KabariNews – Darimana Kita Bisa Melihat Kota Jakarta Seutuhnya.

Pagi, awal minggu pertama bulan Oktober, kaki lima sepanjang jalan Kebon Sirih nampak sepi. Trotoar yang sudah ditata apik, dengan pepohonan rindang terasa nyaman, bersih dan asri bebas polusi sebagai sarana dan fasilitas terasa kurang dimanfaatkan warga untuk menuju atau pulang beraktivitas. Yang ada beberapa penjual minuman keliling dengan sepeda mondar mandir sepanjang waktu. Betapa menariknya andai budaya bersepeda sudah jadi plihan untuk transportasi pribadi. Ketimbang memilih berkendaraan melalui jalan raya yang padat, hingar bingar dan semrawut. Lalu dikoridor jalan itu terbayang pula sosok Gubernur gowes sepeda menuju Balai Kota tempat yang saya tuju saat ini.

Tak sulit menemukan tempat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang sering dipanggil Ahok berkantor. Sehubungan dengan tugas mencari jawab atas pertanyaan tentang Jakarta, sekitar isu hangat akhir-akhir ini untuk keperluan media di Amerika yang sangat ingin tahu informasi Jakarta dan Pak Ahok saat ini. Tentu kedatangan saya juga didorong oleh rasa ingin melihat Balai Kota, dan ketemu pak Gubernur biarpun hanya sekelebat, tak apa.

Hari makin siang dan panasnya mulai terasa merambah pori-pori bikin baju mulai basah. Tak ada tanda-tanda hadirnya sang Gubernur. Saya berinisiatif untuk mendatangi staf yang duduk dimeja tamu, menanyakan dua pertanyaan, – kapan Bapak Gubernur kembali kekantor atau kapan Pak Gubernur pergi keluar kantor. Staf yang sedang sibuk dengan HP itu menyarankan untuk ke protokol Gubernur, di gedung sebelah tak jauh dari saya berdiri.

Ruang protokol Gubernur tidak banyak pegawai, biarpun banyak meja. Hanya ada dua wanita duduk berhadapan masing-masing sibuk dengan surat-surat. Saya menanyakan acara kegiatan Gubernur hari ini. Pegawai berseragam PNS itu menyarankan agar ke humas ketemu seorang (disebut namanya), yang menurutnya tahu acara Gubernur hari ini. Tempat humas tinggal menyusuri koridor sampai mentok di ujung ruangan. Alhamdulillah ditempat ini mendapat jawaban, pertama kegiatan Gubernur silahkan menemui coordinator media, kedua tunggu saja di lobi. Pilihan kedua adalah yang terbaik untuk menyeimbangkan sikap mental dan etika saya.

40 tahun silam, saya berdiri tepat di mana saya duduk sekarang. Pukul 07:00 pagi sesuai janji dan permintaan (perintah) Gubernur kala itu, Ali Sadikin supaya saya datang menghadap untuk mempertanggung jawabkan sehubungan dengan aksi demo kami, mahasiswa menutup kampus.

Ali Sadikin ketika itu datang seperti biasa dengan wajah berkerut tak pernah senyum. Turun dari mobil Land Lover long chasis dengan gagah, langsung menemui saya di tangga masuk gedung. Menurut perkiraan saya, Bang Ali akan lebih turun temperamennya setelah sehari sebelumnya menyemprot kami para mahasiswa. Ternyata tidak. Suara alto dengan aksen Sundanya yang kental tetap keras dan terkesan emosional. Sorot mata khas Ali Sadikin membuat kesan luar biasa, dan tak akan saya lupakan seumur hidup. Intinya juga diluar dugaan saya. Hanya tanya dan perintah. Kalian perlu apa? Bersihkan TIM (bukan Kampus) dari kotoran, termasuk anak anak yang bikin onar. Jangan lagi air masuk digedung pertunjukan (maksudnya teater arena). Satu lagi, keluarga mahasiswa harus ada kegiatan kesenian, bukan demo-demoan. Sudah lah cuma itu saja. Tercengang saya dengan sikap dan cara Gubernur “memarahi” dan menemui saya. Gubernur lalu mengajak berjalan keliling Balai Kota. Di sudut gedung dia berhenti, menatap gedung lantai 4, sambil memasukan tangan ke saku celananya lalu menoleh arah kami yang mengikuti dari belakang.

Ada kejutan kedua yang membuat saya tak akan lupa biarpun harus mati dua kali. Pertanyaan Gubernur yang diurainya sendiri. – “Tahu kenapa saya bangun pusat Taman Ismail Marzuki?”. Dari kalimat sepenggal seorang Gubernur, Jendral Marinir, dan orang sombong yang pernah saya kenal itu membuat saya tertegun, dengan apa yang disampaikan. Melihat sosok Ali Sadikin saya melihat Jakarta seutuhnya!

DIBUTUHKAN PERUBAHAN DARI DALAM SEBELUM MENGUBAH SESUATU (YANG BESAR) DILUAR DIRI KITA.

Jakarta hari-hari belakangan ini sangat tak nyaman. Kondisi porak-poranda oleh bahan dan barang bangunan serta alat berat terjadi dimana-mana. Sedang terjadi pembangunan dan perombakan infrastruktur besar-besaran. Tak sampai 2-3 tahun kedepan Jakarta berubah menjadi kota impian baru.

Keihklasan masyarakat pengguna jalan di Jakarta untuk macet dimana-mana adalah keihklasan menunggu terpecahkannya masalah kemacetan dan banjir, penyakit akut Jakarta selama ini. Dan pembangunan yang sedang berlangsung akan membuat Jakarta yang mungkin tidak macet dan mungkin tidak banjir. Benarkah?

Jawaban mestinya ada di Balai Kota hari ini. Paling tidak seperti 40 tahun silam, pernyataan Gubernur Ali Sadikin, bahwa antara pembangunan fisik dan pembangunan mental berbanding lurus dan sejajar di sebuah negeri yang sedang tumbuh. Untuk itu Ali Sadikin butuh kurang lebih satu hektar tanah untuk mendirikan Sentra Budaya untuk membangunan sikap mental dan moral manusia pembangunan.

Bicara ceplas-ceplosnya Gubernur Basuki Tahaja Purnama tentang Jakarta yang berubah oleh pembangunan fasilitas, layanan dan infrastruktur di panggung kota Jakarta, menjadikan sosok AHOK sebagai seorang aktor hebat, belum menjadi sutradara hebat, dan untuk menjadi sutradara hebat tidak perlu belajar di teater populer, tapi belajar dari pendahulunya, karena kekuatan spiritualnya ada di Taman Ismail Marzuki.

Ketika Jakarta sedang dihajar paku bumi menandai pembangunan, semua warga DKI Jakarta memiliki harapan atas adanya perubahan. Pembangunan fisik tidak diiringi perubahan sikap mental. Jakarta akan sulit dilihat secara utuh, dari sisi manapun, kecuali berdiri memandang menara monas. (1021)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/80325

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

realty world seperlapan

 

 

 

 

 

kabari store pic 1