Anak-anak jaman sekarang, banyak yang sudah fasih bermain playstation atau game
lainnya, tapi coba tengok, berapa anak yang mendalami kesenian
tradisional. Jumlah pasti masih segelintir. Termasuk anak-anak yang
menjalani hobi sebagai dalang wayang kulit, seperti Danan Wisnu Pratama
(9) ini. Bocah kelas empat SDN 19 Tebet
Timur ini adalah seorang dalang wayang kulit yang boleh dibilang
jempolan untuk ukuran anak seusianya. Di saat teman-teman asyik dengan
stik playsation, Danan justru asyik memainkan wayang kulit. Tangannya begitu cekatan menggerak-gerakan wayang kulit.
Di
Sanggar Seni Redi Waluyo yang berlokasi di Jalan Kerja Bakti No 1, Rt
05/05 Kelurahan Makasar, Jakarta Timur ini, Danan belajar seni
mendalang.
“Saya suka wayang karena ada yang lucu, baik, jahat dan
ada yang seperti setan-setanan. Pertamanya saya suka wayang golek,
setiap malem suka nonton di televisi, karena suka, akhirnya saya dibawa
ke sini dan belajar dalang wayang kulit deh mas.” ujar Danan.
Danan
sudah satu tahun belajar seni mendalang di Sanggar Redi Waluyo.
Pengalaman pentas Danan yang tidak terlupakan adalah saat dirinya
disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Taman Mini Indonesia
Indah. Danan bahkan memiliki cita-cita menjadi dalang. Kata Danan,
“Wayang mengandung banyak cerita yang bagus, tentang baik dan jahat dan
bisa menambah ilmu. Teman-teman suka sekali melihat saya ngedalang mas,
saya engga bisa bahasa Jawa makanya saya belajar bahasa Jawanya pake
teks, saya juga sudah menguasai beberapa cerita wayang.”
Saat Kabari
berkunjung, Danan menunjukkan kebolehannya dalam bermain wayang kulit
dengan judul “Wa Cakra Ningrat”, sebuah cerita yang mengisahkan seorang
pencari wahyu untuk kesaktian dan menjadi rebutan sehingga akhirnya
terjadi pertarungan yang dimenangi oleh Abimanyu anak dari Arjuna.
Menurut
Pak Deni, orangtua Danan, dirinya hanya menyalurkan minat si anak yang
sangat menyukai wayang. Saat mencari tempat yang mengajarkan seni
mendalang, dirinya mengaku sempat kesulitan mencari sanggar seni yang
mengajarkan seni mendalang di Jakarta saat ini.
Perkembangan
psikologi anak setelah belajar mendalang rupanya berdampak positif bagi
Danan. Pesan moral dalam cerita cerita wayang ternyata membuat Danan
lebih konsentrasi saat belajar dan lebih kreatif.
Sanggar Redi
Waluyo didirikan oleh alm. Kamsu Redi Wiguno pada tahun 1986. Ketika
itu sanggar seperti ini sangat sedikit, sehingga almarhum dan
teman-temannya berinisiatif mendirikan sanggar Redi Waluyo yang
memberikan pelatihan seni pedalangan, karawitan dan tari.
Sanggar
seni Redi Waluyo sudah beberapa kali mendapatkan undangan pentas di
lingkungan Istana Negara. “Sanggar seni Redi Waluyo sering kali pentas
di luar negeri, seperti India pada tahun 2000, lalu awal 2001 ke Afrika
Selatan, tahun 2008 ini kami pergi ke Vietnam dan terakhir kami baru
saja pulang dari Jenewa Swiss, dalam rangka pertunjukan.” ujar Ibu Sri
Rahayu Setiawati, selaku penerus sanggar seni Redi Waluyo.
Murid-murid
yang belajar di sini sering kali pentas di berbagai even kesenian di
berbagai daerah. Metode pembelajarannya meliputi pengenalan wayang,
pegangan wayang, catur atau sastra, suluan atau menyanyi, lakon atau
peran, kepraan (alat musik yang dipukul dengan kaki), dudukan, sabet
(perang wayang), menabuh gamelan dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya
dalam waktu kurang dua tahun para murid sudah dapat pentas. Bahkan ada
sebagian murid yang sudah berani menunjukkan kebolehannya dalam waktu
kurang dari setahun.
Murid yang belajar di sini bukan hanya dari
kalangan suku Jawa, bahkan pernah ada murid dari luar Indonesia seperti
Prancis, Australia dan Amerika.
Biaya yang dikenakan untuk murid lumayan terjangkau, mulai dari 150.000 rupiah untuk kelas private selama dua jam pertemuan dan 150.000 rupiah untuk kelas reguler setiap bulannya.
Bagi
Ki Darmadi, S.Sn. selaku pengajar di sanggar seni ini, mengajar dalang
merupakan salah satu cara melestarikan kesenian wayang itu sendiri.
Apalagi di tengah himpitan jaman dan teknologi, maka yang dilakukan
sanggar Redi Waluyo patut diapresiasi.

Bagi para pengajar,
memiliki murid anak-anak dan mau belajar seni mendalang merupakan
tantangan tersendiri.”Anak-anak yang kebanyakan tidak bisa berbahasa
Jawa menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana caranya mereka bisa
mengerti dan menggunakan bahasa Jawa. Tapi saya juga tidak melarang
mereka yang ingin menggunakan bahasa sehari-harinya dalam bermain
wayang, karena saya harus dapat menyesuaikan dengan si anak agar mereka
tidak bosan” ujarnya. Mendengar cerita para pengajar, secara tak
langsung mereka ternyata juga melestarikan bahasa Jawa.

Minat
generasi muda akan seni tradisional saat ini memang sedikit sekali.
Mall, atau tempat rekreasi yang menjamur secara tak langsung juga
membuat kantung-kantung budaya mulai ditinggalkan penontonnya. Hal
inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita semua. Bukan cuma
pemerintah, tapi kita sebagai orangtua.(arip)

Saksikan videonya, klik www.KabariNews.com/?32256

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32292

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket