KabariNews – Dalam masa perkembangannya agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bangsa lain. Hal ini dikarenakan  Indonesia berada di jalur perdagangan dan pelayaran antara Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Timur. Banyak pedagang dari berbagai negara berlayar masuk ke wilayah Indonesia. Seiring makin berkembangnya hubungan perdagangan dan pelayaran, maka agama Islam pun mulai menyebar di Indonesia.

Pada abad ke-7 masehi agama islam yang lahir di jazirah Arab mulai menyebar di Indonesia melalui jalur perdagangan dan pelayaran yang dibawa oleh para pedagang dari bangsa Arab, Persia, dan India (Gujarat) yang sudah menganut agama islam lebih dulu, termasuk bangsa Tiongkok yang mulai menyebarkan agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15 di era dinasti Ming.

Tidak dipungkiri lagi bahwa masuknya agama islam ke Indonesia dibarengi dengan budaya dimana para pedagang dan para siar agama Islam berasal. Mereka (penyebar agama Islam-red) dalam menyiarkan agama Islam menggunakan budaya sebagai cara efektif untuk menyiarkan agama Islam, dimana budaya mereka berbaur dengan budaya lokal sehingga mudah diterima. Di dalam ajaran agama Islam sendiri tidak menentukan siapa dan dari mana asal pemeluknya dan di Islam mengajarkan bahwa manusia itu sama di mata Alloh sebagi Tuhannya.

Seperti pada abad ke-7 masehi, dengan menggunakan kearifan budaya, agama Islam pertama kali dapat diterima di pesisir Aceh Utara dan pengaruhnya semakin meluas dikalangan masyarakat hingga berujung berdirilah kerajaan Islam pertama di Indonesia dengan nama kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan pada tahun 1285.

Adalah Malaka, yang saat itu menjadi pusat perdagangan diwilayah kerajaan Samudera Pasai. Karena letaknya yang setrategis, Malaka ramai dikunjungi para pedagang dan Malaka menjadi pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara. Dan sejarah perkembangan Islam pun dimulai, penyebarannya semakin luas hingga ke Sumatera Selatan, Pulau Jawa, dan Kalimantan Barat.

Hingga pada abad ke-15, orang-orang Tiongkok mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, termasuk Laksamana Cheng Hoo. Berbeda dengan penjelajah dari Eropa yang saat itu memiliki semangat imperialis, Laksamana Cheng Hoo justru ingin menyebarkan pengaruh politiknya dan benar-benar ingin menyebarkan agama Islam serta mendorong perdagangan Tiongkok. Dalam penjelajahannya di Indonesia, Laksamana Cheng Hoo mengajarkan tata cara pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan serta perikanan kepada warga pribumi di Tuban dan Gresik, selain menyebarkan agama Islam. Banyak orang meyakini, bahwa Laksamana Cheng Hoo pernah berdakwah di Surabaya dihadapan ratusan orang. Disetiap tempat dimana Laksamana Cheng Hoo berdakwah, disitulah dibangun tempat ibadah bagi umat Islam.

Untuk menghormati perjuangan dan jasa serta semangat Laksaman Cheng Hoo dalam menyiarkan agama Islam, di Jawa Timur dibangunlah empat masjid dengan nama masjid Mohammad Cheng Hoo. Salah satunya yang berada di Surabaya dan tiga lainnya lagi berada di Pandaan, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi. Nah! Untuk itu, Kabari mencoba menggali sejarah berdirinya masjid Mohammad Cheng Hoo yang berada di Surabaya yang sarat akan makna.

Diatas Kabari telah mengupas sedikit sejarah perjalanan agama Islam dan perkembangannya di Indonesia sejak abad ke-7 samapi sampai abad ke-15 ketika bangsa Tiongkok mulai berdatangan ke Indonesia guna menyiarkan agama Islam secara aktif hingga keterkaitan antara seorang peyiar agama islam yang juga merupakan seorang laksamana dengan berdirinya masjid-masjid yang diberi nama masjid Mohammad Cheng Hoo Indonesia di Jawa Timur.

Secara khusus, kabari mengunjungi masjid Mohammad Cheng Hoo yang berada di Surabaya dan bertemu dengan nara sumber, Ustad Hariyono Ong, SHI. MEI. (Ong Kiem Shui), selaku Ketua Takmir masjid Mohammad Cheng Hoo Surabaya. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan Kabari, ustad Hariyono Ong menerima Kabari dengan senang hati dan mempersilahkan Kabari masuk ke dalam kantornya. Dengan diawali senyuman khasnya, ustad Hariyono Ong dengan terbuka menjelaskan pertanyaan yang diajukan Kabari.

Sebelum Kabari menuliskan hasil kunjungan untuk menggali lebih dalam tentang masjid Mohammad Cheng Hoo, Kabari akan memberikan informasi dari nara sumber terkait dengan nama Cheng Hoo diambil untuk menjadi nama masjid di Surabaya, sempat terjadi perdebatan di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa Timur, maupun di negara Tiongkok. Bahkan sempat dilakukan konfrensi internasional di negara Tiongkok mengenai sejarah dan profile dari Cheng Hoo. Akhirnya disepakati, nama Cheng Hoo dapat dipakai sebagai nama masjid di Indonesia berdasarkan dari penelitian sejarah dalam konfrensi tersebut. Maka itu, nama Mohammad cheng Hoo menjadi nama masjid di Indonesia.

Pada awalnya masjid Mohammad Cheng Hoo dibangun atas gagasan H.M.Y. Bambang Sujanto (Liu Min Yuan), saat itu sebagai Ketua Dewan Pendiri yayasan Haji Mohammad Cheng Hoo Indonesia dan teman-temannya  dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia-red). Pada tanggal 15 Oktober 2001 yang pada saat itu bertepatan dengan Isro Mi’roj hari besar agama Islam, dilakukan peletakan batu pertama sebagai tanda di mulailah pembangunan masjid mohammad Cheng Hoo surabaya. Dalam acara peletakan batu pertama dihadiri oleh sejumlah toko-tokoh Tionghoa surabaya, antara lain Liem Ou Yen (Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya-red), Bintoro Tanjung (Presiden Komisaris PT. Gudang Garam Tbk.), Henry J. Gunawan (Direktur PT. Surya Inti Permata Tbk.), dan Bingky Irawan (Ketua Makatin Jawa Timur) serta puluhan pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa.

Selain pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa, dalam kesempatan itu juga hadir tokoh-tokoh masyarakat Jawa Timur, antara lain Mochamad Noer (mantan gubernur Jawa Timur), Mayjen Pol. (Purn) Sumarsono beserta tokoh-tokoh masyarakat Surabaya.

Sedangkan rancangan masjid Mohammad Cheng Hoo Surabaya Ini, diilhami dari bentuk masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 996 masehi. Selanjutnya untuk pengembangan arsitekturnya dilakukan oleh Ir. Aziz Johan anggota PITI dari Bojonegoro, Jawa Timur yang didukung oleh tim teknis antara lain, HS. Willy Pangestu, Donny Asalim, Tony Bagyo serta Rahmat Kurnia dan pengurus PITI Jawa Timur serta dari yayasan Haji mohammad Cheng Hoo.

Untuk mewujudkan impiannya perlu sumber dana yang cukup besar. Namun karena sudah menjadi tekad untuk mewujudkan cita-citanya, meraka yang tergabung dalam kepanitian pembangunan masjid Mohhamad Cheng Hoo (dari PITI Surabaya, PITI Jawa Timur, dan yayasan Haji Mohammad Cheng Hoo-red) bahu-membahu bekerjasama untuk mewujudkan impian bersama. Dengan menerbitkan dan menjual buku Jus Amma yang berjudul “ Saudara Baru Jus Amma” yang diterjemahkan ke dalam tiga bahasa, terkumpulan dana sebesar Rp. 500 juta. Padahal dana yang yang dibutuhkan cukup besar hingga mencapai angka milyaran rupiah. Tak patah arang, mereka terus berupaya bergotong-royong untuk menghimpun dana, baik secara pribadi maupun dari sumbangan masyarakat. Dengan semangat kebersamaan, akhirnya dana yang dibutuhkan terpenuhi dan pembangunan masjid bisa di mulai. Total keseluruhan pembangunan masjid Mohammad Cheng Hoo Surabaya menelan biaya sebesar Rp. 3,3 milyar dan dibangun dengan menempati tanah seluas 3.070 meter persegi dengan luas bangunan masjid berukuran 21 x 11 meter.

Pembangunan masjidnya pun secara bertahap. Pada tanggal 13 Oktober 2002, pembangunan masjid tahap pertama dinyatakan selesai dan dapat dipergunakan untuk beribadah. Dan selanjutnya tinggal melakukan penyempurnaan pada tahap berikutnya. Dengan selesainya tahap pertama pembangunan masjid, atas dasar kesepakatan bersama antara PITI Jawa Timur dan yayasan Haji Mohammad Cheng Hoo, tanggal 13 Oktober dijadikan pula sebagai hari lahirnya yayasan Haji Mohammad Cheng Hoo.

Setelah tahap penyempurnaan selesai pada tanggal 28 Mei 2003, diremikannya masjid Mohammad Cheng Hoo Surabaya oleh Menteri Agama pada saat itu Said Agil Husain Al-Munawar. Dalam kesempatan itu, Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Tiongkok (pada saat itu, RRC-Republik Rakyat China-red) di Indonesia, Mao Ji Cong, kemudian Vice Consultant Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Craig L. Hall, dan Mochamad Noer, Basofi Sudirman serta undangan lainnya.

Secara keseluruhan bangunan masjid Mohammad Cheng Hoo Surabaya berukuran 21 x 11 meter, dengan bangunan utama berukuran 11 x 9 meter. Pada sisi kiri dan kanan bangunan utama, terdapat bangunan pendukung yang tempatnya lebih rendah dari bangunan utama. Setiap bangunan masjid ini memiliki arti tersendiri, misalnya ukuran bangunan utama yang memiliki panjang 11 meter menandakan bahwa Ka’bah saat pertama kali di bangun oleh Nabi Ibrahim AS memiliki panjang dan lebarnya 11 meter. Sedangkan ukuran lebar 9 meter pada bangunan utama masjid ini di ambil dari keberadaan Walisongo dalam melaksanaakan siar Islamdi tanah Jawa.

Arsitektur masjid Mohammad Cheng Hoo yang menyerupai model Kelenteng sengaja dibuat sebagai gagasan untuk menunjukan identitasnya sebagai muslim Tionghoa atau Islam Tiongkok di Indonesia dan untuk mengenang leluhur warga Tionghoa yang mayoritas beragama Budha. Selain itu, bagian atas bangunan utama pada masjid berbentuk pesegi delapan (pat kwa-dalam bahasa Tionghoa-red), mengartikan bahwa angka delapan dalam bahasa Tionghoa disebut fat yang berarti jaya atau keberuntungan yang mengambil risalah Nabi Muhammad SAW saat melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah di kejar-kejar oleh kaum Kafir quraish dan besembunyi dalam goa Tsur. Pada saat hendak masuk ke dalam goa tersebut Nabi terhalang oleh banyaknya sarang laba-laba. Kemudian Nabi Muhammad berdoa kepada Alloh SWT untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari kejaran kaum kafir quraish. Mujizat, dengan pertolongan dari Alloh SWT,  Nabi Muhammad dapat masuk ke dalam goa tanpa harus merusak sarang laba-laba. Akhirnya Nabi Muhammad selamat dari kejaran kaum kafir quraish yang hendak membunuhnya berkat pertolongan dari Alloh melalui sarang laba-laba tersebut.

Selanjutnya pada bagian depan bangunan utama terdapat ruangan yang dipergunakan oleh imam untuk memimpin sholat dan khotbah yang sengaja dibentuk seperti pintu gereja, ini melambangkan bahwa Islam mengakui dan menghormati adanya agama lain. Hal ini juga menunjukan bahwa Islam mencintai hidup damai, saling menghormati, dan tidak mencampuri kepercayaan orang lain.

Pada sisi kanan masjid terhadap relief Muhammad Cheng Hoo bersama armada kapalnya yang dipergunakan dalam mengarungi Samudera Hindia. Relief ini juga memiliki pesan kepada kaum muslim Tionghoa di Indonesia khususnya agar tidak risih dan sombong sebagai umat Islam.

Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya dikenal sebagai masjid pertama di Indonesia yang mempergunakan nama Muslim Tionghoa, dengan bangunan yang bernuansa etnik dan unik ini cukup menonjol dibandingkan dengan bagunan masjid-masjid di Indonesia pada umumnya. Dengan arsitektur khas Tiongkok yang didominasi dengan warna hijau, merah, dan kuning menambah khasanah kebudayaan di Indonesia.

Di komplek masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya dibangunlah sarana prasarana, seperti sekolah Taman Kanak-kanak (TK), sarana olah raga, kelas kursus bahasa mandarin dan kantin. Selain itu, terdapat outlet yang menyediakan souvenir khas masjid Muhammad Cheng Hoo sebagai kenang-kenangan.

Saat ini, masjid Cheng Hoo ramai dikunjungi umat Islam untuk menunaikan sholat, kegiatan pengajian, bhakti sosial, maupun yang hanya sekedar ingin tahu keunikan dari masjid ini. Selama bulan ramadhan takmir masjid setiap harinya menyediakan takjil dan makan secara gratis untuk berbuka puasa bagi 700 pengunjung yang menunaikan ibadah puasa serta sebagai penyalur zakat.

Masjid yang terletak di jalan Gading, Ketabang Genteng Surabaya ini, setiap harinya ramai dikunjungi wisatawan. Meraka (pengunjung-red) berasal dari dalam negeri maupun dari macanegara. Selain itu, keberadaan Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki manfaat sebagai sarana edukasi. (Kabari 1003, foto/video 1003)