Joshua tak tahu persis apa
penyebab krisis keuangan global. Yang dia tahu, dia di-PHK, gara-gara
produktivitas pabrik tempatnya bekerja menurun drastis. Entah kenapa.
Joshua cuma tahu, itu pun katanya kepala HRD,
penjualan sedang lesu sehingga mempengaruhi produktivitas yang
buntutnya, sekali lagi katanya, ia dan 799 karyawan lain ‘terpaksa’
diberhentikan akhir November lalu.

Joshua tercenung. Ia
gamang. Matanya nanar. Baginya, bekerja bukan semata-mata mencari
nafkah. Bekerja adalah ibadah, ibadah menghidupi istri dan anaknya. Dan
ketika ia berhenti bekerja, Joshua merasa demikian berdosanya. Apalagi
seminggu lagi Natal, ia sama sekali tak punya uang untuk merayakannya.
Jangankan untuk beli kado, untuk belanja sehari-hari saja dia pusing.
Ditambah anaknya yang paling besar beberapa hari ini ribut terus minta
dibelikan sepeda sebagai hadiah Natal. Sementara uang pesangon baru
dibayar bertahap mulai bulan Januari-Maret tahun depan. Syukur-syukur
ia bisa dapat bulan Januari, kalau Maret bagaimana?

Dan
belakangan ini Joshua rajin baca koran, selain mulai mencari lowongan
kerja, Joshua jadi tahu ternyata krisis keuangan global yang dimulai di
Amerika itu, langsung atau tidak, menjadi penyebab perampingan karyawan
perusahaannya. Ah saya tidak mengerti seluk beluk moneter, tapi kenapa saya yang menjadi korban. Gugat Joshua dalam hati.

Joshua
bekerja di pabrik tekstil di daerah Cikarang, Jawa Barat, ia punya dua
putri yang masih kecil-kecil, Alda, enam tahun dan Rieke, empat tahun.
Ia mengontrak sepetak rumah di sekitar pabrik dengan uang sewa Rp
350.000 per bulan belum termasuk air dan listrik. Istrinya tak bekerja
karena Joshua memang menginginkan istrinya mengurus anak saja. Dengan
masa kerja tujuh tahun, sebulan Joshua mengaku mendapat gaji Rp
2.000.000. Setiap bulan uang itu habis tak berbekas untuk keperluan
rumah tangga dan sekolah anaknya. Dan kini Joshua menjadi pengangguran.
Dengan kondisi seperti ini tak terbayang Natal seperti apa yang akan
dijalani keluarga Joshua.

Lain lagi cerita Donni Sibarani,
ia masih lebih beruntung dari Joshua. Meski tak sampai di-PHK dari
tempat kerjanya, Donnie yang bekerja sebagai sales sebuah agen
perjalanan turut merasakan dampak krisis global. Beberapa kliennya
menunda bahkan ada yang sampai membatalkan jadwal liburan akhir tahun
mereka. “Alasannya, mereka tengah mengalami krisis keuangan, padahal
kebanyakan sudah membayar DP.” ujar Donnie pelan. Penundaan atau
pembatalan jadwal liburan tentu berpengaruh dengan kocek Donni yang
mengandalkan komisi dari setiap closing transaksi dengan klien.

Membaca
situasi yang agaknya kurang baik, Donni pun memutuskan untuk tidak
pulang kampung ke Siantar, Sumatera Utara, pada Natal tahun ini.
“Biarlah Natal kali ini Aku di Jakarta saja bersama teman-teman
gereja.” katanya. Donni tak mau pulang kampung kalau tidak membawa uang
banyak. Di kampung ia mengaku punya banyak ponakan, “Coba Abang
bayangkan, kalau aku pulang tidak bawa hepeng, apa kata dunia?” katanya
meniru ucapan si Naga Bonar dengan logak Batak kental. Tapi ia mengaku
tak sedih jika tak bisa merayakan Natal bersama keluarga, “Saya ini
orang rantau, sedih itu musuh saya. Saya harus tetap optimis, pokoknya
Natal tahun depan saya harus pulang banyak duit banyak!” katanya
lantang.

Cerita yang sama juga diungkap Andri William,
seorang pebisnis mebel. Pekerjaannya adalah menjadi perantara jual beli
mebel. Kliennya banyak dari Amerika, sementara ia mengambil mebelnya
dari perajin di Jepara. “Kondisi sekarang benar-benar sulit, permintaan
menurun, dari sebelumnya saya bisa kirim empat kontainer sebulan,
sekarang baru ada pesanan satu kontainer.” keluhnya. Andri William juga
mengaku baru saja memutus kontrak dua pekerjanya. “Sekarang saya cuma
dibantu oleh tiga orang anak buah saya.” katanya sambil meminta Kabari
menulis mengenai pungutan liar di pelabuhan yang mencekik.

Ditanya
soal perayaan Natal di tengah krisis, Andri malah mengaku tak begitu
memikirkannnya. “Bagi saya Natal bukan perayaan yang harus
menghambur-hamburkan uang, Kadang kita sendiri yang membuat perayaan
Natal menjadi kehilangan makna, coba lihat, beli pohon Natal gede-gede,
beli bir berkrat-krat, beli makanan mewah yang justru tak menyehatkan.
Sebetulnya kita bisa merayakan Natal dengan lebih bermakna misalnya
dengan berbagi kepada sesama.” ujarnya mengingatkan.

Namun
saat ditanya mengenai krisis global, ia justru optimis krisis tak akan
berlangsung lama. Kenapa? “Saya yakin kebijakan Obama akan segera
mengakhiri krisis ini, saya harap empat sampai enam bulan sejak
pemerintahannya,semuanya kan menjadi lebih baik.” katanya yakin.

Natal
tahun ini memang sedikit lain. Krisis bukan lagi menjadi ancaman tetapi
kenyataan yang memang harus dihadapi. Namun meski begitu, semangat
Natal harus tetap ada. jangan pernah luntur.(yayat)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?32291

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket