Mereka Bersama Kita.

Saya punya teman, sebut saja namanya Udin. Usianya , mungkin sekitar 30 tahun sekarang. Udin berasal dari  sebuah dusun di pelosok Kutoarjo. Namun sejak kecil ia sudah hidup di Jakarta, di sebuah rumah petak di  pemukiman penduduk miskin di Jakarta Timur. Saya mengenalnya dan mulai berkawan dengannya sekitar 8  tahun yang lalu. Kala itu ia masih amat berduka karena selalu terkenang adiknya. Adiknya yang cacat mental mati dibakar di sebuah pusat pertokoan pada  saat kerusuhan 13-15 Mei 1998. Kami selalu dicap keluarga maling, keluarga penjarah katanya  meradang. Kalau ada orang yang berani ngomong  begitu di depan saya, saya langsung hajar biar mampus, lanjutnya emosi. Udin memang kerap memukul orang. Di RSCM tanpa ampun ia sempat memukuli orang  dengan kursi lipat. Orang itu mengatai-ngatai para  korban kerusuhan Mei adalah penjarah. Sehari-hari Udin amat ramah, mudah berkawan. Ia selalu mengumbar senyum dan bersikap positif. Ia  juga amat rajin berdoa. Mungkin karena itu juga banyak sekali perempuan yang bersedia menjadi  kekasihya, juga teman tidurnya. Menurutnya pacaran harus diperkaya dengan hubungan badan. Pokoknya  yang pertama ada isinya perempuan itu yang akan  saya kawini, begitu ujarnya sewaktu saya  mempertanyakan pertanggungjawabannya pada para  perempuan kekasihnya itu.  Udin pekerjaannya tidak menentu. Sebelum kenal saya ia adalah preman yang suka memeras para  pedagang kecil. Para pedagang di wilayahnya setiap malam setor Rp 500 – Rp 2000 sebagai uang keamanan. Uang itu ia bagi dengan teman-temannya. Kemudian ia  jadi sopir, office boy dan terakhir bekerja di  bagian pemasaran sebuah produk. Pekerjaannya tidak  pernah langgeng. Ia selalu tergoda mencuri atau korupsi.  Kami kerap diskusi tentang masalah SARA. Pada  akhirnya ia paham bahwa bersikap diskriminatif  karena berbeda ras atau etnis adalah keliru. TUHAN memang mencipta manusia begitu kaya perbedaan. Tapi  pemahaman itu tidak mampu menghilangkan rasa  sakitnya setiap kali melihat seorang Tionghoa yang  tampak kaya dan gemuk. Udin pun alergi melihat  barongsai. China bisa enak-enakan pesta-pesta barongsai lha itu kan karena peristiwa Mei! Adik  saya jadi korban! mati kagak ada yang ngurusin, ujarnya sengit saat melihat atraksi barongsai dan  banyak etnis Tionghoa bergembira. Secara umum Udin tidak menyukai etnis Tionghoa yang tampak gemuk dan kaya. Menurutnya ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul di hatinya kalau melihat  mereka. Mungkin karena mereka kaya dan gak peduli orang miskin, ujarnya. Tiga momen yang selalu  membuatnya seperti terbakar amarah adalah jika melihat: sekelompok orang etnis Tionghoa makan besar di restoran;  baby sitter keluarga Tionghoa di beri makan sisa-sisa makanan tuannya di meja restoran;  lelaki Tionghoa yang memakai perhiasan emas mahal dan naik mobil mewah.  Di sisi lain kerap kali ia jatuh hati pada  perempuan Tionghoa yang menurutnya sungguh  mempesona karena berkulit terang. Namun perempuan-perempuan berkulit terang ini tidak ada  satu pun yang mau menjadi kekasihnya. Mereka mah  payah!… maunya sama yang sama-sama China, katanya  jengkel.  Saya jadi ingat seorang kakak kelas saya di kampus  yang amat tidak menyukai orang Minang. Orang-orang  Padang sialan itu tempatnya di sini, ujarnya ganas sambil menunjuk ke telapak kakinya. Padahal ia amat rajin berdoa dan menaikkan lagu pujian kepada Tuhan  dengan suara lantang.  Belum lama ini tanpa sengaja saya mendengar  percakapan seorang lelaki separuh baya dengan  isterinya. Bapak itu begitu gembira karena baru mendapat pekerjaan untuk membangun sistem  kepegawaian di sebuah bank besar tempat isterinya  bekerja. …honey, tahu gak, Bosku pesan untuk  diam-diam membersihkan orang-orang Batak dari situ,  biar yang Jawa-Jawa saja di situ ujarnya  berseri-seri. Ia sendiri seorang etnis Jawa, begitu juga isterinya.  Entah benar atau tidak yang ia ucapkan. Namun  sumringahnya bapak itu membuat saya prihatin. Setahu  saya bapak itu sempat amat akrab dengan kitab suci. Bahkan sebagian besar waktunya bertahun-tahun dihabiskannya untuk hidup amat disiplin dalam  belajar kaidah agama. Kawan-kawan, mohon doa dan pikirkan orang-orang seperti Udin. Kita perlu lebih serius untuk  menangani masalah rasialisme. Ester Indahyani Jusuf, S.H. > cell : (+62) 815 99 66 443 > fax: (+62) 21 788 40 636 > email: esterjusuf@yahoo.com

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?2637

Mohon Beri Rating dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Intero Real Estate

Lebih dari 1 juta Rumah di Amerika

Klik www.InteroSF.com        Email : Info@InteroSF.com

Telp.  1-800 281 4134