Jika jalan-jalan ke Glodok, mampir ke Petak Sembilan. Dalam literatur sejarah Jakarta, Petak Sembilan sudah ada sejak jaman Belanda sebagai tempat pemukiman warga Tionghoa yang mayoritas pedagang.
Dulu, pasca pemberontakan etnis Tionghoa yang disusul dengan pembantaian oleh Belanda pada tahun 1740, banyak orang Tionghoa diberikan tempat di luar kota, seperti di Glodok dan Petak Sembilan atau di Tangerang. Kawasan kota pada zaman itu, adanya di Sunda Kelapa. Bagi yang pindah ke Tangerang, mereka diberikan pondokan dan diajarkan cara bertanam. Oleh karena itu, di Tangerang ada daerah yang bernama Pondok Aren atau Pondok Cabe.
Berdagang masih menjadi aktifitas utama warga Petak Sembilan dan hanya dilakukan oleh generasi tua, karena generasi mudanya lebih memilih bekerja kantoran.
Hao Qin (50), peramal yang sudah tinggal di Petak Sembilan sejak 50 tahun lalu mengungkapkan, “Mungkin nama Petak Sembilan berasal dari bentuk rumahnya yang berpetak-petak. Soal jumlahnya sembilan atau bukan, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kakek saya pernah cerita, kawasan Petak Sembilan yang asli ada di jalan Kemenangan itu, di sebelah Kalimati.”
Aktifitas Masyarakat
Cerita Wong Wan Hie atau biasa disapa An Yan, etnis Tionghoa di Petak Sembilan terdiri dari tiga, Kwang Tung, Hokkian, dan Kanton. Ketiganya memiliki ciri dalam berdagang. Etnis Kwang Tung biasanya berdagang furniture, etnis Hokkian umumnya berdagang garmen atau tekstil, sementara etnis Kanton biasanya berjualan makanan atau sayur mayur. Melihat silsilah keluarganya, An Yan termasuk etnis Kanton. Namun, ia merasa sebagai orang Betawi dari pada warga keturunan. “Kalau ditambahkan, China Betawi bolehlah,” katanya lagi.
An Yan adalah generasi ketiga dari keluarga Wong yang hijrah ke Batavia dari Tiongkok sekitar 120 tahun lalu. Ketua RW 02 Petak Sembilan ini menjelaskan warga, keturunan Tionghoa di lingkungannya mencapai 99 persen, sementara dari etnis lainnya seperti Betawi atau Jawa hanya 1 persen. Namun, proses asimiliasi tetap ada karena tak sedikit warga Tionghoa yang menikah dengan suku lain. “Jarang sekali warga disini yang berbicara dalam bahasa Mandarin, semuanya sudah berbahasa Indonesia dengan logat Betawi. Saya sendiri tidak bisa berbahasa Mandarin,” katanya sembari tersenyum.
Perbedaan etnis memang pernah menjadi persoalan, terutama saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Saat itu banyak etnis keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran amuk massa, Petak Sembilan justru tidak tersentuh. Para tukang ojek, tukang parkir dan para pedagang kaki lima yang sehari-hari mencari makan di kawasan itu, mengamankan Petak Sembilan. Pertokoan Glodok pun jadi sasaran, dijarah dan dibakar.
Menjadi Pasar Petak Sembilan
Kini pemukiman Petak Sembilan sudah menjadi pasar. An Yan menuturkan, ketika Glodok dibongkar tahun 1968 untuk dibangun Glodok Building, para pedagang ditampung di Petak Sembilan. Kebetulan, pedagang-pedagang di Glodok punya rumah sendiri di Petak Sembilan, sehingga mereka berjualan di depan rumah. “Sejak itulah pasar Petak Sembilan mulai terkenal, bahkan lebih terkenal dari pasar Glodok sendiri. Nah, begitu Glodok Building selesai dibangun, para pedagang kembali berjualan di Glodok, tetapi mereka juga tetap berjualan di depan rumah mereka, sampai sekarang,” kata An Yan lagi.
Kini, sepanjang jalan Kemenangan yang panjangnya sekitar 500 meter ini berjejer aneka dagangan. Mulai dari makanan sampai barang kebutuhan rumah tangga. Bila mendekati Imlek, pasar ini padat dikunjungi orang yang ingin membeli berbagai macam kebutuhan Imlek.
Sesekali ingatan An Yan terlempar ke masa silam, ketika dengan gembiranya ia berlarian di tengah pasar malam Imlek saat ia bocah. Ia berharap kenangan itu bisa terulang. Terulang dengan kedamaian. (yayat)