Tata 30 tahun, sebut saja namanya demikian, orang Indonesia yang menetap di Amerika. Ia di sana bersama suaminya, Emka dan tiga anaknya. Ketiga anaknya, Veni berusia 6 tahun, kelas 1 Elementary school. Vidi empat tahun, putra satu-satunya. Dia menderita autisme. Dan yang ketiga adalah Vici, perempuan berusia 19 bulan. Semuanya kelahiran Amerika.Prahara besar pun terjadi ketiga anaknya ditinggalkan Tata sendirian.Kepada Kabari, Tata mengungkapkan kegalauannya. Berikut kisahnya.

“Ma, anak-anak kemana?” tanya suamiku panik di telepon genggam.

Mendengar pertanyaan Emka, aku mendadak lemas. Saat itu aku terpisah sekitar 22 mil dengan tiga anakku. Saat itu terpaksa kutinggalkan mereka sendirian. Karena aku harus bertemu seseorang di Thunder Valley Casino.Tanpa buang waktu, aku langsung ambil kunci kontak dan sekencang mungkin mengemudikan Honda Oddisey-ku kembali ke rumah.

Dalam perjalanan pulang 45 menit pikiranku kalut bukan main. Jantungku berpacu keras. Ada rasa bersalah, ketakutan, kuatir, frustrasi sekaligus marah. Semuanya campur aduk. Ibu mana yang tak sedih kehilangan putra-putrinya?

“Pa…papa… “, teriakku tapi sambungan telepon itu putus.

Sementara itu, Emka baru saja mendapati secarik kertas putih kecil dari “Child Protection Agency”. Isinya, ketiga anaknya berada dalam pengasuhan negara!

Belum selesai mengerti maksud pesan itu, tiba-tiba Emka sekelebat melihat dua orang berseragam hitam-hitam lengan panjangdi halaman rumahnya dan menggedor pintu keras-keras.

Begitu pintu dibuka, tanpa babibu satu lelaki berseragam itu langsung saja mengomando, “Turn your head around”. Lalu secara paksa mencoba memborgolnya.

Merasa diserang dan tidak tahu berhadapan dengan siapa, Emka berontak dan menghantam balik lelaki gempal tadi.

“Man, that’s a cop, don’t fight, “ teriak tetangga Emka yang kebetulan melihat kejadian itu.

Disaat hampir bersamaan, lelaki berseragaram lain sudah melepaskan tembakan taser (senjata listrik kejut) ke paha dan pinggang Emka.

Seketika Emka terguling kesakitan dan diborgollah dia dengan dua tangan di belakang.

Dalam suasana itulah, aku sampai di rumah. Terpana. Aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Aku masih belum tahu di mana anak-anakku. Begitu mengiyakan bahwa aku istri Emka dan ibu ketiga anakku, aku ikut diborgol oleh satu polisi yang berpakaian preman itu.

Emka dan aku digiring ke mobil polisi yang parkir tidak jauh dari rumahku didowntown Sacramento, California. Rabu malam, 28 November 2007, suamiku dan aku masuk tahanan!

Sebelum dijebloskan ke tahanan yang terpisah, kita berdua diinterogasi sekitar empat jam. Emka dituduh menyerang pihak berwajib saat dibekuk. Tetapi, suamiku berdalih bahwa polisi tidak secara jelas menerangkan siapa mereka dan maksud kedatangan mereka. Beruntung, atasan dua polisi tadi sepaham dengan alasan suamiku.

Malam itu aku tidak bisa tidur tenang.Kuhubungi semua kawan dekatku dan mencari cara agar bisa mengeluarkan kami dari tahanan secepatnya. Aku mengingat di luar kepala nomor telepon teman-teman dekatku. Akhirnya dengan uang jaminan $ 5000, kami bisa dikeluarkan dari tahanan esok harinya.

Aku sangat lega. Aku dan suamiku bisa keluar tahanan. Namun, mukaku ini harus disembunyikan dimana? Wajahku dan wajah suamiku yang kusut terpampang jelas di layar kaca televisi lokal Sacramento, CB13yang menayangkan kasus kami. Dan itu disaksikan jutaan pemirsa!.Pemberitaannya sungguh menohok ulu hati. Judulnya, “Couple Arrested for leaving kids home alone”. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Belakangan aku tahu, tetanggalah yang melaporkan bahwa anak-anakku ditinggal sendirian di rumah.

Selama anak-anakku diasuh negara, sejujurnya ada rasa bersalah yang dalam.Kangen akan berisiknya suara mereka yang sedang bermain. Teramat berat hari-hari yang kulalui tanpa dekat anak-anak. Aku tidak tahu sampai kapan negara akan memelihara anak-anakku. Terbayang terus olehku wajah mereka, terutama si kecil Vici yang masih bayi dan si Vidi yang autis.

Tudingan dan cibiran tak habis-habisnya ditujukan terhadap kami. Haruskah kami menyembunyikan diri ? Amat berat bagi kami, apalagi saat bertemu dengan teman-teman dekat. Aku akui, aku salah dan naif, apalagi kedapatan sedang berada di casino. Suamiku bilang, “Lim Sioe Liong pun juga tahukalau dia tidak bisa kaya karena gambling”.

Menghadapi prahara ini, tidak ada yang bisa menguatkanku dan suamiku, kecuali doa.Aku tahu pasti bahwa doalah yang bisa membuatku dan suamiku bisa bertahan. Beruntung aku punya beberapa hamba Tuhan yang turut prihatin dan peduli terhadap keadaan kami. Dan Natal 2007 menjadi Natal terberat kami karena tanpa kehadiran anak-anak.

Buatku, awal tahunbaru 2008 berlalu tanpa kejelasan. Anak-anak diasuh oleh keluarga Indonesia yang ditunjuk oleh negara. Tapi, hukum California yang ketat melarang kami menemui anak-anak tanpa batas waktu. Itu membuat kami sedih. Tetapi, setidaknya dalam waktu singkat aku dan Emka masih bisa ketemu tiga anakku dua kali seminggu. Dalam suasana limbung, kami hanya mendapat kepastian tanggal untuk maju ke pengadilan.

Sebelum pengadilan berlangsung, Emka dan aku sibuk luar biasa. Kami harus mengikuti konseling dengan pekerja sosial. Juga menyiapkan segala dokumen untuk meyakinkan sang hakim bahwa kami memang orangtua baik-baik. Mulai dari foto keluarga, rapor anak-anak, kartu imunisasi dan kartu keterangan dokter. Bahkan, meski bukan pecandu judi, aku secara sukarela mengikuti kelas ”Gambling Addiction” yang ditawarkan Departemen Sosial Sacramento.

Hari yang ditunggu-tunggu itupun datang. Tiga bulan lamanya kami menyiapkan segala rencana,dengan harap-harap cemas aku dan Emka menunggu keputusan hakim.

Singkat kata, hakim meyakini alibi kami dan mengetuk palu menyetujui untuk mengembalikan pengasuhan anak-anak kepada kami ! Hari itu juga !

Hari itu Selasa, 28 Februari 2008. Tanpa dinyana, tanpa rencana, siang itu suamiku mendapat telepon dari Kabari, majalah kesayanganku.

Jam 9 malam itu anak-anakku masih belum tidur. Veni sedang bermain organ mainan di ruang tamu. Si Vidi berlari lincah ke sana kemari. Meski belum bisa bicara, tapi wajahnya terlihat ceria. Kadang mencomot dan mengunyah coklat Lindt bulat bundar. Hanya si kecil Vici yang menangis minta digendong dalam pelukanku. Sayangnya, jam 9.30 malam aku harus berangkat kerja, dinas malam sebagai asisten perawat. Sementara Emka dirumah menidurkan dan menjaga tiga anak-anakku. Suamiku bekerja dengan seorang dokter gigi.

Walaupun punya surat-surat lengkap,hidupku sekeluarga di Amerika masih saja penuh tantangan. Tapi satu hal yang pasti, impianku bersatu lagi dengan anak-anak kesayanganku tercapai sudah. “Dreams come true”

Aku ungkapkan semua ini agar tidak satupun keluarga Indonesia di Amerika yang bernasib seperti kami. (magenta)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31210

Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari April 2008 ( E-Magazine )

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

MedicIns

Lebih dari 10 Program Asuransi Kesehatan

Klik www.TryApril.com          Email : Info@ThinkApril.com

Telp. 1-800 281 6175