janin“Wanita mana yang tidak ingin melahirkan anak kandungnya sendiri? Saya pun ingin sekali, tapi apa saya belum siap”.

Sepenggal ungkapan itu begitu menusuk ulu hati, takayal seorang perempuan belum menikah tega menghilangkan janinnya secara paksa karena alasan belum siap.

Dalam rungan redaksi Kabari, Siska (nama samaran, red), begitu ia ingin namanya sapa menceritakan separuh pengalaman pahitnya kepada Kabari terkait aborsi. Ia mengaku menyesal setelah menghilangkan darah dagingnya secara paksa melalui proses aborsi. Siska dan kekasih tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan janin yang tengah ia kandung kala itu. “Saya menyesal pernah aborsi, saat itu rasanya separuh nyawa saya hilang, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa diam dan pasrah”, akunya.

Di usia 24 tahun, Siska mengambil keputusan untuk aborsi, tidak banyak pertimbangan matang saat itu. “Ini pilihan tersulit dalam hidup saya, di lain sisi saya ingin menjadi anak yang berbakti pada orangtua, tapi malah hamil di luar nikah, saya malu dengan keluarga”

Rahasia kehamilannya akhirnya diketahui oleh kakak Siska, dengan sedikit keberanian sepasang kekasih ini menceritakan permasalahan yang tengah mereka hadapi. “Semua campur aduk, takut, malu, sedih gak terbayang waktu berani ngomong ke abang” katanya sedih. Air mata penyesalan pun sempat tidak terbendung, Siska menangis sedih. “Kami datang untuk meminta solusi, pacar saya pun menujukan niat baiknya, akan bertanggungjawab dan menikahi saya. Tapi karena perbedaa ‘keyakinan’, abang menentang niat baik pacar saya. Dengan berat hati keputusan untuk menggugurkan pun diambil, meski saya tahu itu sangat berat baginya, ia (abang) adalah seorang rohaniwan dan juga penyayang anak-anak karena dia guru sekolah minggu. Setelah ada persetujuan dari abang, kami mangambil keputusan yang sebenarnya tidak saya inginkan”, ujarnya seraya menahan isak.

Suasana dalam ruang redaksi semakin sunyi, di situlah Siska mulai menceritakan bagaimana ia menjalani aborsi. Usia kandungannya saat itu 2,5 bulan, sebelum memutuskan aborsi, ia sudah melakukan beberapa cara nekat untuk melenyapkan janinnya, mulai dari mengkonsumsi obat dan jamu peluntur, minum jus nanas muda dan lada hitam, tapi janinnya tidak juga keluar.

Dari seorang teman ia mendapatkan informasi tempat dimana klinik aborsi praktek. Mereka diantar ke sebuah klinik spesialis kandungan di bilangan Jakarta Pusat. Siska menggambarkan suasana di sekitar klinik sepi, padahal klinik itu persis didepan jalan utama menuju jalan raya. Klinik yang ia datangi nampak resmi, bahkan pada plang juga tertulis klinik bersalin, hanya saja ia sempat mencurigai warung yang berada tidak jauh dari area klinik, ada dua orang pria berpenampilan rapi dengan setelan kemeja trendi sedang berada di warung tersebut. Pikiran itu pun terabai karena ia ingin cepat-cepat meyelesaikan permasalahannya dan ingin segera meninggalkan tempat itu.

“Dua teman kami hanya mengantar sampai di depan klinik, dan hanya kami berdua memberanikan diri untuk masuk. Ternyata saya bukan satu-satunya calon pasian dalam klinik itu, didalam sudah ada sekitar tiga pasian yang masing-masing ada pengantarnya. Pertama masuk kami mengisi formulir, karena saya mengaku sudah menikah maka saya mencantumkan nama suami dan nama saya”.

Siska diminta menandatangai sebuah perjanjian dibawah secarik kertas yang diajukan petugas. Dalam secarik kertas itu bertuliskan biodata, yaitu nama suami, berapa bulan usia kandungan dan sebuah perjanjian yang harus ditandatangani diatas materai. Perjanjian itu menyatakan bahwa pihak klinik tidak bertanggungjawab apabila terjadi kesalahan atau kegagalan pada saat proses aborsi. “Tidak ada pertanyaan apapun saat berada dimeja depan petugas pendaftaran, sepertinya segala sesuatunya sudah diset dan mereka pun sudah tahu maksud kedatangan kami”.ujarnya.

Selesai menandatangai secarik kertas, Siska diajak masuk kesebuah kamar untuk USG, dari proses itulah harga baru bisa ditentukan. Hasil USG menyatakan usia kandungannya memasuki usia 11 minggu dan dikenakan biaya sebesar dua juta rupiah. “Jujur saja kami tidak memiliki uang sebesar itu, saat itu kami hanya memilki uang 1,1 juta rupiah, itu pun uang gabungan kami berdua dan tambahan dari abang. Melalui negosiasi akhirnya pihak klinik meluluskan, dan mereka mau menangani aborsi dengan biaya 1, 1 juta rupiah, kami bayar dimuka dan tidak mau ambil pusing” paparnya.

“Masuk dalam ruangan dan dibaringkan diatas tempat tidur persalinan membuat saya tidak berdaya, suntikan obat bius hanya membuat saya setengah sadar, tapi tidak menghilangkan rasa sakit ketika janin saya disedot. Terasa sekali bahwa seakan-akan separuh nyawa saya hilang. Yang saya ingat didalam kamar itu hanya ada dokter, saya dan 2 petugas yang membantu dokter. Saya tidak begitu memperhatikan wajah mereka yang ada didalam, karena yang saya rasakan hanya sakit dan ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu”.

Wanita berbadan tegap itu mengaku tidak ingat berapa lama ia berada di klinik bersalin tersebut. Selesai mejalani aborsi dan dibersihkan, tidak ada lagi obat yang diberikan dokter, ia hanya dipindah keruangan istirahat untuk memulihkan kondisinya yang agak sedikit menurun. Karena ketakutan dan merasa amat sangat bersalah, Siska memilih untuk meninggalkan klinik itu meski kondisinya belum stabil. Dibantu teman dan kekasihnya Siska dibopong meninggalkan klinik dan memilih beristirahat di hotel dikawasan Jakarta Timur. Disanalah mereka menginap satu malam untuk mengembalikan kondisi sebelum kembali ke rumah.

Beberapa hari kemudian Siska memeriksakan kondisinya ke ahli kandungan. “Khawatir dengan kondisi kedepan, saya memberanikan diri mendatangi bidan dan menceritakan apa yang sudah saya lakukan. Bidan itu terkejut, dan hanya gelang-geleng kepala. Saya berani begitu karena saya tidak mau terjadi apa-apa dengan diri saya nantinya, jadi saya mau diobati secara steril, saya minta di USG, dan bidan pun melakukanya, melihat apakah masih ada yang tersisa dirahim atau benar-benar sudah bersih. Dengan begitu saya baru bisa tenang, setelah bidan menyatakan sudah bersih” katanya.

Karyawati perusahaan swasta yang kini berusia 29 tahun ini, menganggap pengalaman 5 tahun silam adalah pengalaman yang sangat berharga, meski saat ini ia sudah tidak menjalin hubungan lagi dengan kekasih yang pernah menghamilinya dulu. Kini ia tumbuh sebagai wanita matang dan lebih memikirkan kehidupan yang jauh lebih baik kedepan. “Pengalaman saya ini begitu pahit, tapi saya mencoba untuk ambil hikmah dan pelajaran, kalau saya diminta aborsi lagi, saya akan katakan tidak” tegasnya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62195

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan