Dunia petualang memang mengasyikkan. Terutama penyuka
kejutan-kejutan yang menantang. Namun bila petualang itu dinarasikan,
kebetulan oleh jurnalis, maka kejadian, perasaan dan kritik tajam dapat
dirasakan oleh pembacanya.

Dua jurnalis menulis petualanganya keliling Indonesia. Mereka menggunakan sepeda motor trail yang dilengkapi dengan GPS tracker (geopositioning sattelite) dan peralatan kemping untuk menyusuri sekitar 100 pulau-pulau besar.

Melalui Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, Ahmad Yunus dan Farid Gaban
melakukan ekspedisi keliling nusantara selama hampir satu tahun.
Hasilnya: 10.000 frame foto, 70 jam materi video, dan catatan
perjalanan. Juga ada 54 foto full color yang impresif. Selipan kepingan DVD film dokumenter ekspedisi ini juga memperkaya pengalaman inderawi pembaca.

Dari Jakarta, kedua jurnalis ini memulai perjalanannya. Menyeberangi
Selat Sunda menuju Sumatera. Sempat singgah di Enggano, pulau terluar
Indonesia yang masuk wilayah Bengkulu. Di pulau ini, ironi terpampang di
depan mata. Rumah sakit justru dibangun di tengah hutan yang jauh dari
pemukiman penduduk. Bandara Enggano yang keberadaan akan sangat
bermanfaat bagi mobilitas masyarakat juga dihentikan pembangunannya.

Di Mentawai yang unik dan lekat dengan tradisi pembuatan tato,
keduanya harus menelan pil pahit. Tepatnya, di Muara Siberut, sampan
yang mereka tumpangi karam. Tak ayal lagi, laptop, kamera, dan hp mereka
rusak masuk ke air laut.

Namun, bukan petualang namanya jika tidak bermental baja. Ekspedisi
terus dilanjutkan. Kendati untuk menyeberang ke pelabuhan Padang, uang
mereka tidak cukup sehingga harus merayu kapten kapal. Hanya tersisa Rp
50.000.

Sewaktu melewati Selat Malaka, mereka bertemu ‘bajak laut’. Bajak
laut yang suka memalak kapal-kapal kecil pengangkut sayur dan komoditi
lokal itu ternyata adalah para polisi laut Indonesia. Oknum petugas
meminta uang kepada pemilik kapal-kapal pengangkut bahan kebutuhan.
Bukan sekali, tapi ada yang dimintai sampai empat kali. Itu realitas.
Uang pungli tersebut tentunya akan dibebankan ke konsumen. Ini yang
membuat harga kebutuhan di daerah terpencil selalu mahal.

Dalam perjalanannya itu, Farid-Yunus juga menemukan potret asli
kehidupan warga Indonesia yang masih digelayuti kemiskinan. Ketika para
elit politik berjualan isu tentang kemasyarakatan, menurut Yunus,
masyarakat tak peduli. Ini disebabkan para elit itu tak mau turun
langsung ke lapangan dan mencari tahu persoalan di daerah. Warga lokal
menjadi bagian dari ‘yang bisu’. “Dan semangat kami memberi suara pada
yang tak bersuara,” katanya. Masyarakat menjadi ‘bisu’, karena media
massa lebih tertarik pada isu-isu drama politik, macam skandal
Nazaruddin dan Partai Demokrat.

Maka Yunus pun memilih bercerita, bagaimana sungai Kapuas di Sintang
menyusut dan menjadi lapangan sepakbola. Ia bercerita tentang bagaimana
susahnya urusan akses transportasi antar-pulau di Indonesia timur.
Negara seolah tak hadir, pemerintah seolah tak ada di sana, mengulurkan
tangan kepada warga.Yunus merasa mereka tak memiliki ikatan apapun
dengan Indonesia. “Mereka hanya menjalani kehidupan sehari-hari,”
katanya.

Banyak fakta baru yang berhasil diungkap oleh Yunus dalam buku ini.
Termasuk reportase mengenai Binongko, bagian dari Wakatobi, yang juga
dijuluki pulau Tukang Besi. Mereka memasok produknya yang berupa parang,
pacul, dan hingga senjata-senjata yang digunakan saat kerusuhan Maluku.
Satu parang dihargai hingga Rp50 ribu!

Beragam kisah petualangan Ahmad Yunus dan Farid Gaban selama
mengelilingi nusantara ini memang layak disebut ‘gila’. Gaya penulisan
jurnalisme sastrawi membuat buku ini mengalir lancar dan akrab. Mereka
sempat mempertanyakan kembali makna nasionalisme sebagaimana
disentilkan: “…nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme khayalan. Dan
khayalan bisa saja kabur dan kemudian menghilang dengan khayalan lain…”
(hlm. 276). Akhirnya, Indonesia kita belum selesai, kata Yunus. “Tugas
kita menulis tentang Indonesia seperti Sukarno dan Hatta lakukan dulu.”
**
Judul Buku : Meraba Indonesia
Penulis : Ahmad Yunus
Fotografer : Farid Gaban dan Ahmad Yunus
Penerbit : Serambi, Juli, 2011
Tebal : 372 hlm.
(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37259

Untuk

melihat artikel Buku lainnya, Klik

di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :