saat ini, itu sudah tidak menjadi beban tetapi tugas saya tetap menjaga nama baik itu,” jelasnya.

Idris Sardi dan Lukman Sardi (dok. Pesona)

Sebagai seorang anak, Lukman menilai Idris Sardi merupakan sosok ayah yang keras. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa ajaran ayahandanya tentang komitmen, tanggung jawab, dan kedisplinan tersebut tidak saja bermanfaat, melainkan juga membuat dirinya tetap eksis di dunia perfilman Indonesia. Sebagai seniman, Idris Sardi juga meninggalkan pesan kepada putranya untuk selalu rendah hati dan tidak sombong karena ia berpandangan bahwa tidak ada yang nomor satu dalam bidang seni sebab interpretasi setiap orang yang berbeda-beda pada suatu karya.