Tahun 1957 saat meresmikan Kota Palangkaraya sebagai ibukota
provinsi Kalimantan Tengah, Presiden
Soekarno mengungkapkan gagasan Palangka Raya menjadi ibukota Indonesia.

Potensi Palangkaraya memang berlimpah. Kaya sumber alam, daratannya
luas, jauh dari gunung berapi, tidak rentan gempa, dan secara geografis berada
di tengah-tengah Indonesia
yang membentang dari timur ke barat. Itulah sedikit banyak alasan mengapa Soekarno
menunjuk Palangka Raya sebagai kandidat kuat diantara wilayah yang lain.

Tetapi gagasan itu tak pernah kesampaian. Indonesia keburu disibukan dengan
persiapan Asian Games dan ajang olahraga tandingan Olimpiade, Games of the New
Emerging Forces (Ganefo).

Puluhan tahun kemudian, melihat kondisi Ibukota Jakarta yang
macet, berpolusi, dan tak sanggup lagi
menahan beban mobilitas warganya. Gagasan Soekarno itu menjadi sangat relevan.

Bayangkan, dengan beban sebagai pusat bisnis dan
pusat pemerintahan, setiap tahun ‘biaya’ kemacetan Jakarta mencapai Rp17,2 triliun. Belum
ditambah beban sosial lain yang diakibatkan oleh minimnya ruang publik, ruang
gerak yang terbatas, dan lingkungan yang tak ramah. Pendek kata, Jakarta benar-benar sudah
sumpek.

Sekedar catatan, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 6,5
juta unit dengan angka pertumbuhan rata-rata 10 persen per tahun. Data Kepolisian Daerah Metro Jaya
mengungkapkan penambahan jumlah kendaraan mencapai 2.000 unit setiap harinya,

sementara pertumbuhan jalan hanya kurang dari 1 persen per
tahun dengan luas jalan 6,2 persen dari luas keseluruhan kota
Jakarta.

Dengan data-data tersebut, banyak orang pesimis Jakarta terbebas dari
segala beban yang menghimpitnya. Sekalipun nantinya tersedia transportasi
massal cepat (Mass Rapid Transit), monorel, atau subway. Karena di saat
bersamaan, hal itu juga akan memancing laju urbanisasi.

Akhirnya, solusi untuk mendistribusikan beban Jakarta menjadi sebuah
keharusan. Dan wacana yang sedang kencang bergulir adalah memindahkan pusat
pemerintahan (baca:ibukota) ke luar Jawa.

Mungkin perlu dana besar untuk mewujudkannya, tapi
kondisinya memang menuntut demikian. Perlu langkah luar biasa, drastis, dan
radikal. Jika tidak, Jakarta
akan semakin merana yang dapat berakibat penurunan kualitas hidup penghuninya.

Mencontoh Malaysia

Rasanya Indonesia tak perlu malu menengok ke negara tetangga. Malaysia
misalnya, meski kondisi Kuala Lumpur saat ini masih lebih ‘manusiawi’ dibanding
Jakarta, mereka menyadari suatu saat Kuala Lumpur akan padat dan macet. Entah
sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.

Mereka lalu buru-buru memindahkan pusat pemerintahan ke
Putrajaya, sebuah kota
baru yang dibangun 25 km arah selatan Kuala Lumpur pada tahun 1995. Hasilnya, beban
kepadatan Kuala Lumpur dapat terbagi dan mobilitas warganya terjamin.

Mereka menerapkan Putrajaya sebagai zona khusus, tempat
aparat birokrasi bekerja. Kotanya didesain demikian rupa. Bersih, nyaman,
futurusitik, dan terpenting, tak
meninggalkan identitas lokal. Seluruh moda tranportasi yang tersedia juga sangat
memadai ditunjang beragam fasilitas yang nyaman. Pokoknya, aparat birokrasi di sana tugasnya cuma
bekerja dengan baik. Tak perlu mikirin macet atau polusi.

Pada masa Soeharto sempat muncul rencana memindahkan pusat
pemerintahan ke Jonggol, Jawa Barat. Rencana ini cukup disambut baik, tapi
entah kenapa rencana itu tak pernah terealisasi. Alias nol besar.

Jangan pernah malu meniru sesuatu yang baik, meski itu
dilakukan oleh musuh kita. Itu pesan orang bijak. Maaf, jika Malaysia
direpresentasikan sebagai musuh, yang acapkali
kita sebut ‘tukang nyolong’ batik, reog, dan budaya kita, seharusnya
kita malu sendiri. Kenapa mereka lebih visioner? Kenapa kita masih tak
beranjak dari persoalan yang itu-itu melulu?

Tapi jangan-jangan bukannya introspeksi, kita malah sibuk
curiga kalau si Mahathir itu mencuri ide Soekarno dan lagi-lagi menuduh mereka
sebagai pencoleng. Jika kita berpikir begitu, silakan masuk kamar dan lanjutkan
tidur. Jangan bangun–bangun lagi.

Kondisi Palangka Raya

Sejumlah kalangan baik dari pemerhati lingkungan dan anggota
DPR mendukung wacana pemindahan ibukota ke Palangka Raya. Pemindahan ini mereka
nilai sebagai jawaban atas beban kota Jakarta yang semakin berat.

Mari kita simak kondisi geografis Palangka Raya. Kota ini memiliki luas 2. 678,51 km² dengan kepadatan penduduk
rata-rata 62,89 jiwa per kilometer persegi. Kota ini terletak pada 113°30`- 114°07` Bujur
Timur dan 1°35`- 2°24` Lintang Selatan.

Secara geografis letaknya juga relatif berada di tengah
Pulau Kalimantan. Menurut kabar, Soekarno juga memilih lebih Palangka Raya yang
berada di tengah ketimbang Samarinda di Kalimantan Timur yang dekat dengan negara tetangga karena
alasan pertahanan.

Topografi Palangka Raya terdiri dari tanah datar dan berbukit
dengan kemiringan kurang dari 40%. Menurut Situs Resmi Pemerintah Kota
Palangka Raya, kota ini mayoritas berupa hutan dan rawa dengan luas mencapai
2.409,89 Km2. Tanah Pertanian mencakup 12,65 Km2, perkampungan 45,54 Km2,
perkebunan 22,30 Km2, sungai dan
danau 118,72 Km2 dan lain-lain 69,41 Km2.

Kondisi geologi Palangka Raya merupakan endapan sungai dan
rawa yang tersusun dari bahan-bahan liat kaolinit dan debu bersisipan pasir,
gambut, dan kerakal. Selain kota
ini juga berformasi Batuan Api (Trv) yang tersusun dari batuan breksi gunung
api berwarna kelabu kehijauan dengan komponennya terdiri dari andesit, basalt
dan rijang.

Di sejumlah bagian, Kota Palangka Raya juga termasuk ke
dalam formasi Dahor (TQd) yang tersusun atas sebagian besar pasir kuarsa dengan
dasar lempung, pada beberapa tempat terdapat sisipan konglomerat yang
komponennya berupa batuan malihan, granit dan lempung.

Didukung posisi yang jauh dari gunung berapi dan pantai,
menjadikan Palangka Raya termasuk ‘zona aman’ gempa. Bandingkan dengan Jakarta yang berada di
bibir pantai Pulau Jawa yang rawan tsunami.

Bahkan Prof Dr
Suparkah dari Bagian Riset Bidang Geologi Struktur LIPI mengatakan ada patahan
yang memanjang dari Ciputat, Banten hingga Kota, Jakarta Pusat, yang
sewaktu-waktu bisa bergeser dan menyebabkan gempa hebat di Jakarta. Menyusul pernyataannya, ia juga menegaskan,
“Seluruh Indonesia
kecuali Kalimantan rawan bencana gempa,”

Jika rencana ini terealisasi, ada beberapa wilayah yang bisa disiapkan untuk
membangun infrastruktur pemerintahan. Hutan dan lahan rawa yang luasnya lebih
dari dua juta kilometer persegi bisa dimanfaatkan. Tentu saja semuanya harus
melalui uji analisis dampak lingkungan (amdal) yang akurat dan memadai.

Tak perlu banyak-banyak membuka kawasan baru, hitung dengan cermat
kebutuhannya, uji amdal dan aspek sosialnya. Barulah dibangun. Dalam hal ini
pemerintah mesti cermat dan hati-hati. Tak boleh mengorbankan kawasan hutan
tanpa merehabilitasinya. Ibukota yang baru nanti haruslah ramah lingkungan dan
ramah energi. Tak perlu kuatir tak mampu
membuatnya, kita punya segudang insinyur cerdas.

Pelabuhan Sampit disulap menjadi pelabuhan internasional, Bandara Tjilik Riwut
dibuat sekelas Changi, Sungai Kahayan dimanfaatkan sebagai wisata sungai, sebagian
kecil hutan dan rawa dijadikan taman kota atau tujuan wisata ekologi.

Selain itu, modal awal Palangka Raya sebagai ibukota sudah
ada. Kota yang disebut juga Kota Cantik ini
memiliki kepadatan penduduk yang rendah sehingga tata ruangnya teratur, tidak
semrawut seperti Jakarta.
Nantinya, ibukota baru tinggal membuat penyesuaian dengan tata ruang kota yang sudah ada. Kalaupun
membuat yang baru, relatif tidak sulit karena penduduknya
masih sangat sedikit.

Soal teknis pembangunan sebetulnya bukan hal yang sulit. Yang terpenting justru
kemauan kuat pemerintah (political will) sebagai modal utama. Dengan kemauan
yang kuat, segala rencana niscaya
tercapai.

Pemerintah harus merancang rencana ini semantap dan sematang mungkin. Harus ada
payung hukum yang kuat, kemudian sosialisasi, persiapan sumber daya lokal, koordinasi
yang jelas dengan pemerintah daerah, sebelum
menuju tahap pembangunan massal.

Selain itu, perlu juga diperhatikan aspek sosial dan budaya. Selayaknya
orang yang bedol desa, mereka yang ikut bedol desa harus siap secara mental psikis. Persiapan ini bisa
berupa pengenalan adat dan budaya setempat agar tercipta masyarakat yang
harmonis dan rukun.

Tak ada yang tak mungkin, apalagi jika ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Tak terbayangkan betapa hebat dampaknya. Pastinya, Soekarno tersenyum bangga di
alam sana.

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35261

Untuk

melihat artikel Utama lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab


Mohon beri
nilai dan komentar
di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :