Dilahirkan pada tgl. 20 Nopember 1913 d Sabu,sebuah pulau kecil di lautan Hindia; Cak (nama panggilan Izaak Huru Doko), dalam usia masih sangat muda sudah menjadi .anak yatim. Setamat sekolah desa 3 tahun didesanya ia harus meninggalkan pulau Sabu untuk menuntut ilmu ke pulau Timor. Ia begitu giat belajar sehingga berhasil mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan sekolah ke MULO di Ambon dan akhirnya berhasil pula mendapatkan bea siswa ke HIK bovenbouw di Bandung.

Dikota Bandung tempat ia menuntut ilmu, bersama pemuda Herman Johannes yang menjadi mahasiswa Technische Hogeschool memimpin para pemuda/mahasiswa daerah seasalnya dalam De Timorsche Jongeren. Disekolah ini pula ia berkenalan dengan pemuda Abdul Haris Nasution yang menjadi adik kelasnya. Hubungan mana tetap berlanjut di waktu kemudian dimana masing-masing melaksanakan tugas sebagai abdi negara RI.

Pada tahun 1937 pemuda Cak Doko menamatkan sekolahnya dan ditempatkan sebagai guru muda pada Openbare Schakel School di kota Kupang, ibukota keresidenan Timor. Dengan motto: “memerangi kemiskinan dan ketertinggalan melalui pendidikan” ia banyak berhasil membimbing kader perpendidikan didaerahnya. Iapun aktif dalam politik dengan membentuk sekaligus menjadi ketua partai poitik “Perserikatan Kebangsaan Timor” yang berazaskan Nasionalis/Kebangsaan dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.

Ketika Jepang mendarat di p.Timor pada tahun 1942 sekolah-sekolah ditutup dan beliau diangkat sebagai Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) dikantor Menshebu. Selama pendudukan Jepang, ia tetap mempelopori perjuangan Indonesia merdeka dalam surat kabar “Timor Syuho yang diasuhnya. Dan sebagai pejabat dan jurnalis yang dengan bebas dapat berhubungan dengan Kempetai (polisi militer Jepang), beliau mengerakkan pemuda Timor untuk melapor dan mencegah kebrutalan tentera Jepang khususnya dalam menggagahi wanita Timor. Bahkan ia pernah berkelahi dengan seorang tentera Jepang yang mengganggu seorang wanita.

Ia bersama H.A.Koroh (Raja Amarasi) pada th. 1944 diangkat menjadi anggota Syo Sunda Shu Ki Yin (Dewan Perwakilan Rakyat Sunda Kecil) yang berkedudukan di Singaraja Bali.
Pada tanggal 29 April 1945, Jepang menyerahkan bendera Merah Putih kepada kedua tokoh ini, yang kemudian dikibarkan dalam suatu upacara dilapangan Oepura.

Pada waktu Jepang bertekuk lutut dan tentera Australia/sekutu mendarat di pulau Timor, Cak Doko bersama Tom Pello mengorganisir tenaga-tenaga Nasionalis untuk menghadapi Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) bersama kaki tangannya yang membonceng pendaratan tentera Sekutu.

Tanggal 22 Agustus 1945, dalam sebuah rapat raksasa beliau berpidato didepan Penguasa Jepang dan rakyat Amarasi tentang perjuangan rakyat Timor untuk memperoleh kemerdekaan, dan pada tanggal 24 Agustus 1945, Jepang menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Kota Kupang kepada Dr. Gabeler, Tom Pello dan I.H.Doko.

Beliau kemudian mendirikan dan mengetuai Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Timor sebagai penjelmaan Perserikatan Kebangsaan Timor (PKT). Beliau turut aktif dalam penyelesaian masalah pemulangan para Heiho dan Romusha yang umumnya didatangkan bala tentera Jepang dari pulau Jawa.

Pada Konperensi Malino 1946 beliau menjadi Penasehat utusan daerah Timor dengan mandat untuk memperjuangkan “zelfbeschikkingsrecht” bagi bangsa Indonesia, tetap mempertahankan negara kesatuan RI dan menghapuskan korte verlaring dari daerah-daerah swapraja. Karena kegigihan dan keteguhan dalam memperjuangkan aspirasi untuk merdeka dalam negara kesatuan RI, van Mook (Gubernur Jenderal) menamakannya: “ayam jantan dari Timor” (buku: Malino bouwt een Huis).

Pada bulan Nopember 1947 menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam kedudukan ini ia bertentangan pendapat dengan Tom Pello yang menolak bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun. Dengan prinsip bahwa suatu perubahan dapat dibuat bila kita berada dalam lingkungan itu maka jabatan tersebut diterimanya.

Kemudian ia dipilih oleh parlemen menjadi Menteri Muda Penerangan NIT. Bersama dengan kelompok nasionalis dilingkungan NIT beliau ikut membentuk dan menjadi Pengurus Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makassar yang diketuai Arnold Mononutu Beliau kemudian diangkat sebagai Menteri Penerangan NIT dengan dukungan fraksi-fraksi Progressif yang berjuang melalui BFO agar merdeka hanya bersama RI, membantu perjuangan RI dan mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemeintah RI ke Yogyakarta. Karena perjuangan ini NIT diakui secara resmi oleh Pemerintah RI.

Pada tanggal 14 Maret 1950 dalam Kabinet Anak Agung Gde Agung beliau diangkat sebagai Menteri Pengajaran NIT dalam lingkungan RIS. Dan sering bertindak mewakili Perdana Menteri berhubung Perdana Menteri sering meninggalkan Makasar untuk konsultsi dengan Pemerintah RI-Yogyakarta.

Dalam rangka pembubaran Negara Indonesia Timur, beliau bertugas sebagai wakil Sekretaris Jenderal Kementrian Pengajaran NIT dalam kabinet Likwidasi dibawah Ir. Putuhena (bekas Menteri PUT-RI di Yogya). Beliau sempat ditahan saat APRI dibawah pimpinan Kol. Kawilarang mendarat dan menduduki kota Makassar, tetapi kemudian dibebaskan tanpa syarat.

Beberapa jabatan penting di-ibu kota negara RI: Jakarta ia tolak dan ingin lebih membaktikan diri pada bidang pendidikan didaerah. Demikian pula Desakan beberapa partai politik seperti Parkindo, PNI dll yang mencalonkannya sebagai Gubernur pertama NTT, beliau tolak dengan alasan yang sama yaitu ingin mengabdi dibidang pendidikan. Jabatan Kepala Inspeksi Pengajaran Sunda Kecil berkedudukan di Singaraja (Bali) beliau pegang sejak 1950 s/d 1958 dan sehubungan dengan pemekaran daerah dan terbentuknya propinsi NTT ditahun 1958, beliau diangkat menjadi Kepala Perwakilan Dep. P dan K prop. NTT berkedudukan di Kupang yang dipangkunya sejak 1958 sampai saat pensiun ditahun 1971, dengan pangkat . Pegawai Utama, golongan IV/D. Untuk jasanya dalam bidang pendidikan ini Pemerintah Indonesia melalui Dep. Sosial menganugerahkannya Bintang Sosial dengan gelar Pahlawan Pendidikan.

Pada tahun 1957 beliau menjadi anggota perutusan Propinsi Sunda Kecil ke Musyawarah Nasional I dan II dalam usaha mempersatukan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, dan dalam tahun 1961 menjadi Anggota Front Nasional Nusa Tenggara Timur dan Anggota team Indoktrinasi NTT. Pada Gerakan 30 September tahun 1965 oleh PKI, beliau termasuk dalam daftar orang yang harus dilenyapkan.

Sampai dengan masa pensiunnya beliau tetap aktif dalam berbagai jabatan dibidang Pendidikan, Gerejani dan Sosial a.l. dengan mengetuai Yayasan Pendidikan Kristen NTT (Yupenkris), Dewan penyantun APDN, mendirikan Akademi Teologia Kupang, mendirikan Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang; Dekan Koordinator IKIP Malang Cabang Kupang, Anggota Presidium dan Dewan Penyantun Universitas Nusa Cendana-Kupang, Penasehat Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Ketua Palang Merah Indonesia NTT. Dalam jabatan sebagai Ketua PMI ini beliau pernah harus mundar mandir dari Kupang ke Surabaya untuk mengantar para pengungsi dari Timor Portugis sehubungan pergolakan ditahun 1974, 2 sampai 3 kali penerbangan dalam sehari selama sekitar 1 bulan. Untuk pengabdian kemanusiaannya ini Palang Merah International yang berkedudukan di Swiss memberikan Piagam Penghargaan.

Atas jasa-jasa beliau, Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 Nopember 2006 menganugerahi Bintang Mahaputera Adipradana dan Gelar Pahlawan Nasional dalam suatu upacara di Istana Negara pada tanggal 9 Nopember 2006.