Seperti jutaan perempuan di Indonesia, perempuan itu berjilbab. Kantornya di kawasan Kebon Jeruk Jakarta, lumayan sibuk. Nama kantor itu IBEKA, Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan. Pemimpinnya, ya perempuan berjilbab itu. Hari ini dia di Jakarta, besok ke Sumbawa, dua hari kemudian ke Garut, lusa dia ke
Filipina.

Namanya Tri Mumpuni – Puni panggilannya. Sarjana Sosial Ekonomi – Institut Pertanian Bogor (IPB). Masuk IPB sebetulnya bukan cita-citanya. Awalnya dia ingin masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, tapi gagal. Puni remaja pernah menang dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1982. Kecerdasan dan keberaniannya menarik perhatian Rektor IPB Andi Hakim Nasoetion, yang kemudian menawarinya kuliah di IPB. Mumpuni baru mau menerima tawaran itu setelah gagal masuk Fakultas Kedokteran. “Almarhum Pak Andi Hakim sangat berperan menentukan jalan saya”, kenangnya.

Jalan hidupnya kemudian sudah seperti ditunjukkan oleh Tuhan. Lima tahun setelah lulus IPB, ia sempat bekerja untuk pembangunan rumah murah bagi kaum miskin kota. Tercatat sejak 1990-an, Puni aktif melakukan pemberdayaan masyarakat desa. Menurutnya, desa adalah sumber kehidupan yang harus diperkuat kemandiriannya. Ia meyakini banyak persoalan bisa diselesaikan kalau ada pusat-pusat pertumbuhan baru di pedesaan.

Karena itu, ia mencurahkan segenap daya dan pemikirannya untuk membangun desa. Sejak lebih dari 15 tahun, Puni dan timnya yang tergabung dalam IBEKA itu (termasuk suaminya) memperkenalkan teknologi Mikro Hidro. Mereka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PLN dengan memanfaatkan potensi energi air di wilayah setempat untuk menggerakkan turbin.

Mikro Hidro memanfaatkan debit dan ketinggian jatuhnya air pada sungai kecil di desa-desa untuk menghasilkan energi listrik di bawah 100 kilowatt. Puni memanfaatkan aliran sungai-sungai yang banyak terdapat di pelosok Indonesia. Dengan keyakinan, bahwa melistriki desa dengan teknologi ramah lingkungan (tanpa emisi karbon) mikro hidro adalah pintu masuk paling efektif untuk memberdayakan warga. PLTMH yang dibangun Tri Mumpuni bersama dengan masyarakat desa itu tidak untuk mengejar keuntungan. Kalaupun mendapatkan untung, akan masuk ke kas desa untuk selanjutnya digunakan bagi kemakmuran desa seperti bantuan pendidikan dan seterusnya.

”Selama ini listrik hanya dipahami sebagai infrastruktur. Itu membuat warga konsumtif. Jadwal kumpul-kumpul bisa berubah karena telenovela di televisi,” ujar Puni. Meski biaya investasinya untuk instalasi per kilowatt sedikit lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit besar, dampak positif mikro hidro terhadap masyarakat dan lingkungan hidup amat kentara. Selain tak ada penggusuran, kelestarian hutan juga terjaga karena untuk mendapatkan satu kWh (kilowatt jam) harus ada satu pohon di hutan yang menahan air.

Dengan membangun pembangkit listrik desa, Puni sudah ‘memaksa’ warga setempat untuk menjadi wirausaha. “Kita memaksa orang menjadi entrepeneur. Kita latih dan dia harus mampu menjalankan pembangkit itu,”
imbuhnya.

Rakyat dilatih manajemen air, pemeliharaan alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Kalau energi listrik sudah dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan. “ Banyak suami pulang ke desa untuk membantu istrinya yang sudah menjadi pengusaha”, sambung Puni yang mempromosikan mikro hidro ke berbagai desa itu.

Mumpuni menyebut sebuah desa di Subang yang warganya menguasai 50 persen kepemilikan dari kerja samanya dengan perusahaan swasta lokal. Desa di Sumba kepemilikannya bahkan 100 persen dan dikelola Koperasi Unit Desa (KUD). Sebuah desa di Sumatera Selatan, suatu koperasi pesantren mendapat penghasilan Rp 60 juta per bulan dari listrik berbasis Mikro Hidro yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Dahlan Iskan yang waktu itu Direktur PLN (sekarang menteri Badan Usaha Milik Negara –BUMN) mengatakan, bahwa pembelian listrik Mikro Hidro oleh PLN sebenarnya lebih menguntungkan dibanding membangkitkan listrik sendiri dengan bahan bakar batubara oleh PLN.
“Membakar minyak memerlukan biaya sekitar Rp 2000/kWh sementara membeli listrik dari energi terbaru (mikro hidro) adalah sekitar Rp 900/kWh,”
tambah Dahlan waktu itu. Karena itu PLN mengharapkan Puni dan timnya terus mengembangkan PLTMH terutama di Indonesia Timur yang belum banyak terjangkau listrik PLN.

Penghargaan

Untuk semua hasil kerja kerasnya itu, World Wildlife Fund for Nature (WWF) memberikan penghargaan kepadanya sebagai Climate Hero tahun 2005. Agustus 2011 lalu. Puni juga mendapat Ramon Magsaysay Awards 2011.

Tahun 2009 Puni ke Amerika Serikat. Presiden AS Barack Obama bertemu Tri Mumpuni bersama 8 wirausahawan Indonesia lainnya (Putra Sampoerna, Ananda Siregar, Sandiaga Uno, Shinta Widjaja Kamdani, Benjamin Soemartopo, Sheila Tiwan, Goris Mustaqim dan Yuyun Ismawati). Kala itu adalah pertemuan Obama dengan sejumlah pengusaha dari negara-negara muslim.

“Kita mendapatkan seorang wirausahawan sosial seperti Tri Mumpuni, yang telah membantu masyarakat desa di Indonesia mendapatkan listrik dan pendapatan dari pembangkit listrik tenaga air,” ujar Obama dalam pidatonya saat itu. Tri Mumpuni pun mengaku terpana saat namanya disebut oleh Obama. “Alhamdulillah, saya kaget sekali ketika nama disebut dan usai pidato itu Obama menyapa saya,” ujar Tri Mumpuni

Obama memang sangat sepakat dengan konsep wirausaha sosial yang diusung Puni. “Menurut teman-teman di Gedung Putih, yang saya kerjakan sangat mengena karena sama dengan yang dilakukan Obama ketika di Chicago yaitu mengurusi masyarakat, meletakkan masyarakat sebagai ujung tombak pembangunan sehingga negara bisa lebih baik,” tutur ibu dari 3 anak itu.

Sampai saat ini , Puni sudah membangun 60 PLTMH di berbagai pelosok desa di tanah air ditambah satu di Filipina. “Yang belum, cuma di Papua karena terkendala masalah dana. Di sana semua bahan jadi mahal sekali. Satu karung semen saja bisa Rp 1,5 juta,” ungkapnya.

Sejumlah negara miskin juga sudah meminta bantuan Puni agar mampu menggerakkan masyarakat desanya membangun pembangkit listrik sendiri. Setidaknya sudah ada 6 negara yang meminta bantuannya.

“Hal besar yang ingin saya lakukan adalah melihat dunia membangun rakyatnya dengan bertumpu pada masyarakat kecil. Jadi bukan didasarkan pada faktor modal besar semata. Karena membangun sebenarnya harus bersandarkan pada kekuatan dan untuk kepentingan masyarakat. Saya ingin sebanyak mungkin masyarakat terlibat pembangunan. Kemiskinan itu terjadi, karena keserakahan para investor dan para intelektual yang tidak bermoral,” katanya.(Indah)

Bio Data :
Nama : Tri Mumpuni Wiyatno
Suami : Iskandar Budisaroso Kuntoadji (3 anak)
Pendidikan : Jurusan Sosial Ekonomi – Institut Pertanian Bogor (IPB)
Penghargaan :
1. Climate Hero 2005 dari World Wildlife Fund for Nature (WWF)
2. Ramon Magsaysay Awards 2011 (Philipina)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37849

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :