Makan semur jengkol? Plis deh, baunya itu loh… demikian barangkali kata sebagian orang. Tapi jangan salah, makanan asli Indonesia yang terkenal menghasilkan bau khas ini tidak pernah kehilangan penggemar. Meski di jaman makanan ala cepat saji seperti sekarang.

Jengkol Sudah Bau Dari Pohon

Belum ada rujukan yang mengungkap secara persis bagaimana ceritanya makanan yang termasuk jenis polong-polongan (bean) ini mulai digemari masyarakat Indonesia.

Jengkol atau Jering atau Pithecollobium Jiringa atau Pithecollobium Labatum adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara. Kabarnya, di wilayah Jawa Barat jengkol seharinya dikonsumsi hingga 100 ton! Buah jengkol berupa polong dengan bentuk gepeng berbelit, berwarna lembayung tua. Kalau soal bau tak sedap, sebelum dimasak pun jengkol sudah menghasilkan bau tak sedap. Jadi memang sudah dari sononya.

Nah untuk menghilangkan bau tak sedap saat dimasak dan dimakan, jengkol harus direndam kemudian direbus, juga supaya biji jengkol menjadi lunak. Jengkol paling sering dihidangkan dengan cara disemur setelah sebelumnya dibelah dua dan ditumbuk-tumbuk hingga lebih gepeng.

Saat disantap, bau jengkol nyaris tidak tercium lagi, rasanya memang enak. Tapi bau tak sedapnya bukan sama sekali hilang, melainkan ‘berubah’. Orang yang sehabis makan jengkol biasanya air kecil dan air besarnya menjadi ‘bau jengkol’.

Kenapa itu bisa terjadi? Saat dicerna jengkol akan menyisakan zat yang disebut asam jengkolat (jencolid acid) yang dibuang ke ginjal. Asam jengkolat ini kemudian disalurkan melalui pembuangan dan menghasilkan bau tak sedap.

Semur jengkol banyak ditemui di warung-warung makan terutama warteg (Warung Tegal) dengan harga lumayan murah per porsinya. Kalau warteg di Jakarta, cukup tiga ribu rupiah sudah dapat lima atau enam buah biji jengkol dalam satu porsi semur.

Julukan Buat Si Jengkol

Semur jengkol identik pula dengan makanan kelas pinggiran. Memang, kecuali warteg atau rumah makan sederhana, jarang ada restoran yang menyediakan semur jengkol. Padahal percaya atau tidak, makanan ini
nyaris digemari oleh semua golongan. Pendeknya, semur jengkol tidak mengenal kasta.

Tapi kalau Anda tidak percaya, wajar, sebabnya banyak juga orang malu-malu mengakui dirinya penggemar jengkol. Takut dikira orang pinggiran. Saking pinggirannya si jengkol ini, ada beberapa plesetan untuk menyebutnya :

Rendang Kancing

Jika suatu kali ke warteg, dan orang di sebelah Anda memesan “Rendang Kancing”, jangan buru-buru heran. Rendang Kancing ini plesetan untuk menyebut semur jengkol. Entah ada semangat apa dibalik penyebutan itu,
tapi kata sebagian orang, ini adalah bentuk apresiasi untuk memposisikan jengkol setara dengan daging rendang yang mahal itu. Ada-ada saja.

Ati Maung

Kalau di daerah Jawa Barat, jengkol kerap diplesetkan sebagai “Ati Maung” (Hati Macan). Plesetan ini dapat diartikan dengan dua makna, seperti sebuah ledekan sekaligus sebuah kebanggaan. Siapa sih yang tidak bangga kalau makan dengan lauk Hati Macan? Tentu harganya mahal dan susah dicari. Tapi begitu tahu Hati Macan yang dimaksud adalah jengkol, kita jadi senyum-senyum sendiri. Dasar.

Jengki

Kalau plesetan yang satu ini, sering disebut anak-anak muda Jakarta. Entah apakah karena kata “jengkol” sudah teranalogi sebagai makanan kampung, maka supaya kedengaran gaya, diplesetkan menjadi jengki.  “Gue habis makan jengki Bro..”

Jadi bagaimana, masih malu-malu mengakui Anda penggemar jengkol?(yayat)