Pulau berukuran kurang lebih 2.500 X 750 m ini terletak di bagian barat Pulau Bintan. Dari Tanjung Pinang Ibukota Kepri, hanya berjarak 6 km. Sementara dari Pulau Batam hanya 35 Km.

Nama Pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletus perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau). Karena letaknya yang strategis dan cocok sebagai basis pertahanan, Pulau Penyengat selalu menjadi titik pertempuran baik ketika terjadi perang antara Sultan Sulaiman dan Raja Kecil Siak maupun perang Riau dengan Belanda (1782-1784).
Sejak berabad-abad lampau Pulau Penyengat sudah terkenal, karena menjadi tempat persinggahan para pelaut mengambil air tawar. Konon, nama “penyengat” berasal dari peristiwa banyaknya pelaut tersengat sejenis lebah yang disebut“penyengat” ketika sedang mengambil air disana. Sehingga nama pulau itu dikenal menjadi Pulau Penyengat.
Tahun 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah,sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Kemudian Yang Dipertuan Muda Jaafar(1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya dari Ulu Riau (PulauBintan) ke Penyengat. Sultan Abdurrahman Muazamsyah juga memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat pada tahun 1900.
Pulau ini juga dijadikan benteng pertahanan untuk menghalau Belanda oleh Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV (termashyur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang). Raja Haji Syahid Fisabillilah mendirikan kubu-kubu pertahanan Kerajaan Riau di Penyengat, yakni di Bukit Penggawa, Bukit Tengah dan Bukit Kursi. Benteng-benteng ini diperlengkapi pula dengan meriam-meriam dalam berbagai ukuran.
Saat tahta Sultan Abdurahman Muazamsyah diturunkan paksa oleh Belanda karena menolak kontrak politik, tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi Sultan setelah itu. Abdurrahman Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura dan Johor tahun 1911. Inilah catatan kecil pertalian orang-orang Melayu Indonesia dengan Melayu Malaysia dan Singapura.
Di pulau penyengat juga lahir seorang ulama sekaligus pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji. Dialah penulis pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Karya lainnya yang monumental adalah Gurindam Dua Belas(1847). Karya ini menjadi pembaharu sastra pada zamannya. Selain itu ia juga menulis buku Kitab Pengetahuan Bahasa termasuk kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga, kamus ini merupakan kamus eka bahasa pertama di Nusantara.

Pulau Penyengat

Dahulu Pulau Penyengat merupakan simbol intelektualitas. Disaat negeri lain di nusantara masih banyak yang belum mengenal baca tulis, di pulau ini sudah berdiri lembaga percetakan pertama bernama Matba’atul Riauwiyah yang beroperasi sejak1890. Kesadaran para intelektual pun telah terorganisir melalui Rusyidah Club. Dan kegemilangan sejarah Pulau Penyengat kini tinggal menyisakan puing yang ditumbuhi semak belukar.
Sisa kejayaan pulau ini hanyalah tinggal kenangan. Untungnya beberapa peninggalan seperti Masjid Raya, Istana Kantor serta 250 naskah Melayu kuno masih terpelihara hingga kini.(Alfan)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31325

Mohon Beri Nilai dan Komentar dibawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Intero Real Estate

Lebih dari 1 juta rumah di Amerika

Klik www.InteroSF.com             Email : Info@InteroSF.com

Telp. 1-800 281 6175