KabariNews – Rachel House adalah sebuah organisasi non-profit yang menyediakan perawatan paliatif untuk anak-anak dari keluarga miskin dengan penyakit kanker dan HIV/AIDS. Rachel House adalah organisasi perawatan pertama anak paliatif di Indonesia yang didirikan Lynna Chandra.

Lynna ChandraOrang umumnya menyambut kelahiran sebagai peristiwa yang penuh suka cita. Tidak demikian halnya terhadap kematian. Bahkan banyak menganggapnya sebagai momok paling menakutkan. Belum lagi derita menahan sakit parah yang menciutkan nyali dan membuat diri merasa kecil. Derita bertambah, karena vonis dokter terus mengiang di telinga.

Berangkat dari fenomena itulah, maka Lynna Chandra mendirikan Yayasan Rachel House pada 2006. Ihwalnya menyangkut akhir hidup seorang Rachel Clynton yang berjuang selama 13 tahun melawan kanker.

Lynna ingin Rachel House menjadi lingkungan tinggal yang nyaman bagi anak-anak penderita kanker dan HIV/AIDS. Di sana anak-anak juga bisa mengenang dan memaknai pembelajaran dari para sahabat mereka. Bahwasanya, betapa pun sakit dan singkatnya usia di dunia ini, mereka harus tetap optimis dalam hidup bermartabat dan gembira. Terutama agar bisa mensyukuri masih ada sahabat yang memberi perhatian dan kasih sayang.

Lynna bercerita, berdirinya Rachel House salah satunya untuk memastikan bahwa tidak ada satu anak pun yang meninggal dunia dalam penderitaan. “Teman saya Rachel meninggal pada 2004. Walaupun dia sangat kuat, tapi pada akhirnya rasa nyaman itu didapatnya dari keberadaan orang yang menemani, sentuhan seseorang yang memijat tangan dan kakinya. Ini sangat penting bagi mereka yang menjalani hari-hari terakhir,” kata Lynna.

Ada rasa kehilangan yang sangat besar dirasakan Lynna saat sahabatnya Rachel tiada. Lynna sempat menemani hari-hari terakhirnya dan ia cukup tahu bagaimana sahabatnya itu berjuang melawan sakit akibat kanker payudara, yang kemudian menyebar mengenai paru-paru, tulang dan otaknya.

Kehidupan dan kematian Rachel membawa pengertian baru dalam hidup Lynna. Ia tersadar bahwa orang sakit parah tidak hanya membutuhkan obat, melainkan juga pendampingan. “Meski sakit parah, mereka bisa hidup normal, terlebih dengan mendapat pendampingan dan dukungan,” ungkap Lynna pada KABARI.

Pendampingan dengan mendengarkan keluhan dan beban pasien di hari-hari terakhirnya. Ini diyakini Lynna sangat efektif meringankan penderitaan mereka. Rachel House memberikan pelayanan tersebut kepada anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, menyediakan perawatan paliatif. Apakah itu?

“Perawatan paliatif mengacu pada perawatan total untuk anak yang sakit parah, mulai dari pengelolaan nyeri dan gejala penyakit yang mengancam jiwa hingga memberikan dukungan psikologis dan kepedulian kepada keluarganya,” jelas Lynna.

Tak hanya memberikan perawatan medis, tetapi juga perawatan yang tidak kalah penting, yakni membuat hari-hari si pasien kanker yang punya sedikit harapan hidup dapat menjalani sisa hari-harinya dengan lebih berarti.

Suasana di Rachel House

Suasana di Rachel House

Lynna dan yayasan yang diasuhnya punya visi mulia, yaitu tidak ingin ada lagi anak-anak penderita kanker dan HIV/AIDS yang meninggal sendirian. “Kami ingin anak-anak yang menderita sakit itu bisa hidup bahagia, bermartabat, tanpa diperlakukan secara diskriminatif,” papar wanita berkulit putih itu.

Komitmen awal Lynna adalah meluangkan satu tahun untuk mendirikan Rachel House di Indonesia, kemudian di beberapa negara lain, sehingga ia bisa kembali ke kehidupan normalnya. “Waktu itu saya kira tidak terlalu sulit. Saya bangun satu rumah, dapatkan perawat, lalu serahkan ke mereka, kemudian saya kembali ke kehidupan saya. Namun ternyata banyak tantangannya, seperti sekarang Rachel House yang terus berkembang dan melayani.”

Singkat cerita, tantangan yang dihadapi Lynna tidak hanya dari sisi pasien, melainkan munculnya sejumlah persoalan yang datang dari masyarakat, di antaranya tentang kultur masyarakat Indonesia, obat yang mahal, masalah pendanaan sampai tantangan pola pikir yang berkembang di masyarakat.

“Contoh kecilnya saja, pencarian rumah singgah bagi penderita kanker sempat terhambat karena berbenturan dengan pola pikir masyarakat. Tantangan lain, penderita HIV cenderung menyembunyikan penyakitnya, lantaran takut dikucilkan masyarakat. “Kami sulit menemukan anak-anak pengidap HIV, karena mereka takut masyarakat membenci dan mengucilkan,” aku Lynna, sedih.

Menyambung asa saat menanti maut

Sejak berdiri Rachel House sudah membantu ratusan, bahkan ribuan anak pasien kanker dan HIV/AIDS. Awalnya asuhan paliatif yang dilakukan Rachel House bekerja berdasarkan sistem rujukan rumah sakit, seperti Rumah Sakit Nasional, Rumah Sakit di Jakarta dan beberapa Puskesmas. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya perawat dan relawan yang ikut bergerak, maka aksi ini terus menyebar ke masyarakat.

Workshop Yayasan Rumah Rachel

Workshop Yayasan Rumah Rachel

Melalui tenaga kesehatan di Puskesmas, Rachel House bisa menjamah lapisan masyarakat untuk melatih ibu-ibu kader dan Karang Taruna. “Kami menyebar ke Puskesmas dan menyambung pada komunitas. Kami memberikan pelatihan dan membantu mereka untuk berkolaborasi, sehingga pasien kanker dan HIV/AIDS yang sakit di rumah bisa ditolong dan diberikan perawatan. Kolaborasi ini sangat kami harapkan bisa berjalan, sehingga makin luas menjangkau mereka yang membutuhkan,” jelasnya lagi.

Perawat Rachel House dilatih tidak hanya penilaian fisik pasien saja, tetapi juga memahami latar belakang anak sebelum dan sesudah didiagnosa dengan penyakit. Pemahaman intim anak dirasa penting, sebab dari hal itu akan tercipta pendekatan mendalam dengan pasien. Para perawat dibina untuk memiliki dedikasi yang tinggi dalam melayani.

Lynna menambahkan, ia bisa jalan beriringan dengan para perawat yang luar biasa mendukungnya. Perawat di Rachel House, kata Lynna, datang secara utuh dengan memiliki keilmuan, keberanian dan juga hati.

“Dengan hati yang ‘terbuka’ itu, perawat berjuang dengan ilmunya dan memberikan pelayanan yang terbaik. Misi kami adalah men-train semua orang, membangun dan memberdayakan komunitas supaya mereka bisa memberi pelayanan kepada lingkungan mereka sendiri. Juga penting meningkatkan kesadaran pada komunitas untuk memberikan asuhan paliatif yang dapat meringankan rasa tersiksa pasien yang harapan hidupnya tipis, melainkan juga untuk pasien berpenyakit kronis lainnya,” ungkapnya.

Wanita asal Medan, Sumatera Utara ini bercita-cita ingin jadi dokter, namun perjalanan hidup berkata lain. Setelah pindah dan bersekolah di Singapura dan Australia, ia berkarir sebagai bankir investasi. Setelah 10 tahun di perbankan, ia menjadi konsultan bisnis hingga akhirnya mulai mengikuti kata hatinya untuk terjun ke bidang sosial.

Ia ibaratnya menjadi ‘Ibu’ yang mengayomi anak-anak penderita kanker dan HIV/AIDS. Mungkin ini menjadi jawaban atas mimpi dan cita-citanya untuk bisa menolong masyarakat marginal. Jadi, meski tidak bisa memeriksa dan menyembuhkan pasien secara langsung, tapi Lynna telah berhasil menjadi ‘payung’ dengan memberi tempat dan mengayomi anak-anak yang kurang beruntung, meringankan penderitaan mereka dan memberikan sedikit harapan hidup yang lebih berarti. (1001)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/78945

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan

 

 

 

 

kabari store pic 1