Status Kewaganegaraan dan Kepemilikan Tanah di Indonesia menjadi topik orasi ilmiah Prof. Dr. Irawan Soerodjo, SH. Msi dalam rangka pengukuhan dirinya menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Jawa Timur.

Pengukuhan pria yang akrab disapa Prof. Irawan menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) ini, berlangsung dalam Sidang Senat Terbuka yang dipimpin Rektor Unitomo, Dr. Bachrul Amiq, SH. MH di Auditorium Ki H. Muhammad Saleh, Jumat (06/03).

Dalam orasi ilmiahnya seusai pengukuhan, pria yang akrab disapa Prof. Irawan ini memaparkan pandangannya tentang problematika hukum dilapangan terkait dengan status kewarganegaraan dan kepemilikan tanah di Indonesia.

Menurutnya, Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan  yang saat ini berlaku masih menyimpan sejumlah persoalan terutama dengan hak kepemilikan tanah yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Dalam UU tersebut terdapat 13 kriteria seseorang disebut sebagai warga negara Indonesia yang diatur dalam pasal 4 UU No. 12 tahun 2006, salah satunya anak yang dilahirkan diluar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah atau ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan juga memberikan status kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

“Indonesia menganut asas ius sanguinis dan asas ius soli”, kata Prof. Irawan saat ditemui Kabari disesi wawancara.

Dimana kata pria yang lahir di Banyuwangi, 15 Januari 1952 ini kembali, dalam asas ius sanguinis status kewarganegaraan ditentukan oleh pertautan darah, sehingga jika anak yang dilahirkan diluar wilayah negara Indonesia dari ayah atau ibu warga negara Indonesia, maka anak tersebut memiliki status kewarganegaraan Indonesia.

Namun disisi lain, dikarenakan anak tersebut dilahirkan diluar wilayah Indonesia yang menganut asas ius soli yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya, maka anak tersebut juga diberikan status kewarganegaraan dari negara tempat dilahirkan.

“Disitulah anak ini mempunyai status dua kewarganegaraan, yaitu Indonesia dan negara tempatnya lahir”, tuturnya.

Dalam UU kewarganegaraan mengakui dan melegalkan adanya status dwikewarganegaraan dengan menganut asas bipatride yang memperbolehkan seseorang memiliki status dwikewarganegaraan, namun membatasi status dwikewarganegaraan  pada anak sampai dengan umur 18 tahun atau menikah secara sah berdasarkan ketentuan UU yang berlaku pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan.

Pemberlakuan UU Kewarganegaraan juga menimbulkan pengaruh bagi status kewarganegaraan seseorang. Baik yang berdomisili di wilayah Indonesia maupun diluar wilayah Indonesia. Salah satunya adalah mengenai status kepemilikan dan penguasaan atas harta benda, dalam hal ini khususnya tanah.

“Nah untuk itu saya mendorong upaya Judicial Review ke Mahkamah konstitusi”,ucap Prof. Irawan yang juga merupakan dosen Program Magister Kenotariatan Universitas Surabaya.

Prof. Irawan memaparkan alasannya untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah konstitusi Republik Indonesia, seorang anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang dilahirkan diluar negeri karena orangtuanya sedang bekerja di suatu perusahaan, bekerja di Kedubes RI atau sedang melakukan studi di negara yang menganut asas ius soli, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Amerika Latin, maka otomatis berhak mendapat status kewarganegaraan di negara-negara itu. Disamping status  WNI yang diturunkan dari orangtuanya karena Indonesia menganut asas ius sanguinis.

Status kewarganegaraan yang terjadi dalam kasus-kasus seperti ini, menurutnya bisa berakibat hilangnya hak anak tersebut untuk mewarisi tanah orangtuanya yang ada di Indonesia, sebab UU kita tidak memperbolehkan hal tersebut.

“Hak mereka untuk memiliki tanah di Indonesia otomatis gugur karena mereka mendapat status kewarganegaraan lain. Dan tanah itu menjadi milik negara”, ujar penulis Jurnal Disinkronisasi Peraturan di Bidang Pendaftaran Tanah ini.

Karena itu, dirinya melihat perlunya pemerintah untuk segera merevisi UU yang mangatur hal itu, agar tidak ada lagi anak-anak dibawah umur yang dirugikan dan kehilangan haknya karena mereka belum tahu hukum.