Masjid Karim Oei atau Masjid
Lautze di jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat, awalnya merupakan
sebuah ruko berlantai empat yang kemudian disewa untuk untuk dijadikan
masjid. Mesjid ini mungkin satu-satunya mesjid di Indonesia yang tak
berbeduk dan tak bermenara.

Masjid Lautze didirikan untuk
mengenang tokoh Tionghoa muslim Haji Karim Oei Tjeng Hien (1905-1988)
yang juga dikenal dengan nama Haji Abdulkarim. Seorang tokoh yang
bergabung dalam organisasi Muhammadiyah, serta mantan anggota Parlemen
RI dan juga pendiri organisasi warga etnis Tionghoa Islam, dengan nama
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).

Tahun
1967-1974, Karim Oei menjabat sebagai anggota Pimpinan Harian Masjid
Istiqlal Jakarta yang ditunjuk langsung oleh Presiden, beliau juga
menjadi anggota Dewan Penyantun BAKOM PKAB, dan anggota Pengurus MUI Pusat.

Selain aktif dalam organisasi Islam, Haji Karim Oei juga sukses di dunia bisnis, dia pernah menjabat sebagai Komisaris Utama BCA, Direktur Utama Asuransi Central Asia, Direktur PT Mega, Direktur Utama Pabrik Kaos Aseli 777, dan Direktur Utama Sumber Bengawan Mas.

Kehidupan
religiusnya yang tinggi membuat Haji Abdulkarim memiliki niat untuk
menyiarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia, khususnya untuk warga
keturunan Tionghoa.
Pada 1988, Haji Karim Oei Tjeng Hien meninggal
dunia. Sosok tokoh ini merupakan tokoh yang dinilai memiliki figur yang
pantas diangkat. Meski seorang yang berasal dari etnis non pribumi,
Haji Karim Oei merupakan seorang nasionalis yang sangat mencintai
Indonesia.

Sepeninggal Haji Karim, pada 1991 beberapa tokoh dari berbagai ormas yaitu NU, Muhammadiyah, KAHMI, Al-Washliah, ICMI,
dan beberapa tokoh muslim Tionghoa sepakat mendirikan sebuah yayasan
yang bertujuan sebagai pusat informasi Islam khususnya kalangan etnis
Tionghoa.

Nama Yayasan tersebut adalah Yayasan Haji Karim
Oei dengan maksud mengenang sekaligus agar terinspirasi dengan
perjuangan Haji Karim Oei.

Pada mulanya yayasan yang
sekaligus menjadi masjid ini bertempat dengan menyewa satu lantai di
Jalan Lau Tze 87-89 Pasar Baru Jakarta Pusat. Hal ini menurut pendiri
dan pengurusnya merupakan sebuah langkah nekat. Betapa tidak, dengan
menyewa satu lantai ruko sebagai masjid merupakan hal yang sangat
nekat. Jika sewaktu-waktu lantai itu tidak ingin disewakan maka
masjidnya akan bubar.

Pada tahun 1994, ruko yang semula
sewa berubah menjadi hak milik. Pada waktu itu, pemilik ruko meminta
agar yayasan membeli saja ruko tersebut. Akhirnya pada 1994, Habibie
membeli ruko tersebut sekaligus meresmikan Masjid Lau Tze. Karena
dinilai sempit, pada 1996 ruko sebelah masjid dibeli kembali dan
digabungkan menjadi masjid. Hingga kini bangunan masjid terdiri dari
gabungan dua buah ruko dan dapat menampung kurang lebih 400 jamaah.

Mesjid
ini masih bernuansa seperti masjid-masjid di Beijing, China. Di sana
bangunan masjid sama seperti dengan bangunan klenteng. Hal ini menurut
Yusman agar para jamaah yang kebanyakan adalah etnis Tionghoa lebih
merasa nyaman berada di masjid tersebut.

Dari luar
bangunan masjid memang seperti bangunan ruko empat lantai, di kanan,
kiri dan depan serta di kawasan masjid memang berdiri bangunan
ruko-ruko dan merupakan kawasan pecinan.

Arsitektur dalam
masjid tidak terlepas dengan corak Chinesse, yakni tembok berwarna
kuning dengan ukiran berwarna merah. Ada juga kaligrafi bertuliskan
“Bismillahirrahmanirrahim” dengan sedikit sentuhan kaligrafi China.

Lantai
satu dan lantai dua masjid digunakan untuk shalat, lantai tiga untuk
ruang kantor pengurus masjid dan di lantai empat menjadi ruang
pertemuan. Di lantai empat ini sering digelar acara pernikahan.

Pengurus
Yayasan, Haji Yusman Iriansyah, menuturkan perkembangan Islam di
masyarakat Tionghoa saat ini jauh berkembang pesat. Tidak hanya dari
seputaran Jakarta saja, werga dari berbagai daerah seperti Bogor,
Depok, Tanggerang, Bekasi dan daerah di luar Jawa juga banyak datang ke
masjid ini untuk menunaikan shalat.

A hui, pria kelahiran
11 Agustus 1958 yang baru tiga tahun memeluk Islam menyatakan senang
menjadi jamaah masjid ini, karena selain bisa bertemu dengan
orang-orang keturunan Tionghoa seperti dirinya, A Hui juga bangga bahwa
di kawasan pecinan seperti itu ada juga mesjid, “Ini membuktikan
keberagaman etnis Tionghoa.” katanya sambil tersenyum.

Uniknya,
Masjid Lautze seringkali disebut masjid dua waktu, yakni masjid yang
hanya menggelar sholat Dzuhur dan Ashar saja, karena memang masjid ini
dibuka berdasarkan jam kantor, sehingga saat waktu Subuh, Mahgrib dan
Isya masjid ini tidak dibuka.

Hal ini karena menyesuaikan
dengan jam dan hari kerja. Karena dekat dengan perkantoran dan
pertokoan, maka masjid ini hanya ramai pada jam-jam salat zuhur dan
asar. Setelah jam lima biasanya masjid ditutup. Begitu juga dengan hari
Sabtu, dimana banyak para pekerja yang libur maka masjid ini juga
ditutup. Kecuali hari Minggu, masjid ini menggelar acara pengajian dan
silahturahhmi untuk jamaah, namun acara tersebut tetap dibuka untuk
umum.(arip)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?33491

Untuk melihat Berita Indonesia / Nusantara, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :